JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung akhirnya hanya mengeksekusi empat terpidana mati kasus narkoba, dari belasan terpidana mati yang dijadwalkan. Sementara 10 terpidana mati lainnya dibatalkan eksekusinya di menit-menit akhir. Namun demikian, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan akan tetap mengeksekusi mati para terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap itu.

"Yang pasti kami tidak akan berhenti melakukan eksekusi mati terpidana narkotika," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (29/7).

Prasetyo menyampaikan penundaan terhadap 10 terpidana itu setelah jaksa melakukan pembahasan bersama unsur terkait. Hasil kajian hanya empat orang yang perlu dieksekusi. Sementara, sepuluh lainnya, akan ditentukan nasibnya kemudian.

"Jadi, penangguhan ini tentu setelah melalui kajian yang sangat komprehensif, detail, baik dari aspek yuridis, maupun nonyuridis.  Kami tidak mau aspek itu ada yang terlanggar," kata Prasetyo.

Diketahui, pelaksanaan eksekusi mati sendiri berlangsung pukul 00.45 WIB, Jumat dini hari, di lapangan tembak Limus Buntu, atau di belakang Pospol Nusakambangan. Mereka yang dieksekusi adalah:

1. Fredi Budiman (37), WNI. Kasus impor 1,4 juta butir ekstasi
2. Michael Titus (34), warga Nigeria. Barang bukti 5.223 gram heroin
3. Humprey Ejike (40), warga Nigeria. Barang bukti 300 gram heroin
4. Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34), warga Afrika Selatan Barang bukti 2,4 Kg heroin.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rochmad mengatakan, pelaksanaan eksekusi bukanlah semata-mata menghilangkan nyawa orang lain. Dia menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi merupakan perintah undang-undang yang berlaku di Indonesia.

"Ini bukan pekerjaan menyenangkan, ini pekerjaan menyedihkan," ujar Noor.

UNGKAP JEJARING - Meskipun Fredi Cs telah dieksekusi, kejahatan narkoba tak akan habis jika jejaring kejahatan ini tak dibabat tuntas. Apalagi jejaring kejahatan ini telah menelusup ke institusi penegak hukum.

Seperti pengakuan Fredi Budiman, salah seorang terpidana mati yang telah dieksekusi, kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Dalam keterangannya, Haris mengatakan, Fredi pernah memberikan upeti kepada oknum pejabat di Badan Narkotika Nasional (BNN), Mabes Polri dan Bea Cukai untuk memuluskan aksinya memasok pil ekstasi dari China. Upeti yang diberikan sebesar Rp450 miliar.

Haris mendapatkan kesaksian Fredi di sela-sela kunjungan ke Lapas Nusakambangan pada 2014. Fakta itu baru diungkap setelah Fredi selesai dieksekusi mati, Jumat dini hari.

Dugaan upeti yang diberikan kepada BNN itu berpengaruh pada pengamanan Fredi di Lapas. BNN diduga mencoba menghambat proses pencegahan yang dilakukan Lapas agar Fredi tidak lagi liar.

Haris mengaku mendapatkan kesaksian ini langsung dari Kepala Lapas Nusakambangan (2014) Sitinjak. Kesaksian didapatkan di sela-sela Haris bertukar pikiran dengan Sitinjak dalam mengelola Lapas.

Menurut Haris, Sitinjak menaruh perhatian khusus kepada Fredi. Sitinjak memasang dua kamera pengintai selama 24 jam untuk memonitor pergerakan Fredi selama di dalam sel. Namun upaya itu dihalangi oknum tertentu. Tidak hanya upeti kepada BNN, Fredi juga mengaku menyetir Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri.

Menanggapi tudingan Fredi, Kapolri Jendral Tito Karnavian mengaku tengah mendalami informasi yang disampaikan Haris. Tito mengaku telah menugaskan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar untuk menelusurinya.

"Kalau ada data lengkap kami follow up, tapi bisa saja itu alasan yang bersangkutan menunda eksekusi," kata Tito di Mabes Polri, Jumat (29/7).

BACA JUGA: