JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Pakar keamanan cyber dan komunikasi Pratama Persadha menyarankan agar pihak Kementerian Hukum da Hak Asasi Manusia memasang alat pengacak sinyal untuk melumpuhkan komunikasi para bandar narkotika dan zat berbahaya (narkoba) yang tetap bisa mengatur bisnis haramnya meski sudah dipenjara. Kendali bisnis narkoba dari balik penjara memang sudah sangat mengkhawatirkan.

Hal itu terbukti dari inspeksi mendadak yang dilakukan Menkumham Yasonna Laoly Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/5) lalu. Dalam sidak itu, Yasonna berhasil menyita sekitar 48 ponsel pintar dan berbagai jenis narkoba. Hal ini sangat disayangkan, karena seharusnya lapas menjadi tempat yang steril dan memberikan efek jera bagi para tahanan kasus narkoba. Ditemukannya ponsel pintar di Lapas juga memperkuat dugaan banyak pihak, para bandar narkoba masih bisa mengendalikan bisnisnya walau di dalam penjara.

Ini sesuai dengan data yang dilansir Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa 70% peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan dari dalam Lapas. Sebelumnya, pada bulan Maret Polri yang langsung dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Budi Waseso juga melakukan sidak dan menemukan bandar narkoba Freddy Budiman aktif mengatur perdagangan narkoba dari balik lapas.

Kejadian ini mempertegas apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri, bahwa perputaran uang narkoba di Indonesia cukup besar, sekitar 43% dari total Rp110 triliun di kawasan Asia Tenggara. Angka inilah yang membuat Bandar narkoba tak akan jera hanya dengan hukuman penjara dan vonis mati.

Pratama Persadha menyambut baik usaha sidak ini, namun pria yang sempat bertugas mengamankan IT Kepresidenan dan KPU ini melihat bahwa Kemenkumham tidak cukup hanya mempertegas larangan pemakaian ponsel oleh para terpidana. "Kemenkumham lewat Lembaga Pemasyarakatan perlu menyiapkan pendekatan teknologi untuk menghambat komunikasi para gembong narkoba. Salah satu caranya adalah penggunaan teknologi pengacak sinyal komunikasi atau jammer dan signal detector," kata Pratama dalam keterangannya kepada Gresnews.com, Selasa (2/6).

Pratama yang juga Ketua lembaga riset CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) menjelaskan, pemakaian teknologi jammer di lapas sudah ada, namun dengan power yang besar akan sangat menggangu komunikasi masyarakat di sekitar lapas. "Seharusnya kekuatan jammer bisa disesuaikan dengan besar dan luasnya sel tahanan, dikontrol langsung dari command center," ujarnya.

Penggunaan teknologi jammer yang presisi ini diyakini akan lebih efektif, karena langsung melumpuhkan alat komunikasi. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan teknologi ini akan sangat berguna bila dijalankan oleh SDM yang benar-benar bisa dipercaya.

"Command Center inilah yang digunakan sebagai sarana untuk mengontrol penggunaan  jammer dan signal detector di setiap lapas. Dengan pengawasan yang terpusat diharapkan, usaha pencegahan peredaran narkoba bisa lebih efektif, karena menyasar langsung pada otak pelakunya," jelas Pratama.

Ditambahkan olehnya, command center yang ada nantinya juga bisa dijadikan sebagai pusat komando CCTV berbagai Lapas yang ada di Indonesia seperti keinginan Kemenkumham. "Dengan penggunaan jammer, signal detector dan CCTV seharusnya para bandar narkoba di Lapas akan lumpuh dan tidak dapat mengatur bisnisnya lagi," tegas Pratama.

Namun dia mengingatkan agar sistem yang bagus nantinya diimbangi dengan pengamanan yang kuat. "Bila nanti ada command center untuk mengontrol jammer, signal detector dan CCTV, sebaiknya nanti sistem itu diamankan dengan teknologi enkripsi. Seperti secure Virtual Private Network (VPN) misalnya," saran dia.

Adapun untuk menjaga independensinya, command center bisa dikelola tim bersama yang dibentuk Polri, Kemenkumham, BNN dan Lembaga Sandi Negara. "Sehingga tercipta check and balance disana," pungkasnya.
.

BACA JUGA: