JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung menyatakan telah melakukan finalisasi pelaksanaan eksekusi mati tahap III yang rencananya dilaksanakan akhir pekan ini di Nusakambangan, Jawa Tengah. Regu tembak telah disiapkan dan para terpidana mati pun telah ditempatkan di ruang isolasi.

Namun pada detik-detik akhir eksekusi sejumlah terpidana meminta penundaan. Sebut saja terpidana asal Pakistan, Zulfikal Ali. Zulfikar mengaku akan mengajukan grasi karena masih memiliki hak tersebut. Lainnya terpidana mati asal Afrika Selatan, Seck Osmanie, juga meminta penundaan dengan alasan yang sama.

Meskipun sejumlah terpidana melakukan berbagai upaya hukum agar selamat dari timah panas regu tembak, Jaksa Agung HM Prasetyo bergeming. Dia menegaskan, ada 14 terpidana mati karena kejahatan narkoba yang akan tetap dieksekusi mati.

"Saya harap semua pihak bisa memahami ini. Termasuk para pengacara masing-masing terpidana hendaknya bisa membantu meskipun mungkin masih belum sepenuhnya sepaham dengan kita. Apa yang kita lakukan betul-betul untuk kepentingan bangsa ini," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Rabu (27/7).

Prasetyo mengatakan, persiapan eksekusi hampir rampung. Semua petugas telah berada di posisi masing-masing. Mulai dari petugas keamanan, regu tembak, dan para terpidana. Pihak keluarga telah diinformasikan dan Kementerian Luar Negeri juga telah menyampaikan notifikasi ke kedutaan besar yang warga negaranya akan dieksekusi.

Dari 14 terpidana yang akan ditembak mati, nama gembong narkoba Freddy Budiman dipastikan masuk. Kemudian Zulfikar Ali dan Mery Utami juga masuk. "Freddy masuk, akan kita eksekusi untuk tahap ketiga," kata Prasetyo.

Eksekusi terpidana mati merupakan kali ketiga di era pemerintahan Jokowi-JK. Ini, kata Prasetyo, sebagai bentuk perang terhadap kejahatan narkoba. Tak heran terpidana mati semuanya karena kasus narkoba.

Namun pelaksanaan eksekusi mati terus memunculkan pro dan kontra. Sejumlah LSM menolak eksekusi mati, seperti Kontras dan Imparsial.

Terlepas dari pelbagai pro kontra tersebut, hukuman mati punya landasan hukum yang kuat. Hukuman mati di Indonesia adalah salah satu jenis sanksi pidana pokok yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam Pasal 10 KUHPidana mengatur tentang jenis-jenis sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, dimana salah satunya adalah hukuman mati.

Adapun jenis-jenis pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHPidana adalah sebagai berikut:

A. PIDANA POKOK:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

Kemudian di dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pidana mati. Pasal 118 dan Pasal 121 Ayat (2) menyebutkan ancaman hukuman maksimal bagi yang melanggar pasal tersebut adalah pidana mati.

Beberapa aturan perundang-undangan yang masih memberikan hukuman pidana mati telah beberapa kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimentahkan MK. Salah satunya, dalam putusan No. 2-3/PUU-VI/2007, dengan pemohon Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani yang Warga Negara Indonesia (WNI), serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush.

MK menyimpulkan bahwa hak untuk hidup yang termuat di dalam Konstitusi (UUD 1945) tidak melarang hukuman mati yang diatur berdasarkan undang-undang. Hukuman mati tetap dapat dijatuhkan setelah menjalani proses hukum yang adil serta hanya untuk kejahatan serius.

LANGKAH HUKUM TERPIDANA - Meski begitu, berbagai upaya hukum tetap dilakukan para terpidana mati. Salah satu terpidana mati yang minta ditunda eksekusi adalah Zulfikar Ali.

Kuasa hukum Zulfikar, Saut Edward, menyampaikan, kliennya memiliki hak grasi. Itu didasari atas surat yang diterima Zulfikar dari Presiden Jokowi. Kata Saut, surat itu menyebutkan bahwa kliennya masih memiliki hak untuk grasi.

"Menurut saya JA (Jaksa Agung-Red) harusnya menunda pelaksanaan eksekusi kepada klien saya," kata Saut dikonfirmasi media, Rabu (27/7).

Saat ini Zulfikar telah diisolasi. Ibu kandungnya telah tiba dari Pakistan. Dalam pesan terakhirnya, kata Saut, Zulfikar berpesan agar aparat hukum di Indonesia tidak melakukan hal ini kepada orang yang ada di Indonesia.

Zulfikar menyatakan dirinya tak bersalah. "Saya tidak pernah mempunyai narkoba tersebut," kata Saut menirukan pesan Zulfikar.

Sebelumnya, kuasa hukum terpidana mati Seck ‎Osmane, Farhat Abas, juga mendatangi Kejaksaan Agung guna mengirimkan surat keberatan kliennya yang telah diisolasi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Farhat mengatakan, dari uji materi UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi Pasal 7 Ayat (2), telah diputuskan oleh MK bahwa pengajuan grasi tidak dibatasi.

"Karena itu kita minta pada presiden melalui JA agar memberi kesempatan kepada Osmane agar besok daftarkan grasi di PN Jaksel," jelasnya.

Dia juga menegaskan dahulu grasi tidak ada batasnya, namun oleh UU nomor 5 tahun 2010 dibatasi. Jadi saat vonis dihitung setelah satu tahun putusan berkekuatan hukum tetap bagi narapidana yang tidak ajukan grasi dapat langsung dieksekusi. Tetapi, setelah adanya putusan MK, maka pengajuan grasi tidak dapat dibatasi lagi.

Selain itu, kata Farhat, grasi juga merupakan hak preogratif presiden. "Jadi kapanpun, walaupun selama belum mengajukan grasi atau ditolak walaupun satu jam sebelum dieksekusi masih diberi kesempatan kepada terpidana mati untuk melakukan upaya mohon ampun pada presiden. Ini beda dengan inkracht-nya satu putusan baik tingkat pertama, kedua sampai MA," paparnya.

Namun kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rachmad, Seck Osmane sudah tidak memiliki upaya hukum lain untuk terbebas dari hukuman mati. Putusan MK yang mengatur pengajuan grasi tidak berlaku surut.

Dengan demikian, aturan ini berlaku untuk ke depan. "Saya sudah konfirmasi dengan ketua MK bahwa ini tidak berlaku surut," kata Rachmad di Kejaksaan Agung, Selasa (26/7).

BACA JUGA: