JAKARTA, GRESNEWS.COM - Seolah ingin berunjuk gigi, menteri baru hasil perombakan atau reshufle kabinet jilid 2 melakukan beberapa gebrakan. Namun sayang yang dilontarkan justru menuai kegaduhan. Seperti yang disampaikan oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pengganti menteri terdahulu Anies Baswedan.

Muhadjir baru-baru ini mengeluarkan gagasan menerapkan full day school untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orangtua mereka masih bekerja. Dengan sistem tersebut sekolah akan bertanggung jawab penuh memberikan pendidikan sampai dengan orang tua pulang kerja.

Namun gagasan ini tak disambut baik anggota Komisi X DPR Nico Siahaan, walaupun ia mendukung penuh segala sesuatu yang akan memajukan dunia pendidikan. Tetapi ia menggarisbawahi wacana yang digulirkan mendikbud anyar, sebab, ia menilai wacana ini sama sekali tak mendasar.

"Tidak ada penelitiannya, anak-anak butuh istirahat, fisik anak itu rentan, saya tidak setuju," katanya kepada gresnews.com, Senin (8/7).

Ia meminta untuk ada riset mendalam terhadap wacana yang digulirkan tersebut. Apalagi berkenaan dengan penyebutan guru agama di luar sekolah yang dilabeli ajaran aneh. "Jangan hanya cari sensasi karena baru menjadi menteri," ujarnya.

Lebih lanjut Nico menyatakan para guru pun belum tentu kuat dalam mengajar seharian penuh. Baginya, lebih baik Muhajir fokus untuk menerapkan sistem yang sesuai kultur di Indonesia. Dan tidak membandingkan kuualitas pendidikan Indonesia dengan negara lain yang jelas berbeda kulturnya.

"Seharian di sekolah juga dipikirkan uang jajan cukup tidak?" katanya.

Ia pribadi menyatakan kaget setelah membaca wacana yang terlontar dari mulut Muhajir. Sebab menurutnya seorang menteri tak boleh berbicara tanpa dasar yang kuat.

"Nanti seperti Menteri Yudi, bilang tidak boleh rapat di hotel tapi begitu," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Muhadjir Effendy menyatakan melalui sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya. Serta tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Dengan menambah waktu anak di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja.

Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.

Konsep full day school awalnya berkembang di negara-negara maju seperti di Jerman, Eropa dan Amerika. Latar belakan berdirinya, karena sekolah di sana lebih banyak liburnya dibandingkan masuknya. Pada musim panas dan musim dingin misalnya, liburnya bisa sampai dua bulan. Karena itulah para sisiwa di negara tersebut disarankan mendapatkan pelajaran tambahan. Akhirnya umumnya sekolah di sana menerapkan sistem full day school.

Kondisi itu jelas berbeda dengan di Indonesia yang tak mengenal libur musim dingin atau panas. Meski demikian, karena system tersebut dianggap memiliki banyak kelebihan dan nilai positif, dunia pendidikan kita pun mengadopsinya. Anak-anak diberi ruang dan waktu yang lebih panjang untuk belajar, para orang tua yang sibuk juga terbantu karena bisa menitipkan anaknya di sekolah.

PERLU PERSIAPAN MATANG - Menurut Muhamad Abduhzen selaku pengamat pendidikan, gagasan full day school itu cukup bagus asal bisa dipersiapkan secara matang. Sebab jika full day school diterapkan maka pemerintah harus menambah jam kerja guru. Selain itu penambahan program serta fasilitas terkait jam tambahan exstra juga musti diperhitungkan agar anak merasa nyaman dan para orang tua akan terbantu mendidik anak tanpa perlu khawatir meninggalkan anaknya bekerja tanpa pengawasan.

Oleh karena itu, harus dibedakan antara jam belajar formal dengan jam tambahan, jam tambahan pada sore hari dapat dibuat kegiatan-kegiatan yang menyenangkan anak seperti olahraga ataupun pelajaran yang menjurus ke arah permainan. Sehingga suasana yang tercipta akan berbeda dengan suasana sekolah saat proses belajar formal.

"Nilai yang diciptakan harus lebih, jangan cuma jadi tempat menunggu orang tua pulang kerja," ujar Abduhzen kepada gresnews.com, Senin (8/8).

Walaupun menilai gagasan full day school cukup bagus akan tetapi menurutnya itu hanya bisa diterapkan di sekolah-sekolah yang berada di perkotaan. Sedangkan untuk sekolah yang berada di desa gagasan ini kurang cocok sebab kultur masyarakat desa masih terbilang baik. Hubungan antara tetangga yang erat dirasa cukup untuk membuat lingkungan yang sehat tanpa harus berada di sekolah.

"Lagi pula di desa jarang yang kedua orang tuanya bekerja hingga malam sehingga pengawasan masih bisa dilakukan langsung oleh orang tua," ujarnya.

Ia juga menambahkan, sudah banyak sekolah di wilayah perkotaan yang menerapkan full day school seperti green school atau sekolah alam yang mengusung konsep belajar dan bermain. Masih banyak juga siswa yang selepas sekolah formal masih mengikuti bimbingan belajar tambahan. Fungsi full day school inilah yang harus menggantikan posisi bimbingan belajar di tempat lain.

"Kalau perlu siapkan tempat tidur untuk anak-anak beristirahat di sekolah," ujar Abduh Zein.

Pergantian sistem ini sejatinya tak menjamin kualitas pendidikan menjadi semakin baik. Sudah menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan di Indonesia jika berganti menteri maka akan berganti kurikulum akan tetapi perubahan yang dilakukan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan.

Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 2011, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara di dunia dalam indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI).

EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. EDI dinilai berdasarkan empat kategori yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).

Penurunan EDI Indonesia dinilai cukup tinggi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun.

Data tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Berdasarkan pada hasil tes di 76 negara yang dilakukan OECD. Tes ini bertujuan untuk menunjukan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi.

Peringkat teratas kualitas pendidikan dipegang oleh 5 negara Asia yaitu Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan sedangkan Indonesia menempati urutan ke 69 sama dengan data dari UNESCO. Analisis yang digunakan oleh OECD berdasarkan pada hasil tes matematika dan ilmu pengetahuan, mereka menggunakan standar global yang lebih luas menggunakan tes PISA. Tes PISA merupakan studi internasional tentang prestasi membaca, matematika dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun.

BACA JUGA: