JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyelewengan perizinan lahan perkebunan, utamanya untuk perkebunan sawit pada tahun 2014 lalu membuat negara rugi mencapai Rp177 miliar. Kerugian ini diprediksi akan bertambah akibat adanya perhelatan Pilkada serentak pada Desember 2015 nanti. Sebab, banyak modus para kepala daerah untuk menebus balik modal ketika berkampanye dengan cara dengan menjual izin perkebunan.

Pada tahun 2014, kerugian negara dari alih fungsi hutan ke perkebunan kelapa sawit berfokus di dua kasus, masing-masing dari perusahaan Sumatera Selatan dan Aceh. Modus yang ditemukan merupakan pelebaran lahan dan melakukan penebangan tanpa adanya izin dan dan hak guna usaha (HGU) oleh perusahaan.

Contohnya saja di Kapuas hulu yang belum memiliki HGU, tapi telah melakukan penebangan di kawasan hutan lindung. "Data ini menunjukan kerugian negara dari praktik kejahatan kehutanan sangat dahsyat dari tahun ke tahun, kejahatan alih fungsi hutan tidak berkurang," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) R Maona Wasef, dalam diskusi "Modus Korupsi di sektor Perkebunan Sawit" di Cheese Cake Factory, Cikini, Minggu (26/4).

Selain alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, kerugian negara juga bertambah karena banyak perusahaan sawit nakal, kurang membayarkan kewajiban pajaknya. Dari hasil penelitian ICW, dari sembilan perusahaan perkebunan sawit saja dapat menimbulkan potensi kerugian negara di sektor pajak sebesar Rp5,65 triliun. "Banyaknya upaya pengemplangan pajak ini dilakukan perusahan-perusahaan besar," katanya.

Potensi kerugian dan pengemplangan pajak oleh perusahaan sawit diprediksi akan bertambah lantaran Pilkada serentak akhir 2015 nanti. Izin pembukaan lahan selama ini sering dijadikan sumber keuntungan tersendiri bagi para pemimpin daerah dan menjadikan mereka raja-raja kecil di wilayahnya.

Ronald Siahaan dari Sawit Watch juga menyatakan kekhawatirannya akan pembukaan lahan yang sudah pasti makin menggila. Selama ini setiap tahunnya, perluasan lahan sawit bisa mencapai 500 ribu hektare. Ia memprediksi perluasan lahan akan meningkat hingga tiga kali lipat akibat pilkada serentak.

Pilkada yang diikuti 272 daerah, pasti memiliki banyak calon kepala daerah terutama incumbent yang membutuhkan uang banyak untuk memenangkan pemilihan. "Sedang, salah satu cara mendapatkan dana cepat dengan menjual HGU kepada para pengusaha Sawit," katanya dalam kesempatan sama.

HGU akan diberikan sebelum dan sesudah calon kepala daerah menang, sebagian besarnya diberikan setelah menang. Penelusuran Sawit Watch menyatakan pengusaha bisa mengeluarkan uang hingga Rp7 miliar untuk sebuah perizinan.

Dikhawatirkan izin-izin suap tersebut dikeluarkan tanpa proses yang memadai, yakni tidak mempertimbangkan dampak lingkungan sehingga pasti akan merusak hutan, serta memicu konflik dengan masyarakat lokal. "Kami khawatir konflik antara pengusaha sawit dengan masyarakat akan meningkat, karena izinnya diberikan sembarangan," ujarnya.

Sepanjang tahun 2015 sudah tercatat tiga kasus terjadi akibat konflik serupa, mulai dari konflik tiga desa di Sampanahan Hilir, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Lalu berlanju dengan konflik kekerasan oleh anggota Polri terhadap warga Muara Teweh yang memprotes PT Pesona Lintas Surasejati, dan tewasnya Indra Pelani seorang anggota serikat petani di Jambi.

Melihat catatan itu semua, ia meminta pemerintah, memoratorium izin-izin tersebut setidaknya sampai pilkada usai. Sebab, prediksinya, lahan di Sumatera dan Kalimantan akan kembali menjadi sasaran potensial pembukaan sawit. "Juga Papua yang masih tersedia banyak lahan dan sulit terpantau dari pemerintah pusat di Jakarta," katanya.

BACA JUGA: