JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Pertanahan Nasional/Badan Pertanahan Nasional (Kemen ATR/BPN) berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya, pihak FWI meminta agar pihak Kementerian ATR membuka data terkait daftar dokumen Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Kelapa Sawit yang masih berlaku sampai tahun 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara.

Informasi yang diminta adalah terkait, nama pemegang izin HGU, tempat atau lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditi, dan peta areal HGU yang dilengkapi titik kordinat sebagai informasi publik yang bersifat terbuka. Dalam persidangan di Komisi Informasi Pusat (KIP), pihak FWI memenangkan gugatan itu.

KIP memerintahkan Kementerian ATR membuka data yang diminta oleh FWI. Tak terima atas kekalahan itu, gantian pihak Kementerian ATR yang menggugat putusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Perkara ini kemudian diregister dengan nomor 2/G/KI/2016/PTUN.JKT.

Dalam persidangan perdana di PTUN Jakarta, Selasa (8/11) lalu, pihak Kementerian ATR menegaskan, informasi yang diminta oleh FWI bukanlah informasi tertutup sehingga bisa diakses di website Kementerian ATR. "FWI meminta data mengenai pemilik HGU, luasan tanah, kordinat HGU se-Kalimantan, sementara itukan data yang bisa diakses dengan gampang. Di website kami juga ada. Kecuali nama pemberi karena itu wilayah keperdataan. Nama pemilik enggak bisa diberi," terang kuasa hukum Kementerian ATR Lucky kepada gresnews.com.

Sidang yang diketuai hakim Adhi Budhi Sulistyo itu mengagendakan pembuktian para pihak. Dalam argumennya, Lucky menegaskan, data soal pemilik HGU memang tak bisa diakses oleh publik. Menurutnya itu menyangkut wilayah keperdataan yang secara aturan tak bisa diberikan. "Berdasarkan aturan yang ada tidak bisa diberikan," ujar Lucky.

FWI sendiri telah menempuh upaya prosedur untuk memperoleh informasi tersebut. Pada 16 September 2015, FWI telah mengajukan permohonan informasi ke Kementerian ATR dan tidak ditanggapi. Lalu pada 26 Oktober 2015 pihak FWI juga mengajukan keberatan yang sayangnya juga tidak pernah ditanggapi oleh Kementerian ATR.

Karena tak membuahkan hasil dari upaya itu, FWI kemudian mengajukan penyelesaian sengketa informasi dengan mendaftarkan sengketa informasi ke KIP. Setelah melalui persidangan sebanyak sembilan kali, akhirnya KIP memenangkan gugatan FWI. Dalam putusan itu menyatakan bahwa informasi yang diminta merupakan informasi yang bersifat terbuka yang bisa diakses publik.

Sayangnya, Kementerian ATR malah tetap bersikap tertutup dan menggugat balik putusan KIP ke PTUN. Sikap tertutup pemerintah terkait data pengelolaan hutan ini memang membuat berbagai organisasi advokasi lingkungan, sosial dan hak asasi manusia kesulitan. Data itu dinilai penting untuk mengetahui wilayah yang bermasalah semisal tumpang tindih antara HGU dan konsesi pertambangan, juga konflik dengan masyarakat.

Hal serupa pernah dialami Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ketika mereka meminta dokumen HGU. Pihak BPN Kaltim menolak memberikan data tersebut. Hal serupa juga dialami Walhi Kalimantan Timur ketika mengadvokasi masalah konflik di perkebunan kelapa sawit.
 
Para aktivis menilai, konflik timbul karena sikap tertutup pemerintah atas data-data perizinan. Konflik terjadi karena proses perizinan yang tidak transparan.

SULIT DIAKSES - Menanggapi gugatan balik pihak Kementerian ATR ini, Kuasa hukum FWI Linda Rosalina menyatakan, HGU yang diterbitkan melalui keputusan menteri Agraria dan Tata Ruang merupakan informasi yang termasuk ke dalam kategori informasi publik. Namun hal itu justru ditutupi dan tak diberikan oleh pihak kementerian kepada publik.

"HGU kan dikeluarkan menteri dalam bentuk surat keputusan. Artinya itu kebijakan, kalau merujuk ke UU KIP yang namanya kebijakan dan berikut dengan dokumen pendukungnya itu adalah informasi publik yang bisa dibuka setiap saat," kata Linda kepada gresnews.com, Rabu (9/11).

Linda menambahkan, beberapa kasus terjadi lantaran informasi soal HGU tak bisa diakses oleh publik. Salah satu contoh yang dikemukakannya adalah yang terjadi di Bengkulu dan Kalimantan Timur yang tumpang tindih antara kepemilikan masyarakat dan konsesi perkebunan sawit.

"Seperti Kutai Kertanegara mereka sudah punya sertifikat hak milik di lahan mereka. Tapi perusahaan mengklaim kalau lahan mereka sudah di-HGU-kan. Bagaimana ada sertifikat di atas sertifikat kan aneh ya. Ada kasus seperti itu, makanya HGU urgen sekali untuk dibuka bukan satu-dua kasus seperti ini contohnya di Bengkulu," ujar Linda.

Dengan dibukanya informasi mengenai HGU, lanjut Linda, akan memberi kejelasan bagi masyarakat ketika adanya konflik antara masyarkat dengan perusahaan kemana akan diajukan gugatan. "Mana tahu ada tumpang tindih lahan antara masyarakat dengan konsesi perkebunan kelapa sawit. Kita tak tahu perkebunan sawit milik siapa. Kalau masyarakat komplain itu kemana? Karena tidak dibuka," kata Linda.

FWI meminta data dokumen Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Sawit yang masih berlaku sampai 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara yang meliputi: a) Nama Pemegang Izin HGU, b)Tempat atau Lokasi, c) Luas HGU yang diberikan, d) Jenis Komoditi, e) Peta Areal HGU yang dilengkapai titik kordinat.

Data itu dalam diminta dalam rangka mengkaji perkembangan kelapa sawit di Indonesia khususnya di Pulau Kalimantan. Berdasarkan kajian FWI, salah satu penyebab deforestasi adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Kalimantan pulau terbesar deforestasi yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan masyarakat.

Karena itu, FWI mendesak agar HGU yang diterbitkan Kementerian dapat dibuka kepada publik agar bisa diawasi. "FWI menyatakan telah mengajukan beberapa bukti yang mendukung dalilnya ke majelis hakim. Kami menyampaikan peraturan-peraturan yang menguatkan UU UUPA, ada UU KIP," kata Linda.

Tim kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga juga menyayangkan sikap tertutup Kementerian ATR. Dia menyatakan, pengajuan permohonan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang sudah dilakukan tetapi data yang diminta tak juga diberikan pihak Kementerian.

Pihak Kementerian berdalih, Hak Guna Usaha (HGU) itu merupakan dokumen rahasia negara yang tak bisa dipublikasikan ke publik. "Justifikasi mereka (Kementerian ATR) itu dokumen rahasia tapi gugat ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dan kita menang," kata Anggi.

BACA JUGA: