JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo hampir dua tahun menjalankan roda pemerintahan. Namun banyak kebijakan yang dikeluarkan tidak memihak pada kepentingan para buruh dan rakyat kecil.

Ketua Forum Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Arif Poyuono mengatakan kebijakan pemerintahan yang tidak berpihak kepada kepentingan buruh dapat dilihat dari paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi. Misalnya kebijakan menjadikan buruh-buruh asing ilegal yang tidak memiliki skill bekerja di Indonesia dan menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampaknya kini semakin banyak perusahaan yang mengurangi kesempatan bekerja bagi angkatan kerja baru bahkan sampai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi buruh.

Kebijakan pemerintahan Jokowi lainnya yang mengarah kepada pemberlakuan upah murah juga tertera dalam kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid VI. Kebijakan tersebut hanya mengakui satu serikat pekerja dalam dewan pengupahan dan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit di wilayah KEK tersebut.

"Hal itu merupakan bagian dari sebuah cara untuk menetapkan upah murah dan melestarikan sistem kerja kontrak," kata Arif kepada gresnews.com, Jakarta, Senin (2/5).

Ia mengatakan pemerintahan Jokowi-JK juga berusaha untuk mematikan perjuangan buruh dengan menggunakan aparat penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap 23 pengurus serikat pekerja, dua pengacara publik dan seorang mahasiswa yang melakukan penolakan upah murah tahun lalu. Begitu juga terhadap nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang nasib dan perlindungannya masih minim, sehingga pekerjaan para TKI mengarah kepada perbudakan.

Padahal sebelumnya para tenaga kerja asal Indonesia dijanjikan berupa gaji tinggi dengan kondisi kerja yang baik. "Proses tersebut sama dengan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa karena para TKI tidak bisa melarikan diri akibat terlilit hutang dan dokumennya disita oleh oknum tertentu," kata Arif.

Arif juga menyoroti mengenai kebijakan Jokowi-JK terkait investasi di Indonesia dan mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia, seperti menyetujui investor China yang berinvestasi di Indonesia. Persetujuan tersebut memberikan kemudahan untuk mengerjakan proyek investasinya dengan menggunakan tenaga kerja China. Padahal investasi asing dari China tidak memberikan dampak apa pun terhadap terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga negara Indonesia.

Dia menuturkan jika mengacu kepada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa lonjakan signifikan terhadap jumlah pekerja asing paruh waktu yang masuk ke Indonesia pada awal 2016. Menurutnya hal itu bukti bahwa pemerintahan Jokowi-JK gagal menambah jumlah lapangan kerja secara signifikan. Artinya, paket kebijakan ekonomi malah justru mendukung kehadiran para pekerja asing yang jumlahnya sudah ratusan ribu.

"Semakin banyak warga negara asing yang bekerja di Indonesia, maka semakin banyak pengangguran di tanah air," kata Arief.

PEMERINTAHAN NEOLIBERAL - Pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng menilai kaum buruh sangat sulit untuk memposisikan diri sebagai kekuatan ekonomi Indonesia saat ini. Sebab pemerintahan Jokowi-JK tidak pro terhadap kepentingan buruh dan rakyat. Dia menuturkan ada beberapa aspek yang menunjukkan watak pemerintahan Jokowi-JK yang mengancam keselamatan buruh, rakyat dan bangsa Indonesia.

Pertama, pemerintahan Jokowi-JK berwatak neoliberal dengan melakukan liberalisasi ekonomi, privatisasi BUMN dan komersialisasi di sektor publik. Misalnya, pemerintahan Jokowi mengeluarkan kebijakan mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik dan mencabut subsidi di sektor publik. Kemudian melakukan privatisasi BUMN dengan memaksa BUMN mengambil hutang luar negeri besar-besaran.

Kebijakan pemerintah neoliberal ini mengakibatkan ekonomi nasional terpuruk, industri nasional bangkrut dan PHK terjadi dimana-mana sehingga berakibat kemiskinan menjadi meluas.

Kedua, melestarikan oligarki. Menurutnya kebijakan neoliberal pemerintah Jokowi menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya oligarki yaitu para pengambil kebijakan (legislator), sekaligus sebagai pelaksana kebijakan (eksekutif) dan sebagai pemenang tender dan pelaksana proyek-proyek pemerintah. Anggaran negara yang merupakan hasil keringat buruh dan rakyat menjadi sumber akumulasi bagi oligarki yang berkuasa.

"Buruh tidak mendapatkan keadilan dalam hal distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN dijadikan bancakan oleh para oligarki," kata Salamuddin kepada gresnews.com.

Ketiga, pemerintahan Jokowi bersandar kepada dana asing. Menurutnya pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan ekonomi hanya bersandar pada modal asing, utang luar negeri dan barang-barang impor. Dia menilai dana dalam berbagai mega proyek yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi merupakan proyek yang sepenuhnya disokong oleh dana asing. Akibatnya proyek Jokowi memperluas kesempatan kerja di luar negeri yang menjadi asal dana dalam mega proyek.

Keempat, buruh dipaksa untuk berdisiplin membayar pajak sementara pengusaha hitam diberikan pengampunan pajak (tax amnesty). Dia menilai buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, Polri merupakan pihak yang paling disiplin dalam membayar pajak karena setoran yang bersifat memaksa langsung dipotong oleh negara. Tetapi, terbalik dengan para koruptor dan pengusaha hitam yang diampuni dosa korupsinya dan akan diampuni penggelapan pajaknya dengan UU Tax Amnesty.

Kelima, pemerintahan Jokowi sangat pro impor. Menurutnya pemerintahan Jokowi sangat pro terhadap barang-barang impor baik barang-barang industri termasuk impor pangan. Selama tahun 2015, pemerintah telah melakukan impor sebanyak 1,5 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand yang berakibat mematikan usaha para petani dan buruh tani.

"Kenaikan harga pangan dinikmati oleh petani dan buruh tani di negara lain," kata Salamuddin.

Keenam, sumber kebangkrutan dan PHK. Menurutnya kebijakan pemerintah yang memberlakukan pajak tinggi, cukai tinggi, bunga tinggi disertai dengan ketidakmampuan dalam menjaga jatuhnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika (USD). Rupiah sempat mengalami terdepresiasi sebesar 14 persen sampai 20 persen. Akibatnya pemerintah berambisi mengeruk pendapatan negara sebesar-besarnya dengan menjalankan pungutan untuk mengejar angka APBN yang ambisius. Akibatnya PHK terjadi dimana-mana dan tingkat pengangguran melompat ke 9 persen.

Ketujuh, pemerintahan Jokowi tidak mampu menciptakan kesempatan kerja. Menurutnya kurang dari 200 ribu pekerjaan diciptakan antara Agustus 2014 dan Agustus 2015, sedangkan penduduk berusia 15 tahun keatas meningkat sebesar 3,1 juta orang. Pada periode yang sama, jumlah pengangguran meningkat lebih dari 300 ribu orang, sedangkan jumlah orang tidak aktif secara ekonomi naik sebesar 2,6 juta. Padahal pemerintah mengelola dana lebih dari Rp2000 triliun yang berasal dari Asian Development Bank (ADB).

Kedelapan, pemerintah membiarkan angka inflasi menjadi tinggi. Pemerintahan tidak dapat mengendalikan inflasi bahkan cenderung membiarkannya. Inflasi tertinggi terjadi pada harga pangan terutama kebutuhan pokok masyarakat. Akibatnya daya beli buruh dan masyarakat pada umumnya mengalami penurunan. Menurutnya pemerintah secara sengaja memperkaya para importir yang mengambil keuntungan berlipat ganda dari menjual pangan mahal kepada rakyat Indonesia. Sementara, harga pangan dunia telah menurun secara tajam sejak 2014 lalu. Namun Indonesia mengalami kenaikan, sampai dengan Februari 2016 harga pangan meningkat 7,6 persen (year on year).

"Kebijakan ini telah menyebabkan pendapatan kaum buruh tergerus dalam dan tidak sebanding dengan kenaikan upah," kata Salamuddin.

Kesembilan, pemerintah membebaskan buruh asing masuk ke Indonesia. Dia menilai bersamaan dengan proyek-proyek yang dibiayai dana asing sekaligus membawa tenaga kerja, mengakibatkan pengangguran semakin meningkat sehingga pertumbuhan kesempatan kerja justru dimanfaatkan pekerja asing. Bank Dunia menyebutkan tahun 2016, terdapat lebih dari 3 juta anak muda Indonesia kehilangan harapan untuk bekerja karena tidak adanya kesempatan bekerja.

Kesepuluh, pemerintah mengeluarkan kebijakan program satu juta rumah untuk orang asing. Dia mengungkapkan pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Aturan itu menyebutkan asing dapat memiliki hak milik atas rumah sama dengan pribumi.

Menurutnya Permen tersebut merupakan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. Melalui peraturan tersebut juga diberikan keistimewaan kepada orang asing sehingga hak atas rumahnya setara dengan hak milik karena properti tersebut dapat dijadikan jaminan utang dan dapat diwariskan.

"Peraturan ini akan mendorong naiknya harga rumah, sehingga semakin tidak terjangkau oleh buruh. Sementara pada saat yang sama, buruh dipaksa untuk membayar tabungan wajib perumahan yang disebut Tapera," kata Salamuddin.

BACA JUGA: