JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalangan DPR RI  mengecam resolusi parlemen Uni Eropa yang melecehkan produk sawit Indonesia, karena dituding dihasilkan dari proses perusakan hutan (deforestasi), sarat praktik korupsi dan merusak lingkungan. Kalangan DPR menilai resolusi itu lebih didasari persaingan bisnis di bidang produksi minyak nabati, karena terancamnya produk minyak bunga matahari produk eropa oleh minyak sawit asal Indonesia.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi memprotes keras keputusan parlemen Eropa dalam "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang dinilai mendeskreditkan produk pertanian Indonesia yang menjadi produk unggulan. Laporan tersebut, dinilai Viva sebagai tindakan sewenang-wenang parlemen Eropa dan keberpihakan parlemen Eropa.

"Laporan itu menunjukkan parlemen Eropa bersikap abuse of power, menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, dan menunjukkan menjadi subordinasi dari kepentingan ekonomi perusahaan minyak yang terancam dengan produk sawit Indonesia," ungkap Viva Yoga Mauladi melalui keterangan tertulisnya yang diterima gresnews.com, Minggu (9/4).

Lebih jauh politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai, tudingan negatif yang diarahkan kepada produk Indonesia itu lantaran produk negara lain yang menjadi pesaing sawit tak mampu bersaing dengan sawit Indonesia. Sawit lebih unggul dibanding sunflower, begitu juga produk-produk turunan yang dihasilkan industri sawit.  

"Kita tahu bahwa sawit sulit tumbuh di tanah Eropa. Sedangkan dari sisi keunggulan produk komoditas dan ekonomi, sunflower dan rapeseed kalah dibanding sawit dan produk turunannya," ujar Viva.

Menanggapi laporan yang dibuat parlemen Eropa itu, Viva mendorong, agar pemerintah tegas untuk menyikapi sikap Eropa yang telah mendiskreditkan sawit Indonesia. Menurut Viva, keberadaan pemerintah Indonesia dibutuhkan untuk melakukan diplomasi dalam penguatan untuk menghadapi politik dagangnya di dunia internasional.

"Pemerintah harus melakukan perjuangan diplomasi atas sikap parlemen Eropa. Negara harus hadir untuk membela eksistensi sawit Indonesia di perdagangan internasional. Ini adalah perang dagang internasional," imbuh Viva.

Seperti diketahui  Parlemen Uni Eropa  mengeluarkan resolusi tentang kelapa sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit. Dalam voting 640 anggota menyatakan setuju, 28 abstain, dan 18 menolak.

Tindak lanjut dari resolusi ini, Uni Eropa akan memperkenalkan skema sertifikasi tunggal untuk kelapa sawit untuk dapat memasuki pasar Uni Eropa. Secara bertahap mereka juga akan mengurangi penggunaan minyak nabati yang mendorong deforestasi pada tahun 2020.

PEMERINTAH PERLU LAKUKAN LOBI - Sebelumnya, anggota Komisi VI Mohamad Hekal juga  menganggap kampanye soal penolakan produk unggulan Indonesia yang digalang Eropa  bukan masalah utama. Upaya "menjegal" produk Indonesia yang dilakukan Eropa itu murni persaingan bisnis karena sebagai komoditas unggulan yang potensial mengalahkan minyak bunga matahari.

Lagi pula, lanjut Hekal, di Eropa sendiri sawit tidak bisa ditanam. Tentunya, keberadaan produk sawit sebagai tandingan bagi produk bunga matahari yang diolah menjadi minyak, tak tertandingi sehingga berpotensi menggusur minyak bunga matahari.

"Itu tantangan bagi pemerintah kita bagaimana melakukan lobi-lobi jangan sampai produk unggulan kita ternodai," pungkas Hekal beberapa waktu lalu.

Soal perkembangan industri sawit itu sendiri, Hekal melihat ada peluang besar yang mesti dioptimalkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu kebijakan-kebijakan strategis untuk mendorong agar sawit yang dihasilkan petani, tidak hanya berorientasi pada peningkatan ekspor, tetapi juga mampu diolah menjadi nilai tambah.

Pemerintah sendiri menyayangkan resolusi sawit yang menjadi kesepakatan parlemen Eropa. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, menganggap tindakan parlemen Eropa yang mengaitkan produk unggulan itu dengan isu-isu pelanggaran HAM, korupsi merupakan penghinaan terhadap pemerintah Indonesia.

Karena bagi pemerintah, industri sawit merupakan industri yang berperan dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai 11,6 juta Ha itu memberi dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup petani. Sekitar 45 persen dari luas area itu, dikuasai oleh petani rakyat.

Bahkan industri sawit menyerap lapangan pekerjaan yang siginifikan. Dari 45 persen area yang menjadi garapan petani, pemerintah mencatat serapan tenaga kerja mencapai 16 juta orang pekerja dari hulu hingga ke hilirnya.

BACA JUGA: