JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana untuk dapat menjerat perempuan pekerja seks dengan pasal pidana dalam Rancangan Undang-Undang KUHP dianggap diskriminatif dan tidak adil. Sebab perempuan pekerja seks biasanya tidak memiliki pilihan lain ketika memutuskan untuk mengambil "profesi" tersebut. Sehingga sebelum para pembuat undang-undang membuat aturan untuk menjerat perempuan pekerja seks dengan pasal pidana, pemerintah dinilai harus bisa memberikan pilihan pekerjaan dan solusi bagi profesi tersebut.

Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, dalam situasi instrumen ketersediaan hukum seperti saat ini, yang paling memungkinkan adalah menghukum mucikari dan pengguna jasa perempuan pekerja seks ketimbang menjerat mereka dengan pasal pidana. Sementara kalau ke depan ada wacana ingin menghukum pekerja seksnya juga, hal itu harus dipikirkan secara komprehensif.

"Di satu sisi kalau ingin mencontoh Swedia, pemerintahnya menyediakan pilihan lain buat pekerja seksnya. Seperti program bantuan sosial bagi mereka yang meninggalkan pekerjaan tersebut," ujar Azriana saat dihubungi Gresnews.com, Rabu (3/6).

Ia melanjutkan, pekerja seks memang pekerjaan yang berbahaya dan tidak layak untuk perempuan. Tetapi persoalannya banyak perempuan tidak memiliki pilihan lain. "Sehingga pemerintah harus memberikan pilihan atau jalan keluar tersebut. Setelah itu baru dianggap bisa untuk menerapkan aturan yang bisa menghukum pidana perempuan pekerja seks," ujarnya.

Menurutnya, ketika pilihan pekerjaan lain belum disediakan bagi para perempuan pekerja seks dan mereka dikriminalkan, hal tersebut dianggap tidak adil. Mengenakan hukum pidana bagi perempuan pekerja seks juga dinilainya melanggar hak sebagai warga negara yang berhak atas pekerjaan untuk mempertahankan hidup. Sehingga baginya persoalan ini tidak bisa dilihat secara parsial dengan menetapkan pemidanaan dalam KUHP.

Azriana menilai hukuman bagi pekerja seks harus dilihat dari pendekatan hak asasi manusia yang berperspektif gender. Lalu pilihan atas pekerjaan lain juga tidak bisa serta merta diseragamkan. Misalnya mereka yang tidak lagi menjadi pekerja seks disuruh menjadi penjahit atau salon. "Tidak semua orang itu kapasitasnya, jadi pendekatannya harus partisipatif," lanjut Azriana.

Senada dengan Azriana, peneliti dari Indonesia Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah menuturkan, dalam melihat persoalan prostitusi, perempuan bisa menjadi pekerja seks kerapkali lantaran menjadi korban perdagangan manusia.

"Kalau pekerja seks tersebut sudah menjadi korban lalu dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan pelacuran, maka dia menjadi korban lagi untuk kedua kalinya. Sehingga hukum yang ada tidak bijak," ujar Aminah saat dihubungi Gresnews.com, Rabu (3/6).

Menurutnya, di balik industri prostitusi yang paling dikorbankan justru perempuan. Sehingga kalau perempuan pekerja seks malah dikriminalkan melalui hukum pidana yang ada, maka hal tersebut dianggap tidak adil karena tidak melihat dari perspektif perempuan pekerja seks.

Sebelumnya, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat fraksi PPP Arsul Sani mewacanakan untuk memperketat bisnis prostitusi dengan revisi UU KUHP. Wacana revisi KUHP akan memasukkan aturan agar bisa menjerat pelaku zina dengan pasal pidana.

Tidak hanya itu, semua pihak yang terkait bisnis prostitusi juga akan dijerat pidana. Untuk diketahui selama ini Pasal 506 KUHP hanya mengatur yang terjerat pidana hanya mucikarinya saja.

BACA JUGA: