JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang tengah dalam pembahasan di DPR terdapat sejumlah persoalan pelik. Sejumlah persoalan yang dinilai alot dalam pembahasan diantaranya persoalan kesenjangan pengembangan sektor migas antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Persoalan lainnya terkait pembentukan badan baru pengganti lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas).

Ketimpangan kegiatan ekplorasi minyak dan gas bumi antara Indonesia Barat dan Timur dinilai masih sangat tinggi. Untuk itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM) berencana akan mulai memacu kegiatan eksplorasi  migas ke bagian timur Indonesia.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan, hingga saat ini sekitar 91 persen kegiatan eksplorasi masih terpusat di Indonesia bagian barat. Sedangkan eksplorasi yang dilakukan di timur Indonesia hanya sekitar 9 persen.

Dia mengakui kegiatan eksplorasi di bagian timur sangat sedikit dilakukan mengingat berbagai kendala. Diantaranya keberadaan sarana infrastruktur yang belum memadai. Oleh karena itu pihaknya meminta bantuan dari sejumlah kalangan akademis dan profesional  agar dapat memberikan saran dalam upaya mengembangkan kegiatan eksplorasi di timur Indonesia.

"Karena di sana deep water, deep jungle and no infrastructure. Kita harap kawan-kawan profesional dan akademis bisa ke timur, sehingga butuh investor karena kompleksitas masalahnya," jelasnya.

Menurut Wiratmaja, rencana tersebut akan diupayakan agar bisa berjalan mulus dengan memasukkan berbagai aturan yang diperlukan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU Migas) yang saat ini tengah dibahas.

"Kalau bicara soal infrastruktur, tantangan kita hanya infrastruktur yang terbangun di barat di Jawa, Kalimantan Timur dan Sumatera, khususnya gas. Padahal kita butuh kesadaran dan perhatian mendalam untuk dimasukkan ke depan RUU Migas," ucapnya.

Menanggapi rencana Kementerian ESDM ini, Direktur  Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai sangat baik jika kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi diarahkan ke bagian timur Indonesia.

"Memang eksplorasi migas masih kurang dan potensi migas kita saat ini sebagian besar ada di bagian timur," kata Komaidi kepada gresnews.com, Rabu (20/4/16) malam.

Komaidi menjelaskan, keterbatasan infrastruktur dapat dikompensasi dengan insentif, maka itu yang harus diformulasikan oleh pemerintah


OPSI PENGGANTIAN SKK MIGAS - Selain persoalan pengembangan eksplorasi migas di Indonesia bagian Timur, persoalan yang mengemuka dan pelik dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU Migas) adalah terkait Keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) yang akan dibubarkan.  Sebab sesuai Peraturan Presiden peran SKK Migas bersifat sementara sampai terbentuknya UU Migas. Untuk itu penyusunan RUU migas juga membahas soal pembentukan badan pengganti SKK Migas.

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengaku telah memiliki empat opsi untuk pembentukan pengatur hulu minyak dan gas (migas), yang rencananya akan masuk ke dalam RUU tentang Minyak dan Gas Bumi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W Yudha mengatakan, opsi-opsi tersebut diperlukan untuk mengganti peran SKK Miga). Menurutnya dalam Peraturan Presiden (Pepres) No 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dijelaskan peran SKK Migas bersifat sementara sampai UU Migas baru terbit. Untuk itu soal manajemen migas di hulu harus ada aturannya.  

"Nanti badan seperti apa yang bisa melakukan pengaturan tersebut, kami di DPR punya empat opsi," kata Satya ditemui di Jakarta, Rabu (20/4).

Satya menyebutkan, opsi pertama adalah menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai pemegang kuasa pertambangan (mining rights) dan ekekutor kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC).

Politisi Golkar itu mengatakan, posisi ini sama seperti dahulu, dimana pengolahan migas dilalukan perseroan melalui Badan Pengawasan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA).

"Maka nantinya akan memberikan Pertamina kewenangan yang lebih kuat,  di atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ungkapnya.

Opsi lain, menurut Satya, yakni dengan menempatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pemilik mining rights. Sementara kontrak PSC dilakukan oleh BUMN khusus, sehingga proses tender dan pengawasan bisa dilakukan oleh satu institusi khusus itu.

"Jika hal tersebut, diserahkan ke BUMN, apakah pantas sebuah badan usaha diberikan kesempatan khusus untuk mengurus soal otoritas yang semestinya dikuasai pemerintah, apakah berlebihan maka hal ini yang masih pembahasan," ujarnya.

Menurutnya, terdapat tiga pilihan dimana mining right masih dipegang oleh Kementerian ESDM, tetapi eksekusi kontrak dilakukan oleh Pertamina, sehingga hal tersebut sejalan dengan keinginan pemerintah yang meminta Pertamina mendapatkan keistimewaan di dalam RUU Migas.

"Tapi privelege Pertamina mau sampai sejauh apa. Apakah bisa diberikan kewenangan tersebut, apakah bisa langsung memperoleh Wilayah Kerja (WK) baru atas kontrak yang hangus, tapi masih perlu diatur," paparnya.

Selain itu, perubahan manajemen hulu migas juga harus disertai komitmen akan evaluasi sistem PSC. Dia menambahkan, jika selama sistem tersebut tidak ditinjau ulang, maka pembahasan ini tidak akan  pernah selesai.

"Jadi yang ada saat ini, bukanlah kontrak, namun ditinjau secara hukum, ini hanya izin (permit)," ujarnya.

TUNGGU HASIL REVISI - Namun Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa menyarankan soal tupoksi SKK Migas sebaiknya menunggu hasil revisi UU Migas yang sudah ada di prolegnas. Saat ini tidak ideal mengganti SKK Migas.

"Setahu saya aturan manajemen hulu migas sudah ada dan yang menjadi dasar manajemen hulu migas oleh SKK Migas," kata Fabby kepada gresnews.com, Rabu (20/4).

Fabby menilai, SKK migas sesuai mandatnya mewakili negara dalam berkontrak dengan investor. "Sejauh yang saya lihat SKK Migas sudah melakukan pekerjaan dengan cukup baik. Perlu dipahami bahwa regulasi hulu migas adalah tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan kementerian lain yang terkait," tuturnya.

KUASA PERTAMBANGAN KE PERTAMINA - Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Energy Wacth Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean menjelaskan,  tidak ada opsi lain yang perlu dilakukan untuk mengganti peran SKK Migas.

"Satu-satunya jalan adalah membubarkan SKK Migas dan menyerahkan kuasa pertambangan migas ke Pertamina. SKK Migas itu tidak boleh ada karena melanggar konstitusi," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Rabu (20/4).

Dengan posisi itu dia nilai telah menurunkan derajat negara jadi selevel sebuah perusahaan. Maka manajemen migas di hulu itu harus dipegang BUMN. Dan yang paling tepat memegang ini adalah Pertamina. Negara diwakili pemerintah tidak boleh melakukan ikatan perjanjian dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tapi harus dilakukan oleh BUMN sebagai kuasa pertambangan

"SKK Migas saat ini masih berfungsi tapi SKK Migas menyalahi konstitusi dan harus dibubarkan. Keberadaan SKK Migas  akan terus menjadi polemik jika tidak dibubarkan. Dan jika menjadi polemik maka tentu kinerjanya tidak akan pernah meningkat," imbuhnya.

Seperti diketahui, SKK Migas mulai melakukan tugasnya pada 2013 sebagai pengganti Badan Pengatur (BP) Hulu Migas yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012.

BACA JUGA: