JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Perindustrian kembangkan pembangunan klaster industri baja di tiga wilayah, yaitu Cilegon Banten, Batulicin Kalimantan Selatan, dan Morowali Sulawesi Tengah. Produksi dari kelompok manufaktur terpadu ini digadang akan mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor, serta mewujudkan kemandirian dari impor baja.

Menteri Peridustrian Airlangga Hartarto mengatakan, melalui pendekatan klaster ini, produk yang dihasilkan akan lebih berdaya saing serta memacu adanya inovasi dan peningkatan kualitas produk sesuai permintaan konsumen saat. "Ini, karena sifatnya saling melengkapi," kata Airlangga Hartarto di Jakarta, Sabtu (13/1).

Menurutnya industri baja dikategorikan sebagai sektor induk karena produknya merupakan bahan baku utama yang diperlukan bagi kegiatan manufaktur di sektor industri lainnya. Bahkan, baja juga dibutuhkan sebagai komponen penting dalam sektor infrastruktur secara luas yang antara lain meliputi bangunan dan properti, jalan dan jembatan, telekomunikasi, serta ketenagalistrikan.

Oleh karenanya, disebutkan Airlangga,  pemerintah menargetkan produksi 10 juta ton baja pada tahun 2025 melalui pembangunan klaster industri baja di Cilegon, Banten. "Dengan adanya klaster 10 juta ton yang nilai investasinya mencapai USD4 miliar ini, memberikan multiplier effect melalui penciptaan lapangan pekerjaan, pemenuhan bahan baku industri dalam negeri, dan memberikan manfaat terhadap perekonomian nasional khususnya Banten," jelas Menperin, seperti dikutip kemenperin.go.id .

Kemenperin menyebutkan bahwa pihaknya telah meminta kepada produsen baja PT Krakatau Steel (Persero) Tbk., Posco, Nippon Steel dan Osaka Steel agar berkolaborasi merealisasikan peta jalan pengembangan klater baja 10 juta ton tersebut.

Pembangunan klaster ini akan memberikan efek berantai berupa penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 45.000 orang dan tidak langsung sebanyak 375.000 orang. Selain itu juga akan ada pemasukan dari pajak sebesar USD 0,17 miliar dan kontribusi terhadap PDB sebesar 0,38 persen.

PT Krakatau Steel juga sudah bekerja sama dengan perusahaan Jepang, Sango Corporation dalam pengembangan produk baja wire rod untuk kebutuhan sektor otomotif dengan nilai investasi mencapai USD95 juta di Cilegon.

"Pertumbuhan industri pengguna baja di Indonesia terbilang cukup baik. Contohnya, industri otomotif, yang diproyeksikan pada tahun 2025 akan memproduksi 3 juta unit mobil sehingga membutuhkan sebanyak 1,8 juta ton baja otomotif," ungkap Menperin.

Sementara itu, kebutuhan crude steel (baja kasar) nasional saat ini sudah mencapai 14 juta ton, namun produksi industri baja dalam negeri sebanyak 8 juta ton per tahun. Kendati demikian, capaian produksi 8 juta ton tersebut, menempatkan Indonesia di peringkat keenam di Asia sebagai produsen baja kasar.

Adanya kondisi tersebut semakin memacu Kemenperin peningkatan kapasitas produksi industri baja nasional."Produksi industri baja dalam negeri terus dioptimalkan dan diarahkan pada pengembangan produk khusus bernilai tambah tinggi, misalnya untuk sektor otomotif, perkapalan maupun perkeretaapian. Sehingga kita tidak perlu lagi impor," tandas Airlangga.

Disebutkan Airlangga, selain di Cilegon, Kemenperin juga memiliki program pembangunan kawasan industri berbasis baja di Batulicin, Kalimantan Selatan. Dilokasi seluas 955 hektare ini diproyeksi akan menyerap tenaga kerja sebanyak 10 ribu orang. Saat ini di lokasi sudah ada industri baja yang beroperasi, yaitu PT Meratus Jaya Iron and Steel dan telah dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan ferry.

Sementara untuk penyiapan sumber daya manusia yang siap kerja di kawasan industri Batulicin, tersebut Kemenperin telah menginisasi pembangunan Politeknik pada tahun ini, sehingga putra-putri daerah dapat berperan lebih aktif dalam membangun industri baja di kawasan tersebut.

Proyek selanjutnya, yakni pembangunan industri berbasis nikel dan baja tahan karat (stainless steel) di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Kawasan ini memiliki lahan seluas 2.000 hektare, dengan realisasi investasi sepanjang tahun 2015-2017 mencapai Rp80 triliun dan ditargetkan meningkat pada tahun 2019 mencapai Rp105 triliun. Pada periode 2015-2017, kawasan ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 15 ribu orang dan ditargetkan pada 2019 akan membuka kesempatan lebih dari 40 ribu tenaga kerja.

Produksi dari kawasan tersebut, ditargetkan menghasilkan 4 juta ton stainless steel per tahun, dan pabrik baja karbon berkapasitas 4 juta ton per tahun. Jika produksi stainless steel bisa tercapai 4 juta ton per tahun, Indonesia akan menjadi produsen kedua terbesar di dunia atau setara produksi di Eropa.

Untuk meningkatkan daya saing industri baja nasional, Kemenperin telah jalan program strategis, antara lain memfasilitasi kerja sama investor asing dengan mitra dalam negeri, promosi investasi, pendampingan perolehan insentif bagi industri baja, dan perumusan regulasi yang mendukung industri baja.

Selain itu juga  memfasilitasi pembentukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Baja, penerapan kebijakan penggunaan produk dalam negeri di proyek-proyek pemerintah maupun swasta, melakukan perbaikan dan harmonisasi regulasi untuk menjamin kepastian industri baja nasional agar dapat tumbuh dan berkembang, serta mengusulkan harga gas yang kompetitif untuk industri baja nasional. (rm)

BACA JUGA: