JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perhubungan terkait pembangunan Pelabuhan Cilamaya masih terus berlanjut. Pembangunan Pelabuhan Cilamaya sendiri bagi Kemenhub sangat penting mengingat pelabuhan utama saat ini di Jakarta, Tanjung Priok, diperkirakan hanya dapat menampung pertumbuhan kargo, kapal, dan berbagai fasilitasnya hingga 2020.

Untuk mengantisipasinya, telah dilakukan pengembangan Terminal Kali Baru yang diharapkan dapat memperpanjang "umur" pelabuhan. Namun arus barang diperkirakan akan mencapai 12 juta kubik ekuivalen unit pada 2025. Setelah itu Pelabuhan Tanjung Priok diperkirakan akan stagnan dan tidak dapat menampung pertumbuhan baru.

Karena itulah Kemenhub kemudian melakukan studi daerah baru sejak 2010 untuk membangun pelabuhan dengan target jangka menengah panjang. Dari sembilan lokasi yang dianggap potensial sebagai pelabuhan baru, akhirnya terpilih di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, sebagai lokasi pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok.

Sayangnya di kawasan itu ada fasilitas pipa gas milik Pertamina yang diperkirakan akan terganggu jika pelabuhan Cilamaya beroperasi. Terlebih lagi, pipa gas sangat vital untuk memasok gas bagi pembangkit listrik dan industri di Jakarta. Karena itulah Pertamina ngotot agar pelabuhan Cilamaya tidak dibangun.

Persoalan ini, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha, merupakan persoalan klasik yang tidak pernah tuntas diselesaikan setiap era pemerintahan. "Semua sektor dan kementerian mempunyai proyeksi sendiri-sendiri. Tidak ada terintegrasi, terkoordinasi dan tidak sinkron dengan sektor lain," kata Satya di acara diskusi terkait pelabuhan Cilamaya di Cikini, Jakarta, Sabtu (28/3).

Prediksi pertumbuhan yang digambarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tersebut sudah ada sejak 20 tahun lalu. Berdasarkan studi analisis yang dilakukan Bappenas, lanjut Satya, setiap pelabuhan akan mencapai titik jenuh. "Persoalan utama polemik rencana pembangun Pelabuhan Cimalaya ini adalah tidak adanya koordinasi, sinkronisasi secara terintegrasi dengan sektor lainnya," kata Satya.

Sejak awal, menurutnya, telah terjadi miskomunikasi antarkementerian. "Tidak ada kerangka besar bersama yang sifatnya nasional dan multisektoral. Sehingga menimbulkan persoalan tumpang-tindih antara satu sektor dengan sektor lain," ujarnya.

Kementerian Perhubungan hanya melihat kejenuhan yang akan dihadapinya, tidak menghitung kerugian sektor lain. "Kalau ada integrasi, koordinasi dan sinkronisasi tidak mungkin ada kontroversi pembangun Cimalaya," tegasnya. Melihat kondisi ini, kata dia, seharusnya Bappenas bisa menjembatani antara kepentingan keuangan, dan ketahanan energi.

Sebaliknya, Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Kemenhub Adolf R Tambunan, mengaku sudah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sektor lain. "Kita tidak melihat dari salah satu sektor saja. Dari awal sudah ada koordinasi dengan berbagai kementerian, khususnya dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Bapenas," ujar Adolf, Sabtu (28/3).

Hal ini, menurutnya, dapat dilihat dari dasar legalitas rencanya pembangunan Pelabuhan Cilamaya adalah Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang MP3I. Proses pembuatan Perpres ini, kata dia, melibatkan banyak sektor. "Kami juga tidak menginginkan mematikan sektor lain. Dari hasil kajian, keberadaan pelabuhan tidak akan mengganggu sektor migas," tegasnya.

Sementara Plt. Dirjen Migas, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Gusti Nyoman Wiraatmadja mengaku akan banyak risiko yang terjadi jika rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya diteruskan.

Diantaranya, Pertamina setidaknya akan mengalami kerugian kerugian hingga Rp21 triliun per tahun jika Kemenhub tetap melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Pasalnya di area pelabuhan Cilamaya terdapat blok migas yang memproduksi minyak sebesar 40 ribu barel per hari dan gas 200 juta kaki kubik.

Selain itu, hal yang sangat mendasar lainnya adalah faktor keamanan dan keselamatan terhadap pipa-pipa gas miliknya di lokasiĀ  tersebut. Padahal, menurutnya, faktor utama dalam industri minyak dan gas yang paling penting adalah keselamatan.

Untuk mengamankan pipa-pipa tersebut dibutuhkan waktu selama dua bulan. Sembari mengamankan pipa, aliran gas ke Cilegon. Hal ini akan berdampak pada suplai listrik ke wilayah Jakarta. "Listrik satu per tiga wilayah Jakarta akan padam selama dua bulan," kata Wiratmaja, Sabtu (28/3).

BACA JUGA: