JAKARTA, GRESNEWS.COM - Angka kekerasan di lingkungan pendidikan terus meningkat. Angka tersebut didasarkan pada banyaknya laporan pengaduan kasus kekerasan sekolah di situs laporpendidikan.com. Setidaknya terhitung sejak Januari hingga Mei 2017, tercatat sudah ada 525 kasus pengaduan kekerasan di lingkungan sekolah.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyatakan, 80 persen siswa menjadi korban kekerasan di lingkungan pendidikan. Argumentasi itu juga diperkuat hasil survei Right to Education Index (RTEI) yang dilakukan JPPI pada 2016.

Menurutnya ada bermacam-macam kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Paling umum terjadi adalah bullying antarpelajar. Tak hanya itu, tawuran antarsekolah serta senioritas yang menjurus pada penindasan masih kerap terjadi. Lebih memprihatinkan lagi kekerasan di sekolah justru melibatkan pendidik. Pendidik disebut kerap memberi tekanan terhadap murid dengan dalih perintah otoritas sekolah, maupun dengan tujuan untuk mendisiplinkan siswa.

Kondisi ini cukup prihatin karena terus mendera dunia pendidikan Indonesia. Untuk itu, JPPI bekerjasama dengan kelompok pemuda dan pelajar anti kekerasan IPYG (International Peace Youth Group) menggalakan kampanye public menolak kekerasan di dunia pendirikan. Kampanye itu diantaranya dilakukan pada Minggu 14 Mei 2017 di lokasi car free day. Kampanye ini ditempuh dengan melakukan PEACE WALK di sepanjang area car free day di jalan MH. Thamrin Jakarta. Kesempatan itu juga digunakan JPPI untuk mengajak masyarakat agar turut serta melakukan upaya menghentikan kekerasan di sekolah.

Masyarakat dihimbau jika menemukan kasus serupa untuk berperan melaporkan melalui situs pengaduan laporpendidikan.com. Ubaid menuturan sejauh ini belum banyak masyarakat dan peserta didik yang mau melaporkan kasus-kasus kekerasan yang dialami. Sebab, tak jarang siswa yang berani melapor lantas dipanggil pihak sekolah. "Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, atau malah mendapatkan intimidasi," ujar Ubaid dalam rilisnya.

JPPI sendiri beranggapan bahwa kekerasan di sekolah juga berpotensi buruk dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Salah satunya adalah mengerasnya sifat egoisme dan sikap intoleransi terhadap yang berbeda pandangan. Maka, tak heran jika ada riset yang mengemukakan bahwa kisaran 7 hingga 10 persen siswa berpotensi radikal. Riset ini dilakukan Setara Institut 2015 dan juga Wahid Foundation 2016. Meskipun persentasenya kecil, tetapi jika 10 % dari jumlah siswa maka menemukan jumlah yang banyak.

OLeh karenanya JPPI merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah; untuk lebih tegas dan konsisten melindungi anak, pihak sekolah dan pemerintah harus memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan, Sistem whistleblower harus mendapat dukungan penuh dari pihak pemerintah dan sekolah, Sekolah harus menekankan pengembangan karakter luhur, serta seluruh stakeholder sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan sekolah sehat, aman dan ramah anak.

SOLUSI KEKERASAN DI SEKOLAH - Survei International Center for Research on Women (ICRW) beberapa waktu lalu mencatat Indonesia adalah negara dengan tingkat kekerasan tertinggi yakni sebesar 84 persen, atau di bawah Vietnam (79 persen), Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen), dan Pakistan (43 persen). Data tersebut juga dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Menurut Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti, Sekolah Ramah Anak menjadi solusi untuk mengatasi persoalan kekerasan di lembaga pendidikan. Kriteria Sekolah ramah anak ini , antara lain harus aman, memenuhi hak anak, melindungi dari kekerasan, sehat, peduli dan berbudaya serta mendukung partisipasi anak.

Menurutnya, guru dan orangtua harus ada kesepahaman mengenai penanganan pendidikan anak di sekolah. "Seluruh komponen sekolah yaitu kepala sekolah, guru, murid dan orang tua murid harus memiliki perspektif yang sama mengenai pendidikan," ujar Maria Februari lalu.

Menghadapi maraknya kekerasan di sekolah,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sejak 2016 lalu, telah mengeluarkan   Permendikbud No 82 Tahun 2015 terkait pencegahan tindak kekerasan oleh siswa maupun dialami siswa. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Anies Baswedan, sempat mengancam jika sekolah tak menjalankan keputusan itu  maka sekolah dilarang mengisi Dapokdi.

Dalam Permendikbud itu sekolah diwajibkan untuk membentuk dan memiliki gugus pencegahan kekerasan, yang anggotanya terdiri dari guru, orang tua dan siswa. Disamping itu, ia juga meminta adanya Gugus Pencegahan di tiap kota dan provinsi yang pembiayaannya dibebankan kepada APBD.

Aturan tersebut juga mengharuskan semua sekolah diwajibkan memajang nomer telpon Kepala sekolah, polsek, polres, dinas provinsi termasuk email. Tujuannya untuk memberikan jalur melaporkan dan minta pertolongan jika ada masalah.

"Jadi sekarang ini pastikan sekolah ada itu papan dan gugus, kalau tidak ada kita akan tindak tegas," ujarnya kala itu.

BACA JUGA: