JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono segera membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp169 miliar. Jika tidak dipenuhi maka Kejaksaan akan menyita aset-aset milik Samadikun.

"Samadikun mulai ada pembicaraan dengan Pidsus. Kami minta supaya segera dipenuhi dengan asetnya," kata Jaksa Agung Mohammad Prasetyo di Kejaksaan Agung, Rabu (11/5).

Prasetyo mengatakan, jumlah uang pengganti tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Meskipun jika dikurs dengan nilai rupiah sekarang jumlah bisa lebih besar. Eksekusi uang pengganti di tangan jaksa Pidsus sebagai eksekutor.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah menyampaikan Samadikun telah menyatakan kesediaannya untuk membayar uang pengganti. Bahkan pekan lalu, pihak Samadikun telah berkomunikasi dengan tim jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Mereka siap menyetorkan uang sebesar Rp169 miliar.

"Keluarganya datang ke LP (Lembaga Pemasyarakatan) mendiskusikan untuk membayar uang pengganti, rumahnya siap diserahkan yang di jalan Jambu katanya ditaksir sekitar Rp50 miliar, kemudian yang tanah di Puncak (Bogor) belum tahu ditaksir berapanya," kata Arminsyah.

Seperti diketahui, Samadikun merupakan salah satu buronan paling dicari oleh pemerintah Indonesia setelah kabur ke luar negeri. Pengadilan telah memvonisnya bersalah menyalahgunakan dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp2,5 triliun untuk Bank Modern saat krisis keuangan tahun 1998. Samadikun adalah Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk saat itu.

Akibat ulah Samadikun tersebut negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 169 miliar sebagaimana putusan Mahkamah Agung (MA), tanggal 28 Mei 2003 juga memvonisnya 4 tahun penjara. Namun Samadikun belum menjalani hukuman tersebut karena berhasil melarikan diri sejak tahun 2003 dan lolos dari kejaran Tim Terpadu Pencari Tersangka dan Aset Terpidana.

KASUS LAIN BLBI - Tertangkapnya Samadikun oleh Tim Pemburu Koruptor di China sejatinya bisa memantik Kejaksaan Agung dan KPK menuntaskan kasus-kasus terkait BLBI lainnya hingga tuntas. Seperti kasus gagal bayar obligor BLBI Sjamsul Nursalim di Kejaksaan Agung.

Sjamsul Nursalim merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp27,4 triliun. Setelah dilakukan sita aset dan lainnya, Sjamsul Nursalim ternyata masih belum melunasi kewajiban kurang bayar sebesar Rp4,758 triliun setelah diterbitkannya Surat Keterangan Lunas (SKL).

SKL sendiri adalah kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2004 oleh Megawati Soekarno saat masih menjabat Presiden RI, yang tertuang dalam Instruksi Presiden (inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Inpres itu menjanjikan para obligor yang melunasi utang BLBI dibebaskan dari tuntutan hukum, sesuai SKL yang diterbitkan.

Kasus itu bermula dari adanya dugaan penyalahgunaan dana BLBI yang dikucurkan pada sejumlah bank di Indonesia. Dalam proses penyelidikan Kejagung menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana BLBI dan bahkan telah diterbitkan surat penahanan.

Namun upaya penahanan Sjamsul gagal, karena Jaksa Agung Marzuki Darusman kala itu mengabulkan permohonan izin berobat Sjamsul ke Kokura Memorial Hospital, Osaka, Jepang, selama tiga minggu. Usai berobat, Sjamsul malah bersembunyi di Singapura sampai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL untuk Sjamsul.

KPK yang juga mengusut kasus BLBI, malah menangkap Ketua Tim Penyelidik BLBI BDNI, Urip Tri Gunawan. Ia diduga menerima suap dari kerabat Sjamsul Nursalim sebesar US$660 ribu setara Rp6,1 miliar. Urip lalu divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

KPK sendiri saat ini masih mendalami dugaan penyalahgunaan para penerima dana BLBI dan telah memanggil banyak pihak. Rini Soemarno yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan juga telah dipanggil KPK. Bahkan KPK berencana memanggil presiden saat itu Megawati Soekarnoputri.

Kasus Sjamsul ini ditangani Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Jamdatun Bambang Setyo Wahyudi mengatakan, saat ini Jaksa Pengacara Negara masih menunggu Surat Kuasa Khusus untuk melakukan gugatan perdata. "Kita masih menunggu SKK dari Kemenkeu," kata Bambang beberapa waktu lalu.

KEJAR TPPU - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta penegak hukum untuk menuntaskan kasus BLBI hingga tuntas. Apalagi kasus BLBI akan kadaluarsa. Salah satunya dengan menerbitkan surat perintah penyidikan baru dengan pengusutan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di pusaran korupsi ini.

Namun Kejaksaan Agung enggan melanjutkan pengusutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Arminsyah, saat ini proses hukum seluruh kasus BLBI telah selesai.

"Dulu itu sudah selesai semua. Itu lain masalah (jika menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang). Yang jelas, BLBI dulu sudah selesai," ujarnya di Gedung Bundar Kejagung.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berkata, surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk mengusut kasus BLBI harus disertai pertimbangan matang agar tidak mudah digugat melalui praperadilan. "Lihat nanti, jangan juga dilakukan penyidikan, ternyata nanti dikalahkan di praperadilan. Kami pelajari dulu," kata Prasetyo di Jakarta.

BACA JUGA: