JAKARTA, GRESNEWS.COM - Melemahnya perekonomian Indonesia memicu kekhawatiran akan munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan tenaga kerja. Gejala itu terus diingatkan oleh sejumlah serikat pekerja kepada pemerintah. Kalangan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyebutkan telah ada 62.331 orang terkena PHK selama 2015.

Menurut KSPSI, daerah yang paling banyak terjadi PHK adalah Jawa Timur. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yoris Raweyai mengimbau para pengusaha rela menyisihkan anggaran untuk menahan terjadinya PHK. Sebab saat ini daya beli masyarakat tengah menurun.

Sedangkan, menurut Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi, PHK tidak hanya terjadi di sektor industri. "Bank collapse juga karena buruh nggak bisa nabung, nggak bisa bayar cicilan rumah, jelas jadi turun juga funding-nya," katanya.

Masalah yang terjadi pada perusahaan adalah produk yang dihasilkan tidak bisa terserap masyarakat, karena daya beli rendah. Mau tidak mau pekerja upahnya harus dipertahankan. Tenaga kerja harus tetap punya pekerjaan dan pendapatan, agar perekonomian tak semakin memburuk.

Kondisi itu juga diamini oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Ia mengatakan fakta, tekanan berat yang dialami industri tekstil dan produk tekstil (TPT), menyebabkan secara diam-diam telah banyak industri tekstil merumahkan karyawannya, bahkan ada yang sampai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meskipun ia mengakui belum memiliki data yang lengkap tentang kebijakan merumahkan karyawan oleh para industri TPT ini. Menurutnya, dari data-data yang masuk, telah ada 60 industri tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang merumahkan karyawan, bahkan PHK.

"Itu akibat penjualan turun, barang menumpuk di gudang, karena daya beli turun," kata Ade, Jumat.

Angka penurunan penjualan itu, menurutnya, hingga  50%. Mereka hanya berproduksi 3 hari dalam seminggu. Mereka pun harus merumahkan karyawawannya. Ade menambahkan, kondisi ini paling terasa di sektor tekstil, sedangkan untuk sektor garmen atau pakaian jadi termasuk benang, relatif tak terlalu berdampak.

"Yang paling banyak itu tekstil. Kalau garmen nggak masalah, karena  garmen berorientasi pasar ekspor, tekstil banyak di domestik," katanya.

Padahal rata-rata satu industri tekstil di Majalaya mampu menyerap ratusan tenaga kerja. Ade menghitung, dengan rata-rata 100 orang yang dirumahkan, maka dari 60 pabrik, ada 6.000-an orang yang telah dirumahkan.

"Ada 60 pabrik, di Majalaya, Bandung, satu pabrik sampai ratusan orang. Jadi kalau karyawan dirumahkan nggak dapat 100% gaji, ada yang sudah PHK, ada yang masih di rumah," katanya.

Banyaknya terjadi PHK di industri tekstil ini diakui Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka, Kemenperin, Harjanto, mengatakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di sektor industri tekstil di luar perkiraan pemerintah.

Sebab sebanyak 36.000 pekerja sudah terkena PHK diakibatkan turunnya penjualan dalam negeri hingga 50% dan naiknya harga bahan baku karena penguatan dolar Amerika Serikat (AS).

"Kita belum memikirkan crash program untuk mengantisipasi ini, ini kan kondisi yang di luar perkiraan kita," kata Harjanto, usai rapat kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/10).

AKAN SEGERA BANGKIT - Namun demikian, Harjanto meyakini industri tekstil bisa segera bangkit kembali. Sebab, industri-industri lain seperti semen dan baja mulai menggeliat berkat proyek-proyek infrastruktur yang mulai digenjot pemerintah. Menurutnya, bila pendapatan masyarakat tumbuh karena banyaknya proyek infrastruktur, permintaan tekstil juga tentu meningkat, industri tekstil pun bisa kembali bergairah.

Solusi agar industri tekstil bisa bertahan, pihaknya akan berupaya membantu menekan biaya produksi, misalnya dengan memindahkan gudang kapas dari Malaysia ke Indonesia. Dengan begitu, industri tekstil di Indonesia bisa lebih berdaya saing.

Menurutnya, untuk meningkatkan industri tekstil perlu ada national branding dan buffer stock dengan membuat gudang kapas supaya lebih efisien.

 Namun Menko Perekonomian Darmin Nasution justru mempertanyakan data terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data PHK, menurut dia, berbeda-beda, baik yang disampaikan pengusaha, BPJS Ketenagakerjaan, buruh, dan pemerintah. Buruh mencatat PHK 62.000 orang, pemerintah mencatat 43.000 orang, hingga 60.000 orang berdasarkan BPJS.

"Mengenai PHK ini soal seberapa meningkat perlu clear juga. Karena beritanya tak pernah jelas. Konon kabarnya, kelihatannya," ungkap Darmin di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (1/10/2015)

Darmin mengungkapkan dari Kemenaker dilaporkan per September 2015 total pekerja terkena PHK mencapai 43.085 orang. Data ini tidak jauh berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan. Namun  kalau melihat beberapa laporan oleh perusahaan, jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Soal PHK ini, menurut Darmin, sebenarnya ada beberapa tingkatan. Ada yang telah di-PHK beberapa waktu lalu. Ada yang dirumahkan tapi tidak di-PHK. Jadi terlalu sederhana kalau dijumlahkan semuanya.

Namun demikian, diakui Darmin, saat ini perlambatan ekonomi dan harga komoditas turun cukup drastis. Maka banyak perusahaan terkait yang mengambil langkah PHK.

"Juga bisa masuk akal bahwa dalam situasi ekonomi melambat, harga ekspor turun ya masuk akal kalau kemudian ada bisnis yang mengurangi tenaga kerja," katanya.

Mengantisipasi kondisi ini pemerintah tengah menyiapkan beberapa langkah strategis menciptakan lapangan kerja baru. Misalnya, dengan mendorong pembangunan infrastruktur dasar di daerah yang bisa melibatkan banyak orang atau sebagai proyek padat karya.

Jadi ada sejumlah pekerjaan yang mendorong padat karya, supaya menampung tenaga kerja banyak. Seperti PLN yang akan ada 1.100 titik transmisi yang akan dikerjakan, walaupun itu baru dua tahun selesai. "Tapi sudah akan mulai. Dan itu pasti memerlukan orang. Kan nggak mungkin mesin pergi ke gunung-gunung sana," kata Darmin.

Persoalan ketidakjelasan data jumlah tenaga kerja yang di-PHK juga dikeluhkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Tidak pastinya jumlah tenaga di-PHK karena banyak perusahaan yang tidak melaporkan terjadinya PHK di perusahaannya, sehingga sulit mengetahui permasalahan yang terjadi di perusahaan tersebut sampai akhirnya melakukan PHK karyawan.

ADA ANOMALI - Sementara itu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, menilai ada semacam anomali pada industri padat karya di negeri ini. Ia mengaku telah menerima banyak sekali investor baru pada semester I-2015, dengan kebutuhan 680.000 lapangan kerja.‎

Bahkan, menurut Franky, sudah ada hampir 1.000 pabrik makanan dan minuman (mamin) baru yang masuk. Sektor industri tekstil dan alas kaki tak kalah menggeliat. Menurutnya, ada sekitar 350 pabrik tekstil baru dan sekitar 100‎ pabrik sepatu yang dibangun tahun ini. Dari gelontoran investasi ini, ada kebutuhan 680.000 lapangan kerja baru.

Namun, di sisi lain, justru ada lebih 43.000 pekerja di pabrik-pabrik yang ada (existing) justru terkena PHK, yang diakibatkan lesunya kondisi perekonomian nasional. PHK terbanyak terjadi di industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki.

Adanya anomali di sektor industri tekstil dan alas kaki ini, BKPM berniat membentuk desk atau ´posko´ untuk mencegah gelombang PHK di kedua industri ini. Posko ini akan berupaya menyelesaikan segala masalah yang dialami industri tekstil dan sepatu supaya tidak sampai terjadi PHK. "Boleh mendorong peningkatan (investasi), tapi yang existing juga harus dibantu," katanya.

Selain menjaga investasi yang sudah ada agar tak melakukan PHK, pihaknya juga terus menggenjot penciptaan lapangan kerja baru, supaya pengangguran dan tingkat kemiskinan tidak meningkat.

Dia juga menyebut setahun ke depan, akan ada 16 pabrik baru yang merekrut 200.000 tenaga kerja. Pabrik-pabrik baru ini sebagian besar adalah pabrik tekstil dan alas kaki. Sementara yang sudah terealisasi sampai akhir tahun ini dapat menampung 60.000 tenaga kerja. Pengumuman pembangunan 16 pabrik ini akan dilakukan pada Senin, 5 Oktober 2015.

Sejauh ini realisasi investasi selama periode semester I-2015 telah mencapai Rp 259,7 triliun. Jumlah ini meningkat 16,6% dibandingkan dengan realisasi semester I-2014 yang sebesar Rp 222,8 triliun‎. (dtc)

BACA JUGA: