JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 April 2016 diprediksi tidak akan berdampak terhadap penurunan harga kebutuhan hidup masyarakat. Oleh karena itu pemerintah diminta tetap menjaga stabilitas harga BBM.

Pengamat ekonomi politik yang juga Ketua Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng mengatakan rencana menurunkan harga jual BBM diprediksi tidak akan memberi dampak kepada penurunan harga kebutuhan pokok rakyat yang saat ini terus mengalami kenaikan. Di sisi lain pemerintah berharap penurunan harga BBM akan menggairahkan ekonomi Indonesia.

Apalagi rencana penurunan harga BBM pada 1 April mendatang, bertepatan dengan saat harga minya dunia merangkak naik. Sehingga tidak menutup kemungkinan pemerintah melakukan penyesuaian kembali di bulan-bulan berikutnya. Hal itu sesuai Perpres No 191 Tahun 2014 dan Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014, dimana ditetapkan harga BBM berdasarkan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat.

Apalagi menurut dia, saat ini kondisi stabilitas ekonomi dalam negeri masih tidak menentu sebagai dampak dari ketidakpastian global maupun akibat dari kondisi politik dalam negeri yang sangat dinamis. Ditambah lagi, pertarungan harga komoditas, pertarungan mata uang (currency war) dan persaingan dalam teknologi khususnya teknologi minyak telah menimbulkan gelombang perubahan besar bidang ekonomi dan sosial politik.

"Kondisi ini telah menyebabkan kondisi ekonomi dan sosial politik nasional juga mengalami gejolak," kata Daeng kepada gresnews.com, Jakarta, Senin (28/3).

Di tengah kondisi tersebut, Salamuddin mengatakan,  pemerintah sendiri telah mengurangi secara signifikan subsidi BBM. Pemerintah telah mencabut secara keseluruhan subsidi untuk bahan bakar premium dan menyisakan subsidi sebesar Rp1000 per liter untuk subsidi bahan bakar solar. Sementara kedua jenis bahan bakar tersebut adalah jenis BBM yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dengan begitu, harga BBM telah diserahkan sebagian kepada mekanisme pasar dan intervensi terbatas pemerintah.

Menurutnya pemberian subsidi BBM secara terbatas mengakibatkan biaya pengadaan dan distribusi BBM ditanggung oleh korporasi dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Akibatnya Pertamina menanggung kerugian besar dari sektor hilir. Padahal dari sektor hulu Pertamina telah tergerus pendapatannya karena menurunnya harga minyak mentah dunia.

Jika berkaca kepada perusahaan minyak global juga telah mengalami kerugian terparah sepanjang tahun 2015 akibat penurunan harga minyak. Sehingga perusahaan multinasional telah mengurangi pengeluaran perusahaan dengan memangkas tenaga kerja melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah yang sangat besar.

"Demikian juga negara-negara yang menggantungkan pendapatan dari sektor minyak juga telah mengalami krisis  parah," kata Salamuddin.

Seperti halnya negara Rusia, Arab Saudi dan Venezuela. Negara Venezuela misalnya malah menaikkan harga jual BBM hingga 6000 persen sepanjang tahun 2015. Hal itu dilakukan untuk menutupi kerugian yang diderita negaranya. Kemudian, pemerintah Arab Saudi menaikkan harga BBM hingga mencapai 40 persen. Padahal, kedua negara tersebut selama ini selalu menikmati harga BBM yang sangat murah.

"Indonesia bersyukur Pertamina masih mampu membukukan laba dan belum terdengar merencanakan PHK terhadap pekerjanya," kata Salamuddin.

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan bahwa saat ini harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan kembali. Demikian juga dengan nilai tukar dolar AS yang juga cenderung naik terhadap rupiah, sehingga akan berdampak terhadap ongkos produksi dan distribusi BBM di dalam negeri. Sehingga kondisi tersebut tidak akan menghindarkan pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM. Maka dari itu, pemerintah hendaknya mempertimbangkan secara hati-hari rencana penurunan harga BBM.

Menurutnya pemerintah sebaiknya fokus menjaga stabilitas harga BBM dan energi lainnya dalam rangka menjaga kelangsungan produksi, produktifitas dan perbaikan daya beli masyarakat. Dia menambahkan dengan membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai perkembangan harga minyak mentah dan nilai tukar bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Dia mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM dengan cara menghapuskan pajak dalam rantai produksi dan distribusi BBM dalam negeri. Secara kongkrit subsidi ini dapat diberikan dengan cara menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Sebab pemungutan pajak tinggi pada barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini premium dan solar adalah tidak etis.

"Itu berlawanan dengan prinsip barang subsidi. Dalam logika awam disebut ´jeruk makan jeruk´, " kata Salamuddin.

Dia menuturkan pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pembentukan sistem dana stabilitas yang diambil dari kelebihan harga jual BBM dalam rentang waktu fluktuasi harga. Dana stabilitas dikelola oleh Pertamina yang selama ini diserahkan tugas untuk menyediakan dan mendistibusikan BBM penugasan. Pengelolaan dana ini dilakukan secara transparan dan dilaporkan kepada publik di setiap bulannya.

"Dengan demikian Pertamina dapat meminimalisir kerugian akibat pencabutan subisidi BBM," kata Salamuddin.

Menurutnya pemerintah mutlak menetapkan harga BBM yang terjangkau oleh masyarakat, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis belaka. Apalagi untuk pencitraan politik pemerintah. Namun semata-mata dalam rangka mengangkat derajat kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.

"Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga BBM paling tidak dalam jangka waktu enam bulan agar tercipta rasa nyaman dan aman masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi," kata Salamuddin.

PENURUNAN  SANGAT BERISIKO - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean juga mengingatkan pemerintah untuk waspada dalam menetapkan harga BBM di bulan April. Menurutnya pemerintah perlu lebih bijaksana dan lebih menggunakan pertimbangan kestabilan harga daripada memasuki harga pasar yang tidak menentu.

Jika dilihat dari trend harga minyak mentah dunia, maka bulan puasa dan lebaran nanti harga BBM akan naik karena rata-rata harga crude oil cenderung di kisaran US$40 per barel. Berbeda jika dibandingkan dengan bulan Januari sampai Maret 2016, harga minyak mentah mengalami titik terendah yaitu US$27 per barel. Menurutnya sangat beresiko jika pemerintah menurunkan harga BBM terlalu jauh pada April mendatang.

"Risikonya nanti akan berdampak besar ketika harga harus naik jelang lebaran. Tentu ini akan sangat memukul daya beli masyarakat," kata Ferdinand kepada gresnews.com.

Ferdinand mengatakan pemerintah lebih baik tidak menurunkan harga BBM sesuai harga keekonomian karena menyangkut beberapa faktor yang sangat vital bagi kestabilan pasar. Pertama, penurunan harga BBM belum tentu berdampak pada penurunan harga bahan pokok di pasar. Kedua, penurunan harga BBM di tengah kemampuan daya beli masyarakat yang sedang nyaman dengan harga sekarang, sehingga pemerintah tidak perlu mengganggu dengan penurunan harga BBM.

Ketiga, bisnis Pertamina terutama penjualan BBM lainnya seperti Pertalite dan Pertamax akan terganggu karena harga cukup jauh selisihnya. Sementara Pertamina harus mensubsidi silang hulu yang hampir pasti rugi di tengah anjloknya komoditas. Keempat, hasil keuntungan harga jual BBM sekarang bisa ditempatkan pada pos dana stabilitas harga ketika harga minyak harus naik jelang lebaran. Sehingga pada saat harga naik, maka harga BBM tidak perlu dinaikkan karena sudah ada dana stabilitas.

"Dengan demikian tidak terjadi lonjakan harga yang tidak terkendali jelang lebaran," kata Ferdinand.

Dia justru menyarankan dalam menurunkan harga BBM, terutama untuk BBM jenis premium, pemerintah hanya menurunkan maksimal Rp500 per liter atau ditetapkan flat di angka Rp7000 per liter hingga akhir tahun. Pemerintah harus waspada dalam menetapkan harga BBM di bulan April.

Sebab resiko besar akan terjadi ketika menjelang lebaran harga harus naik sehingga berdampak kepada melonjaknya harga-harga kebutuhan dan angka inflasi yang tinggi. Oleh sebab itu, kestabilan harga lebih penting bagi publik, daripada sekedar mengikuti trend fluktuasi harga minyak.

"Kasihan rakyat nanti ada saat lebaran harus dihadapkan pada harga bahan pokok yang melambung. Sebaiknya pemerintah jangan ceroboh," kata Ferdinand.

Sebagaimana diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said merencanakan menurunkan harga BBM per tanggal 1 April 2016. Dengan adanya penurunan harga BBM, pemerintah berjanji akan tetap menjaga stabilitas harga agar ketika lebaran di bulan Juli tidak mengalami kenaikan secara signifikan. Oleh sebab itu, pemerintah akan mengkaji formula harga dimana harga BBM tidak persis sampai turun drastis, tetapi mendekati harga keekonomian.

BACA JUGA: