JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpidana koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Modern Samadikun Hartono kembali membuat ulah. Meski telah berjanji untuk melunasi uang pengganti ke negara, dengan cara mencicil selama 4 tahun. Ternyata hingga tenggat pertama pelunasan pada 31 Mei 2016, ia ingkar janji membayar cicilan sebesar Rp21 miliar dari  uang pengganti yang diputuskan pengadilan sebesar Rp169 miliar. Jaksa pun mengancam akan melelang sejumlah aset yang telah disita.

Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat selaku jaksa eksekutor telah memberi kemudahan kepada Samadikun untuk mencicil uang pengganti sebesar Rp169 miliar selama empat tahun. Dimana setiap tahun, buronan 13 tahun ini diwajibkan mencicil sebesar Rp42 miliar. Pada 31 Mei 2016 Samadikun berjanji untuk membayarkan separuhnya Rp21 miliar. Kemudian akan diikuti pembayaran sebesar Rp21 miliar berikutnya pada, 31 November 2016 mendatang.

"Ternyata belum dibayar juga oleh Samadikun hingga akhir bulan Mei," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Hermanto di Jakarta, Kamis (1/6).

Selaku eksekutor  Jaksa akan memberi tenggat waktu hingga 31 November kepada keluarga Samadikun Hartono, untuk melunasi kewajiban cicilan Rp42 miliar untuk tahun pertama. Jika membandel dan tidak melunasi kewajibannya, maka tim eksekutor  akan melelang harta milik Samadikun, di antaranya tiga sertifikat rumah dan tanah serta mobil mercedes tua yang disita oleh tim eksekutor.

Tiga sertifikat tanah dan rumah, yang disita adalah sertifikat rumah plus bangunan di Jalan Jambu No. 88, RT 05/002, Kelurahan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Tanah di sekitar kediamannya, di Jalan Jambu serta sertifikat tanah di Cipanas, Puncak.

Seperti diketahui, Samadikun mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp2,557 triliun pada 1998 yang kemudian disalahgunakan. Akibatnya, negara dirugikan Rp169 miliar. Samadikun kemudian melarikan diri sebelum putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1696 K/Pid/2002, 28 Mei 2003 yang menghukum dirinya  empat tahun dilaksanakan eksekusinya.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan pelunasan secara cicilan, untuk pembayaran uang pengganti Samadikun tidak melanggar undang-undang (UU). Pembayaran dengan cara dicicil pernah diterapkan pada pembayaran denda pajak perkara Asian Agri Group (AAG) era Jaksa Agung Basrief Arief. Dimana, AAG milik Taipan Sukanto Tanoto diberikan kemudahan mencicil denda pajak sebesar Rp2,5 triliun.

PINTU MASUK TUNTASKAN KASUS BLBI - Tertangkapnya Samadikun oleh Tim Pemburu Koruptor di China beberapa waktu lalu sejatinya bisa mendorong Kejaksaan Agung dan KPK menuntaskan kasus-kasus terkait BLBI hingga tuntas. Baik kasus pidana maupun perdata.

Salah satunya dengan menerbitkan surat perintah penyidikan baru dengan pengusutan tindak pidana pencucian uang. Seperti disampaikan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Fitra mendorong penegak hukum untuk menyelesaikan kasus BLBI hingga tuntas apalagi akan kadaluarsa. Dan itu bisa dimulai dengan melakukan aset tracing milik Samadikun.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan tak menutup kemungkinan untuk menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk mengusut kasus BLBI. Namun Prasetyo mengatakan sprindik baru harus disertai pertimbangan matang agar tidak mudah digugat melalui praperadilan. "Lihat nanti (kasus BLBI), jangan juga dilakukan penyidikan, ternyata nanti dikalahkan di praperadilan. Kami pelajari dulu," kata Prasetyo di Jakarta beberapa waktu.

KASUS GAGAL BAYAR - Selain harus menagih uang pengganti terpidana BLBI seperti Samadikun Hartono, Kejaksaan Agung masih punya tunggakan perkara perdata kasus gagal bayar obligor BLBI Sjamsul Nursalim di Kejaksaan Agung.

Sjamsul Nursalim merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp27,4 triliun. Setelah dilakukan sita aset dan lainnya, Sjamsul Nursalim ternyata masih belum melunasi kewajiban kurang bayar sebesar Rp4,758 triliun setelah diterbitkannya Surat Keterangan Lunas (SKL).

SKL sendiri adalah kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2004 oleh Megawati Soekarno saat masih menjabat Presiden RI, yang tertuang dalam Instruksi Presiden (inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Inpres itu menjanjikan para obligor yang melunasi utang BLBI dibebaskan dari tuntutan hukum, sesuai SKL yang diterbitkan.

Kasus itu bermula adanya dugaan penyalahgunaan dana BLBI yang dikucurkan pada sejumlah bank di Indonesia. Dalam proses penyelidikan Kejagung menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana BLBI dan bahkan telah diterbitkan surat penahanan.

Namun upaya penahanan Sjamsul gagal, karena Jaksa Agung Marzuki Darusman kala itu mengabulkan permohonan izin berobat Sjamsul ke Kokura Memorial Hospital, Osaka, Jepang, selama tiga minggu. Usai berobat, Sjamsul malah bersembunyi di Singapura sampai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL untuk Sjamsul.

Kasus Sjamsul ini ditangani Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Jamdatun Bambang Setyo Wahyudi mengatakan, saat ini Jaksa Pengacara Negara masih menunggu Surat Kuasa Khusus untuk melakukan gugatan perdata. "Kita masih menunggu SKK dari Kemenkeu," kata Bambang beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: