JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana agar anak-anak menghabiskan waktu sehari penuh di sekolah (full day school) yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy masih terus menuai polemik. Banyak pihak menilai, wacana yang didasarkan pada gagasan agar anak tidak sendiri ketika orangtua bekerja, benar-benar harus dikaji ulang.

Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Agustinus Sucipto mengatakan, Indonesia saat ini belum membutuhkan kebijakan semacam ini. Dia menegaskan, ada aspek sosial yang perlu dipertimbangkan sebelum wacana itu diterapkan sebagai sebuah kebijakan.

"Full day school jelas akan mengurangi waktu bersosialisasi dan bermain anak bersama teman sebaya mereka di luar sekolah. Memang di sekolah mereka ada waktu bersosialisasi dan bermain. Akan tetapi, sosialisasi dan bermain mereka hanya terbatas pada teman sekolah. Sosialisasi dan bermain mereka pun jelas diatur berdasarkan norma-norma dan ciri khas di sekolah," kata Agustinus dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (10/8).

Padahal, kata dia, sosialisasi dan bermain dengan teman di luar sekolah bersifat lebih luas dan luwes, sehingga norma-norma mereka dalam bersosialisasi bukan karena ketentuan dari sekolah, melainkan karena kesadaran dan pilihan mereka. Di samping itu, dengan diterapkannya full day school seakan menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah, termasuk pendidikan karakter. Padahal pendidikan juga merupakan tanggung jawab orangtua karena mereka lah pendidik yang pertama dan utama bagi anak.

"Kesibukan orangtua tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyerahkan pendidikan anak mereka pada institusi pendidikan. Institusi pendidikan bukan sebagai tempat penitipan anak, sehingga kesibukan kerja orangtua sebagai alasan diterapkannya full day school jelas tidak realistis," jelasnya.

Alasan banyak orangtua yang bekerja sampai sore sehingga anak menjadi tidak terurus sepulang sekolah perlu diteliti mendalam.

"Di Indonesia hanya sebagian kecil orangtua yang tidak bisa mengurus dan mendidik anak mereka sepulang sekolah karena alasan pekerjaan. Ini hanya terjadi di kota-kota besar dengan jumlah yang tidak besar dibandingkan dengan banyaknya ibu-ibu yang lebih memilih menjadi pendidik anak mereka di rumah daripada harus bekerja," tandas peneliti asal Magelang itu.

Ia menerangkan hampir semua orangtua di desa bisa mengurus anak mereka sepulang sekolah karena pekerjaan mereka tidak dibatasi waktu. "Seandainya full day school dipaksakan untuk diterapkan di sekolah negeri maupun swasta maka kebijakan ini hanya mengakomodasi sebagian kecil masyarakat Indonesia dan mengorbankan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak membutuhkan sistem ini," jelas peneliti yang pernah mendalami ilmu filsafat di STFT Widya Sasana Malang itu.

Selain itu, kata Agustinus, pendidikan karakter yang menjadi tujuan utama dari wacana full day school sebenarnya sudah ada pada KTSP maupun pada kurikulum 2013 yang saat ini sedang berlangsung. Tragisnya, kurikulum ini saja belum dilaksanakan secara optimal dan dengan munculnya wacana ini maka akan ada perubahan kurikulum. Kurikulum yang berubah begitu cepatnya justru mengorbankan guru dan peserta didik. Pendidikan jadi semacam ajang uji coba.

Agustinus menekankan, pendidikan karakter anak menjadi tanggung jawab bersama, baik sekolah, orangtua maupun masyarakat sehingga yang dibutuhkan bukan hanya pendidikan di sekolah, tetapi terciptanya tata keluarga dan tata masyarakat yang mendukung perkembangan anak usia sekolah. Selain itu, perlu dipertimbangkan kemampuan sekolah dalam memenuhi kebutuhan ekstrakurikuler anak dan jam tambahan di luar jam sekolah karena masing-masing anak mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.

"Sangat sulit sekolah mengakomodasi seluruh kebutuhan siswa, baik karena faktor dana maupun sumber daya yang ada. Saat ini dengan pendidikan setengah hari saja, banyak orang yang mengalami kesulitan biaya pendidikan. Dengan full day school, tentunya biaya pendidikan akan semakin besar," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Nasional Network for Education Watch Indonesia (NEW INDONESIA) Abdul Waidl. Menurutnya, dengan wacana full day school, Mendikbud telah menyempitkan makna pendidikan karakter. Abdul mengatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan harus mengupayakan agar siswa memiliki watak (karakter) secara pribadi maupun sosial.

Kedua watak tersebut akan mendorong seorang peserta didik yang kuat secara pribadi dan terlibat aktif dalam solidaritas dan empati sosial. "Sedang Pak Menteri mengurangi keluasan pendidikan karakter pada kekuatan berkompetisi, yang bila tidak berhati-hati cenderung mematikan solidaritas sosial dan toleransi," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (10/8).

Kedua, gagasan full day school juga penuh bias kota dan kelas menengah atau orang kaya. Usulan tersebut mengasumsikan bahwa semua orangtua memiliki pekerjaan yang memakan waktu sehari penuh dan jarak letak pekerjaan yang jauh antara orangtua dan anak (siswa). "Di desa, tentu keadaan tersebut tidak berlaku, dan bagi keluarga tidak mampu, anak adalah bagian dari keluarga yang memiliki tugas lain selain bersekolah," ujarnya.

Kemudian, dalam konteks ini, kata Abdul, Mendikbud juga telah mengabaikan prinsip, pilar utama pendidikan adalah keluarga dan masyarakat bukan lembaga sekolah formal. "Kematangan seorang siswa tentu bukan hanya ditentukan oleh tembok sekolah, tapi oleh pergaulan yang ramah dan teladan dari orang tua, masyarakat, dan guru," tegasnya.

Karena itu dia meminta agar Mendikbud tidak terburu-buru menindaklanjuti gagasan itu. "Bapak Menteri agar lebih tenang sedikit dan menyediakan waktu untuk belajar dari para bawahan tentang rumusan masalah dan usulan kebijakan yang sudah ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ujarnya.

BELUM AKAN DITERAPKAN - Menanggapi banyaknya kritikan atas wacana full day school, Muhadjir Effendy sendiri mengaku senang. Dia menegaskan, ide itu akan dikaji dan diuji. Tak akan diterapkan jika ditemukan banyak kelemahan.

"Ini kan masih sosialisasi, melontarkan gagasan. Kita ingin dapat masukan. Saya justru kalau ada orang yang baru diberi tahu langsung terima, malah curiga. Ini berarti tanda masyarakat kritis, masyarakat bagus. Saya juga senang kalau nanti ide itu diuji betul, sehingga nanti betul-betul mateng," kata Muhadjir.

"Jadi kalau saya sekarang enggak punya beban, mau 10 ribu (jumlah orang yang menolak di petisi-red) 100 ribu pun enggak apa-apa. Ini memang baru dilontarkan kok, baru ide," sambungnya.

Muhadjir menegaskan, dirinya dan jajarannya akan betul-betul mengkaji ide full day school tersebut. Pakar-pakar akan diundang untuk dimintai pendapat.

"Tapi intinya begini, saya tidak mau berpanjang-panjang. Ini baru ide. Saya terima kasih atas respons masyarakat dan kami akan susun yang lebih menyeluruh yang lebih utuh. Nanti akan saya sampaikan lagi ke masyarakat. Nanti biar ada uji. Kalau memang kira-kira dilanjutkan, mana yang akan kita sempurnakan, kita sempurnakan. Kalau tidak (batal diterapkan-red), tidak apa-apa, nanti kita tarik. Saya akan coba mencari pendekatan lain," papar Muhadjir.

Ditambahkan Muhadjir, dirinya tak berniat menimbulkan polemik di masyarakat atas adanya wacana penerapan full day school ini. Menurutnya, ide yang dilontarkannya ini semata-mata untuk merespons perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan generasi muda Indonesia yang lebih bagus dan punya daya saing tinggi.

"Nanti kalau memang akhirnya ini belum juga bisa dilaksanakan, saya akan mencari pendekatan yang lain," imbuh mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.

Meski begitu, dia beralasan, wacana full day school ini sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo. "Sebetulnya tidak otomatis namanya full day school. Saya ini pembantu presiden dan harus melaksanakan visi presiden. Dan visi presiden tertuang dalam Nawacita. Dalam Nawacita ada program pendidikan," katanya.

Muhadjir menambahkan dalam program pendidikan yang ada di Nawacita, ada namanya pendidikan budi pekerti dan karakter. Dan itu ada dalam pendidikan di level dasar. "Porsinya pendidikan dasar itu, 80 persen pendidikan karakter dan 20 persen pendidikan pengetahuan. Nah waktu itu kita mencari cara bagaimana mengimplementasikannya. Kan dalam Nawacita ukuran pendidikan dasar itu ada 18 butir. Mulai religius, karakter, kreatif, mandiri, cinta Tanah Air, dan seterusnya," lanjutnya.

Karena 18 butir itu tidak mungkin disisipkan dalam mata pelajaran, maka dari itu wacana penambahan jam sekolah muncul. "Atas dasar itu saya perlu melihat, perlu adanya penambahan waktu baik di SD dan SMP dan itulah karena saya harus mengimplementasikan visi beliau," ucap alumni Universitas Muhammadiyah Malang ini.

PERLU LANDASAN HUKUM - Menanggapi polemik ini, Komisi X DPR yang membidangi pendidikan menegaskan siap membahas wacana Full Day School yang dilontarkan oleh Mendikbud. Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya menegaskan, jika wacana itu akan diterapkan, maka DPR perlu dilibatkan karena penerapan wacana ini membutuhkan landasan hukum bila diterapkan.

"Ada beberapa hal yang harus dicermati jika Kemendikbud akan menerapkan kebijakan full day school. Pertama, harus ada landasan hukumnya," kata  Riefky, Rabu (10/8).

Riefky mengingatkan, kebijakan tersebut harus ditinjau apakah tidak bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan dan standar nasional pendidikan (SNP) dalam UU Sisdiknas. Sesuai UU tersebut, peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus dikembangkan potensinya sesuai dengan kemampuannya serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

"Kedua, proses pembelajaran di sekolah sudah ditetapkan melalui standar nasional pendidikan di dalamnya menetapkan diantaranya alokasi waktu dan rasio jumlah guru dan rombongan belajar," ungkap anggota Fraksi Demokrat ini.

Kebijakan Full Day School seharusnya memperhitungkan standar pendidikan yang sudah ada yaitu SNP. Menurutnya, kondisi pendidikan di Indonesia belum memenuhi standar tersebut. "Seperti ketersediaan guru yang belum merata, ketersediaan sarana dan prasarana, dan lainnya di mana semua hal tersebut berkaitan dengan ketersediaan anggaran," jelas Riefky.

Komisi X sebagai mitra Kemendikbud siap mendorong inovasi dan kebijakan Kemendikbud. "Hanya saja langkah-langkah tersebut harus diperhitungkan secara matang termasuk membahasnya dengan para wakil rakyat di Komisi X DPR-RI yang membidangi pendidikan," imbuhnya.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati mengatakan, ada beberapa hal yang harus lebih dahulu diperhatikan bila full day school hendak diberlakukan. Tak hanya soal guru, fasilitas sekolah juga perlu diperhatikan.

"Bagaimana dengan ketersediaan fasilitas sekolah untuk menunjang program full day? Seperti fasilitas olahraga, fasilitas tempat mengaji dan fasilitas penunjang untuk program full day lainnya. Pertanyaannya, apakah semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai walaupun itu di sekolah negeri?" terang Reni. (dtc)

BACA JUGA: