JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengatakan, tidak akan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung terkait putusan praperadilan yang dimenangkan Komisaris Jenderal Polisi  Budi Gunawan. Meski demikian, kata pimpinan sementara KPK, Johan Budi, pimpinan KPK masih mencari jalan keluar menghadapi putusan tersebut.
 
Menyikapi hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan, bagaimana pun harus tetap ada pihak yang dimungkinkan untuk mengajukan PK atau kasasi ke MA, selain daripada pihak-pihak yang berperkara. Misalnya, pihak ketiga yang bekepentingan, misalnya kelompok masyarakat.
 
Sebab, menurut Peneliti Hukum PSHK Indonesia Miko Susanto Ginting, persoalan tersebut bukan lagi menjadi ranah Budi Gunawan dengan KPK semata. Tujuannya adalah agar menjaga kesatuan penerapan hukum dan menjaga wibawa hukum di Masyarakat.
 
"Ini bukan hanya persoalan Budi Gunawan dengan KPK. Ada pertanyaan hukum yang mesti dijawab oleh MA, yaitu apakah penetapan tersangka dapat diuji di praperadilan atau tidak," kata Miko kepada Gresnews.com, Sabtu (28/2).
 
Pertanyaan-pertanyaan hukum seperti itu, lanjutnya, seharusnya diberikan jawaban dan diluruskan oleh MA. Pasalnya MA juga harus berperan dalam menjaga efektivitas jalannya sistem peradilan pidana. Maka itu, pilihannya ada dua, yaitu menerima kasasi atau PK dari KPK atau kedua, memperluas pihak-pihak yang dapat mengajukan PK selain pihak yang berperkara.
 
Sebelumnya Johan mengatakan, KPK telah melakukan langkah hukum dengan mengirimkan surat kepada MA dan mengajukan kasasi. Namun kasasi itu pun ditolak oleh PN Jaksel, tetapi ditolak. Dengan begitu kata dia, para Komisioner KPK masih mencari jalan keluar untuk kelanjutan kasus Budi Gunawan. Namun dia memastikan pihaknya tidak akan ajukan Peninjauan Kembali (PK).

"Dari awal opsinya kasasi, bukan PK. Karena itu, yang kita lakukan adalah kasasi," kata Johan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (28/2).
 
Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan sebagian permohonan gugatan yang diajukan Budi dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak sah secara hukum. Budi merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
 
Pasca putusan praperadilan itu, KPK mengambil langkah hukum dengan mengajukan kasasi ke MA. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak kasasi yang diajukan KPK terkait putusan praperadilan Budi Gunawan. Alasannya, putusan praperadilan sudah final. Sementara itu, MA juga sudah memberi sinyal akan menolak jika KPK mengajukan peninjauan kembali (PK). Alasannya, dalam ketentuan, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau hak warisnya.

Sebaliknya, penggiat hukum Koalisi Pemantauan Peradilan, Choky Ramadhan, berpendapat tidak ada alasan bagi MA untuk tidak menerima kasasi KPK tersebut.

"MA harus melakukan terobosan hukum untuk mengoreksi putusan praperadilan Budi Gunawan dengan cara menerima kasasi KPK," kata penggiat hukum Koalisi Pemantauan Peradilan, Choky Ramadhan kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, putusan praperadilan ini memiliki implikasi hukum yang serius bagi perkembangan hukum dan pemberantasan korupsi ke depan.

Kedua, MA bertugas untuk menjaga kesatuan penerapan hukum. Ketiga, Kasasi adalah forum judex jurist di mana penerapan hukumnya yang dipermasalahkan. Kata Choky, kasasi menjadi pilihan yang harus diambil karena MA harus bisa menjawab pertanyaan: Apakah penetapan tersangka bisa menjadi objek praperadilan atau tidak?

Selain itu, penafsiran hakim mengenai aparat penegak hukum yang tidak masuk dalam kewenangan KPK juga perlu diluruskan oleh MA karena putusan praperadilan tersebut mempersempit penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan penegak hukum.

Pada titik ini, lanjutnya, MA harus berani menyimpangi Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa praperadilan bukan objek kasasi. Ia berpendapat, penyimpangan terhadap pasal tersebut tidak akan menuai permasalahan. Sebaliknya justru akan bermanfaat bagi perkembangan hukum ke depan karena tujuan dari pasal tersebut sebenarnya untuk mengurangi jumlah perkara di MA dan menjaga kesatuan penerapan hukum.

Hal itu ungkapnya,  terkonfirmasi dari praktik MA selama ini yang sering menerima dan mengabulkan kasasi yang seharusnya tidak bisa diajukan kasasi.
 

BACA JUGA: