JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana presiden terpilih Jokowi menaikan harga bahan bakar minyak untuk mengatasi beban subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai bukan solusi yang tepat.  Indonesia for Global Justice (IGJ)  menganjurkan lebih baik Jokowi mengambil langkah mengoptimalkan penerimaan pajak dan efisiensi pengeluaran rutin.

Research and Monitoring Manager IGJ, Rachmi Hertanti mengatakan, mencabut subsidi hanya akan membawa efek domino lainnya seperti kenaikan harga barang pokok dan penurunan daya beli masyarakat. Sementara, jalan keluar berupa pemberian subsidi yang dialokasikan untuk pertanian seperti beras miskin atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) selama ini dirasa gagal dan belum mampu meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah.

“Seharusnya pemerintah melakukan penghematan anggaran dan meningkatkan penerimaan pajak. Penerimaan pajak kita tidak maksimal diserap oleh negara,” ujarnya dalam diskusi Fiskal 2015 di Kantor IGJ, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat, (29/8).

Ia mencontohan dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang jika diperhitungkan naik sebesar satu persen maka akan berimbas pada penerimaan PPN sebesar 10 persen. Besaran kenaikan potensi PPN tersebut sama untuk semua sektor usaha yakni sebesar 10 persen. Dengan demikian jika tarif PPN naik 1 persen di tahun 2015 maka penerimaan dari PPN akan bertambah Rp. 60,7 triliun dimana kenaikan pajak tersebut ditanggung proporsional di semua sektor.

Ia menyayangkan penurunan pendapatan pajak perdagangan internasional yang terdiri atas bea masuk dan bea keluar pada RAPBN tahun 2015. Target pajak 2015 turun 8,5 persen dari RAPBN 2014 atau sebesar Rp. 51.503,8 miliar. Padahal pajak perdagangan internasional pun bisa ditingkatkan dengan meningkatnya pula volume perdagangan Indonesia menjelang MEA.

Demikian juga dengan berkurangnya lifting migas, pendapatan PPh Migas juga mengalami penurunan dalam RAPBN 2015 sebesar 1,2 persen. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan cost recovery dari US$ 15 miliar di APBNP menjadi US$ 6,5 miliar pada RAPBN 2015, sementara pendapatan PPh nonmigas juga ditargetkan meningkat 13,8 persen. Konsekuensi pelaksanaan UU minerba pun nampaknya tidak berimbas apa-apa, pasalnya bea keluar ditetapkan menurun Rp 20,6 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 14,3 pada tahun 2015.

“Penerimaan pajak harus dihitung dengan benar, jika mencabut subsidi tapi mengesampingkan penerimaan pajak yang begitu besar terlihat sekali Jokowi tidak bisa berstrategi,” ungkap Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng dalam kesempatan yang sama.

Ia mengungkapkan, jika industri pengolahan material seperti gas bisa didorong maka Indonesia akan meraup penerimaan pajak yang besar. “Migas memang menjadi masalah sulit di negara ini. Sistem bagi hasil dengan kontraktornya saja sudah salah. Kita hanya dapat 40 persen, sedang jika ditotal bagi hasil dan cost recovery, mereka mendapat 60 persen. Ekspor gas pun belum dimaksimalkan, padahal Indonesia sudah setara dengan Qatar sebagai negara pengekspor gas. Anehnya, malah penerimaan gas kita hanya Rp 50 triliun.”

BACA JUGA: