JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lentera Anak Indonesia mendesak pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk melindungi anak Indonesia dari bahaya rokok. FCTC merupakan kesepakatan antar anggota World Health Organization (WHO) untuk pengendalian permintaan dan penawaran rokok secara nasional dan mengantisipasi efek lintas batas terhadap penggunaan rokok secara internasional.

Terkait pengendalian permintaan, pemerintah bisa mendorong penghentian rokok dengan peringatan pada gambar rokok. Lalu untuk pengendalian penawaran, FCTC mengatur adanya larangan penjualan rokok oleh dan untuk anak di bawah umur.

Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Hery Chariansyah menyebutkan perokok anak usia 10-14 tahun meningkat pada tahun 2001 dari 9,5% ke 12,7% pada tahun 2001. Lanjutnya, terjadi lagi peningkatan kuantitas perokok anak menjadi 20,3% pada tahun 2010.

Ia menjelaskan hal itu bisa terjadi karena perokok anak menjadi target dari industri rokok di Indonesia. "Anak merupakan sumber perokok pengganti, semakin muda, semakin panjang usia dia merokok. Mereka ini yang akan beri keuntungan pada industri rokok. Kenapa rokok bisa dikonsumsi anak-anak karena murah dan industri rokok punya jalur komunikasi tersebut ke anak-anak misalnya melalui televisi," ujarnya dalam konferensi pers seminar RUU Pertembakauan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (26/8).

Hery menambahkan, kebijakan pemerintah untuk mencegah dan melindungi anak dari rokok merupakan pemenuhan hak konstitusional anak untuk dapat tumbuh secara maksimal. Aturan untuk melindungi anak dari bahaya rokok juga sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Beleid itu secara tegas mengatur, negara dan pemerintah wajib bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus pada anak.

Lebih lanjut, ia menilai adanya aturan mengenai perlindungan anak terhadap bahaya rokok dianggap tidak mampu menangkis upaya industri rokok untuk mempengaruhi anak-anak mengkonsumsi rokok. Karena itu, kata Hery, jika pemerintah meratifikasi FCTC, hal itu akan menunjukkan keberpihakan pemerintah pada perlindungan anak dari zat adiktif rokok.

Namun, ia mengatakan pemerintah belum menunjukkan tanda akan meratifikasi FCTC menjelang akhir masa jabatannya. "Jika sampai akhir masa pemerintahan belum juga diratifikasi, pemerintah bisa dikatakan gagal melindungi anak dari zat adiktif rokok," ujar Hery.

Senada dengan Hery, Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menyatakan sebanyak dua per tiga kemampuan intelektual manusia dibentuk saat embrio memasuki indung telur. Ia menjelaskan jika seorang bapak adalah perokok maka potensi perkembangan intelektual tidak akan sebaik yang tidak merokok.

Ia menambahkan, penjagaan gizi terhadap perkembangan ibu hamil tidak terjaga jika ada yang merokok. Sehingga anak yang dilahirkan bisa saja tumbuh seperti biasa tapi dengan kemampuan intelektual yang rendah.

"Karena mayoritas masyarakat kita miskin, maka sebagian besar mengkonsumsi rokok. Ini adalah persoalan gizi yang bukan hanya menjadi tanggungjawab orang per orang tapi tanggungjawab negara," katanya pada acara yang sama.

BACA JUGA: