JAKARTA - Rasa gula memang manis, mungkin itu pula yang membuat orang berebut komiditas ini.

Bahkan impor gula seolah menjadi bancakan importir dan pejabat sehingga merugikan masyarakat baik petani tebu maupun konsumen.

Manisnya gula itu ternyata tak semanis kondisi industri gula yang dikuasai BUMN yang dalam kondisi merugi.

Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, mengatakan kebijakan impor gula selama ini menghambat swasembada gula.

Ia mengapresiasi keinginan pemerintah untuk membentuk perusahaan gula yang mampu bersaing baik secara nasional maupun global.

Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) atau PTPN Group mengusulkan pembentukan Sugar Company (SugarCo) yang merupakan entitas tunggal (single entity) dari 35 pabrik gula (PG) milik PTPN Group.

Namun, menurutnya, SugarCo berisiko gagal jika pemerintah tidak mengubah kebijakan impor gula (raw sugar).

Jika impor gula mentah tidak dikendalikan, sulit bagi SugarCo untuk bersaing mengingat mereka juga harus membenahi efisiensi bisnis dari hulu hingga hilir yang bakal diwarisi dari anak-anak perusahaan PTPN.

"Rencana itu bagus untuk membangun swasembada gula. Tetapi harus dibarengi kebijakan yang berpihak pada petani dan industri gula dalam negeri," kata Amin kepada Gresnews.com, Kamis (24/6/2021).

Menurut Amin, fakta bahwa pemerintah tidak mengendalikan impor bisa dilihat dari melonjaknya impor gula tahun 2020 menjadi 5,54 juta ton, naik hampir 1,5 juta ton dibanding tahun 2019.

Padahal dampak pandemi Covid-19 justru membuat jumlah konsumsi gula menurun.

Pertumbuhan konsumsi gula dari industri makanan dan minuman yang merupakan pengguna terbesar turun drastis dari 7,8 persen tahun 2019 menjadi hanya 1,6 persen tahun 2020.

"Kenaikan impor tahun 2020 sebesar 1,5 juta ton sama dengan 15 kali lipat dari penurunan produksi gula nasional pada tahun yang sama sebesar 100 ribu ton, dari 2,23 juta ton tahun 2019 menjadi 2,13 juta ton tahun 2020. Itu sama saja membunuh petani dan industri gula dalam negeri secara perlahan," terangnya.

Amin juga menagih janji pemerintah akan membenahi industri gula dari hulu hingga hilir. Dari sisi hulu, efisiensi perkebunan rakyat, termasuk nilai rendemen tebu petani harus dibenahi agar bisa bersaing dengan gula impor.

"Sedangkan dari sisi hilir, program efisiensi produksi gula maupun sistem logistik atau rantai pemasaran juga belum terlihat nyata," tuturnya.

Sementara itu, kata dia, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2025. Jika industri dalam negeri tidak dibenahi maka yang terjadi bukan swasembada gula tapi lonjakan impor yang terjadi.

Amin juga mendesak Kementerian BUMN menunjuk orang yang punya kapabilitas dan integritas tinggi untuk mengelola BUMN gula hasil konsolidasi nantinya. Dengan pengelolaan yang profesional dan berintegritas demi merah putih, Amin yakin BUMN SugarCo bisa memenuhi harapan swasembada.

"Saya bandingkan dengan salah satu industri gula milik swasta nasional di Lampung, mereka mampu mengelola perkebunan tebu maupun industri gula secara efisien dan berkelanjutan. Mereka untung kok, saya kok heran kalau BUMN gula sering merugi," tukasnya.

Sementara itu anggota Komisi VI DPR-RI Nasril Bahar mengatakan impor gula ini telah menjadi masalah sejak lama.

"Sesungguhnya kami memahami tentang pergulaan ini cukup klasik. Karena persoalan gula ini adalah persoalan komoditi mafia," kata Nasril dikutip dari Channel Youtube Komisi VI DPR-RI oleh Gresnews.com, Jumat (25/6/2021).

Nasril melanjutkan bahwa dengan adanya mafia gula ini banyak petani tebu dan masyarakat yang dirugikan. Mafia tersebut mempermainkan harga dipasaran.

"Dalam hal komoditi mafia ini, kami melihat rakyat yang dirugikan. Kerugian rakyat disini adalah membeli gula itu dalam harga mahal dengan komoditas dalam komoditi yang sangat terbatas. Sesungguhnya karena kita tidak mampu melakukan swasembada gula. Itu hal yang terpenting kami sikapi," jelasnya.

Untung Menggiurkan dari Impor Gula

Ekonom Senior Faisal Basri menggambarkan bagaimana importir gula (raw sugar) bisa mendapatkan keuntungan hingga triliunan, namun petani tebu dalam negeri justru terpinggirkan.

Faisal justru heran ketika impor gula terus meningkat dari tahun ke tahun meskipun industri makanan dan minuman sebagai penggunanya mengalami penurunan. Selama ini Indonesia harus mengimpor jumlah besar gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gulai industri di pabrik-pabrik gula rafinasi milik pengusaha besar.

Ia menjelaskan impor gula melonjak dari 4,09 juta ton tahun 2019 menjadi 5,54 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Padahal industri makanan dan minuman-sebagai pengguna gula terbanyak-pertumbuhannya anjlok dari 7,8 persen tahun 2019 menjadi hanya 1,6 persen tahun 2020.

"Padahal tidak ada tanda-tanda pula terjadi lonjakan konsumsi gula rumah tangga," katanya dikutip dari faisalbasri.com, jumat (25/6).

Faisal mengungkapkan produksi gula nasional turun sekitar 100 ribu ton, dari 2,23 juta ton tahun 2019 menjadi 2,13 juta ton tahun 2020. Jadi jauh lebih kecil daripada kenaikan volume impor yang mencapai 1,45 juta ton.

Ia bilang tidak menutup kemungkinan jika adanya keran impor untuk menurunkan harga gula yang sempat naik ke angka Rp15.000, bahkan ada yang mencapai Rp22.000. Padahal harga eceran tertinggi (HET) gula hanya Rp12.500.

Menurutnya menahan harga di pasar hanya untuk jangka pendek. Untuk jangka panjangnya, pemerintah harus mampu memberdayakan petani dalam negeri, baik melalui bantuan modal hingga riset agar ongkos produksi bisa ditekan, yang akhirnya membuat gula bisa menjadi lebih murah. Sayangnya, itu tidak terjadi.

"Kesenjangan harga eceran dibandingkan dengan harga gula dunia kian melebar. Pada awal 2012 harga eceran di Indonesia 2,3 kali lebih tinggi (Rp10.861) dari harga dunia (Rp4.675). Pada pertengahan 2016 naik menjadi 2,8 kali.

Demikian pula pada awal 2021. Kesenjangan paling lebar terjadi pada April 2020 yaitu 4,4 kali (harga gula dunia Rp3.429, Indonesia Rp15.208). Lonjakan harga eceran kala itu justru terjadi ketika harga dunia mengalami penurunan.

Ia menjelaskan harga gula mentah yang menjadi referensi di pasar New York adalah Raw Sugar. Menurutnya pada harga penutupan 31 Maret 2021 tercatat sebesar US¢14,77 per pound atau US$325,6 per ton. Faisal mengestimasi dengan ongkos transport, asuransi, dan pengolahan senilai US$200 per ton, maka harga di pabrik gula rafinasi menjadi US$525,6 per ton.

Ia bilang dengan kurs tengah BI pada 31 Maret (Rp14.572/US$), harga per kg adalah Rp7.959.

Jika pemerintah menugaskan pabrik gula rafinasi menjual langsung ke pasar, setidaknya keuntungan yang diperoleh mencapai Rp2.000 per kg. Harga untuk industri besar tentu saja lebih murah karena kontrak langsung dan mereka mengikuti pergerakan harga dunia, namun keuntungannya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan menjual langsung ke pasar lewat distributor.

Dengan produksi kesebelas pabrik gula rafinasi sekitar 3 juta ton, maka keuntungan totalnya adalah Rp 6 triliun.

"Pukul rata, setiap pabrik menikmati laba sebanyak Rp545 miliar," katanya. Bahkan untuk grup-grup bisnis yang lebih besar bisa mencapai triliunan keuntungan yang didapat.

Bukan hanya pihak swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pemegang lisensi impor pun mendapat keuntungan besar. Harga di pasar lelang ICE London per 31 Maret 2021 adalah USD417 per ton.

Ia berhitung dengan ongkos angkut plus bongkar-muat ditambah asuransi mencapai 20 persen dari nilai barang. Maka harga per ton sampai di pelabuhan tujuan adalah US$500.4 sehingga harga perolehan sebesar Rp7.292 per kg.

Ia mengatakan selain memperhitungkan ongkos distribusi dan margin pedagang serta biaya bunga bank sebesar sebesar Rp3.000, maka keuntungan bersih importir sebesar Rp2.208. Faktanya, harga eceran kerap di atas Rp12.500, sehingga potensi keuntungannya lebih besar lagi.

Bagi BUMN pemegang lisensi impor yang memiliki pabrik gula berbasis tebu, insentif untuk mengimpor lebih menggiurkan ketimbang menghasilkan gula dari tebu petani. Jika dapat lisensi impor satu juta ton, maka laba yang diraup setidaknya Rp2 triliun.

"Buat apa berkeringat tetapi labanya kecil ketimbang bermodal secarik kertas sakti dapat triliunan rupiah," papar Peneliti senior INDEF itu.

Solusi Atasi Kesenjangan Harga Gula

Faisal menilai ada dua cara, Pertama, petani tebu dibantu untuk menggunakan bibit unggul dan segala penunjangnya agar rendemen bisa ditingkatkan setidaknya 50 persen dari yang sekarang sekitar 7 persen.

Kedua, merestrukturisasi pabrik gula agar terintegrasi sehingga menghasilkan gula dari tebu rakyat maupun tebu sendiri dan juga dari raw sugar yang diimpor. Dengan begitu, operasi pabrik bisa sepanjang tahun, sehingga ongkos giling lebih murah. Karena upah giling lebih murah, bagi hasil gula untuk petani meningkat dari 66 persen yang berlaku sekarang.

"Di kebanyakan negara, di negara paling liberal sekalipun seperti Amerika Serikat, kebijakan pemerintah bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan petani. Di negeri yang memiliki Pancasila, petani malah termajinalkan, tidak menjadi roh dari kebijakan pemerintah," katanya. (G-2)

BACA JUGA: