Oleh: A’an Efendi *)

UUD 1945 sebelum maupun setelah perubahan, jika dicermati seluruh materi muatannya, maka di situ hanya ditemukan dua jenis peraturan perundang-undangan yaitu undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perppu). Untuk Perppu hanya diatur secara singkat dalam satu pasal yaitu Pasal 22 yang terdiri atas 3 ayat. Paling tidak terdapat empat hal yang menarik dari Perppu untuk dikaji yang meliputi terminologi, alasan penetapannya, hierarkinya dengan UU, dan pencabutannya.

Ada perbedaan terminologi antara UUD 1945 yang menggunakan istilah peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dengan UU No. 10 Tahun 2014 maupun UU penggantinya yaitu UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan istilah peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Walaupun perbedaannya tipis hanya terletak pada kata "sebagai" namun seharusnya itu tidak perlu terjadi.

Penggunaan istilah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus mengikuti istilah yang telah digunakan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak perlu mengubahnya apalagi menciptakan istilah baru. Kerap ditemui penggunaan dua istilah yang berbeda oleh dua peraturan perundang-undangan untuk menyebut satu hal yang pengertiannya sama.

Misalnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah menggunakan istilah keputusan tata usaha negara kemudian muncul istilah keputusan administrasi pemerintahan dan keputusan administrasi negara oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 disebutkan bahwa Perppu ditetapkan oleh Presiden karena hal ihwal kegentingan memaksa. Lalu apa itu hal ihwal kegentingan memaksa? UUD 1945 tidak memberikan batasannya sama sekali. Penentuan hal ihwal kegentingan memaksa menjadi kekuasaan diskresi (discretionary power) Presiden.

Presiden menurut pertimbangannya akan menentukan suatu keadaan sebagai hal ihwal keadaan memaksa sehingga Presiden dapat menetapan Perppu. Untuk mencegah Presiden menyalahgunakan kewenangan diskresinya itu maka ada fungsi kontrol DPR terhadap Perppu yang telah ditetapkan Presiden yaitu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dan jika tidak disetujui maka Perppu harus dicabut.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menetapkan tiga kriteria hal ihwal kegentingan memaksa yaitu: Pertama, adanya kebutuhan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU sesuai prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Hierarki Perppu terhadap UU unik karena sering berubah. Pada waktu berlakunya Tap MPRS Nomor No.XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia hierarki Perppu sederajat dengan UU dan berubah di bawah UU pada masa TAP MPR No III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Hierarki Perppu menjadi sederajat lagi dengan UU ketika berlaku UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian dicabut dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hierarki Perppu yang sederajat dengan UU ini alasannya dapat dibaca pada Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan "Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang." Jadi, karena materi muatan antara UU dengan Perppu sama maka hierarkinya pun sama.

Hierarki peraturan perundang-undangan tidak akan menimbulkan masalah bila mengikuti pola hierarki seperti yang berlaku di Jerman. Berdasarkan Article 20 (3) Konstitusi Jerman disebutkan "The legislature shall be bound by the constitutional order, the executive and the judiciary by law and justice." Article 31 menyatakan "Federal law shall take precedence over Land law."

Berdasarkan Article 20 ayat (3) konstitusi Jerman tegas bahwa kekuasaan legislatif tunduk pada ketentuan konstitusi, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial terikat pada ketentuan undang-undang dan keadilan. Article 30 mengaskan bahwa hukum federal mengalahkan hukum negara bagian. Berdasarkan Article 20 (3) Konstitusi Jerman maka hierarki peraturan perundang-undangan di Jerman adalah: 1. konstitusi, 2. produk kekuasaan legislatif, dan 3. produk kekuasaan eksekutif/kekuasaan yudisial.

Penentuan hierarki tidak berdasarkan jenis peraturan perundang-undangannya tetapi menurut kekuasaan yang membuat peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak memungkinkan produknya kekuasaan eksekutif memiliki kedudukan yang sederajat dengan produknya kekuasaan legislatif karena produk kekuasaan legislatif lebih tinggi atau superior dibandingkan dengan produknya kekuasaan eksekutif.

Perppu yang telah ditetapkan Presiden harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Jika persetujuan itu diberikan maka UU berubah status menjadi UU. Saya katakan berubah status karena Perppu hierarkinya sama dengan UU. Saya akan menyebutnya naik status jika Perppu hierakinya di bawah UU sebagaimana waktu berlakunya TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Sebaliknya, jika DPR tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan Presiden maka Perppu itu harus dicabut. Lalu dengan apa mencabutnya? Sesuai asas peraturan perundang-undangan maka suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Jadi, terdapat dua kemungkinan, Perppu dicabut dengan UU atau Perppu.

Jika dicabut dengan Perppu maka Perppu itu harus diajukan lagi ke DPR dan hal itu akan terjadi berulang-ulang apabila tidak mendapatkan persetujuan DPR. Tentu saja hal ini menjadi tidak praktis dan sangat menyulitkan. Namun, jika harus dicabut dengan UU maka akan menjadi aneh kalau ada suatu UU hanya berisi satu pasal yang isinya membatalkan suatu peraturan perundang-undangan (Perppu).

Pada waktu berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dikenal jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan nama UU Darurat. Konstitusi RIS mengatur UU Darurat pada Pasal 139 dan Pasal 140 sementara UUDS 1950 mengaturnya dalam Pasal 96 dan 97. Ada persamaan dan perbedaan Perppu dengan UU Darurat. Persamaannya adalah bahwa Perppu maupun UU Darurat memiliki kedudukan yang sama dengan UU (UU Federal berdasarkan Konstitusi RIS).

Perbedaannya meliputi empat hal: Perppu ditetapkan Presiden sedangkan UU Darurat oleh Pemerintah, Perppu ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan memaksa sementara UU Darurat ditetapkan karena keadaan-keadaan yang mendesak, UUD 1945 menggunakan istilah "Perppu tidak mendapat persetujuan DPR", sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menyebut "UU Darurat ditolak DPR", dan perbedaan yang paling penting jika Perppu tidak mendapatkan persetujuan DPR harus dicabut sementara UU Darurat yang ditolak DPR tidak berlaku lagi karena hukum.

Jadi, untuk Perppu harus ada tindakan aktif untuk mencabut Perppu yang tidak mendapatkan persetujuan DPR sementara untuk UU Darurat tidak diperlukan tindakan apapun untuk mencabut UU Darurat yang ditolak DPR karena dengan sendirinya (secara hukum) UU Darurat itu menjadi tidak berlaku. Dan itu lebih praktis dari segi waktu, tenaga, biaya dan prosedur.

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga

BACA JUGA: