-
Pemerintah Buka Blokir Telegram
Jum'at, 11/08/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya membuka pemblokiran Telegram pada hari ini, Kamis (10/8). Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, pembukaan blokir Telegram versi web ini berkat upaya kedua belah pihak dalam mengatasi konten negatif, khususnya yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme.
"Dengan progres yang sama-sama dilakukan Telegram, dikerjakan oleh Kominfo maupun tim dari Telegram. Jadi, hari ini Telegram untuk webnya dibuka kembali sehingga masyarakat bisa menggunakan, memanfaatkan Telegram web lagi," ucap Rudiantara, dalam konferensi pers di Kementerian Kominfo.
Hadir dalam konferensi pers tersebut, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan dan Taruli dari Koordinator tim Trust+. Sebelumnya, Kominfo memutuskan menutup akses layanan pesan instan berlogo pesawat kertas tersebut pada Jumat (14/7).
Kominfo meminta kepada seluruh Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram. Ke-11 Domain Name System (DNS) milik Telegram meliputi t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.
Dampak terhadap pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web (tidak bisa diakses melalui komputer). Sedangkan aplikasinya masih bisa dipakai.
Kominfo menjelaskan pemblokiran harus dilakukan karena banyak sekali kanaldi layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pasca pemblokiran itu, CEO Telegram Pavel Durov langsung bereaksi hingga menyambangi Indonesia. Durov pun sepakat memberantas konten negatif di situsnya sehingga akhirnya Telegram versi web dapat diakses kembali hari ini. (dtc/mag)
Temui Perwakilan Facebook, Menkominfo Tekankan masalah KBLI
Jum'at, 04/08/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara melakukan serangkaian pertemuan dengan delegasi dari Facebook di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (2/8) lalu. Dalam pertemuan dengan delegasi Facebook yang dipimpin oleh Perwakilan Facebook Asia Pasifik Jeff Wu itu, Rudiantara membahas beberapa poin penting terkait dengan sosialisasi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sektor digital.
Selain itu kedua pihak juga membahas penanganan isu-isu terorisme, radikalisasi dan hoax, serta perkembangan industri Over The Top (OTT) di Indonesia. Kepada delegasi Facebook, Rudiantara menyampaikan kebijakan baru terkait dengan KBLI. Untuk itu, Facebook diminta melakukan penyesuaian atas KBLI yang selama ini dijadikan dasar beroperasinya Facebook di Indonesia.
Untuk menyediakan layanan di Indonesia, Facebook mengantongi izin prinsip yang dikategorikan sebagai manajemen konsultan (consulting management), sedangkan dalam praktiknya, aktivitas Facebook merupakan klasifikasi usaha platform digital berbasis komersial. "Kami ingin Facebook menyampaikan komitmennya untuk menyesuaikan dengan ketentuan KBLI yang baru," ujar Rudiantara seperti dikutip setkab.go.id.
Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 19 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, Penyelenggara Platform Digital merupakan hasil penyesuaian terhadap item-item yang terdapat dalam KBLI 47919, di mana e-retail tetap menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan. Sedangkan penyelenggaraan platform digital dalam bentuk market place berbasis platform, daily deals, price grabber, atau iklan baris online menjadi kewenangan Kementerian Kominfo dalam KBLI 63122: Portal Web dan atau Platform Digital Berbasis/Berorientasi komersial.
Di samping itu, Kementerian Kominfo saat ini telah merumuskan Rancangan Peraturan Menteri terkait Over The Top (OTT) yang mengatur perihal regulasi layanan penyediaan aplikasi dana atau konten melalui internet yang akan segera diberlakukan oleh Kominfo. Diharapkan RPM OTT ini dapat memberikan pemahaman kepada penyedia layanan dan penyelenggara telekomunikasi.
Pertemuan dengan Facebook ini merupakan rangkaian koordinasi Kementerian Kominfo dengan Penyedia Layanan Media Sosial Global dalam mekanisme penanganan konten yang semakin cepat dan saksama. Pertemuan ini bukan yang pertama, namun merupakan pertemuan yang terus-menerus untuk sama-sama memperoleh pemahaman bersama dalam penanganan muatan internet bermuatan negatif.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel A. Pangerapan menjelaskan, Facebook melaporkan adanya fitur baru Geoblocking yang dapat mengendalikan konten negatif yang disesuaikan dengan ketentuan negara tertentu. "Ada konten khusus yang memang tidak bisa diakses di Indonesia dengan adanya fitur Geoblocking ini. Untuk itu, Facebook juga akan membuat algoritma yang diperuntukkan khusus Indonesia," tambah Semmy.
Sebelumnya pada Rapat di Grand Hyatt, Jeff Wu menegaskan bahwa Facebook akan melakukan upaya perbaikan dalam mekanisme penanganan konten negatif di Indonesia, diantaranya dengan menujuk pegawainya (orang Indonesia) yang berbasis di Jakarta untuk percepatan penanganan konten negatif di platform mereka.
"Kita saat ini sangat intensif dan juga seterusnya untuk menangani konten-konten bermuatan radikal dan terorisme. Makanya kita mengundang penyedia aplikasi media sosial semua. Meski kami sering bertemu namun kita terus memperkuat koordinasi untuk mendapatkan penanganan yang semakin responsif. Para penyedia media sosial perlu mendapatkan update dari Kementerian Kominfo untuk kemudian ditekankan penanganan yang responsif di sisi penyedia layanan media sosial. Kali ini pertemuan dengan Facebook," kata Semmy.
Dalam kurun waktu 2016 sampai dengan awal Juli 2017, terdapat 402 laporan konten negatif mencakup pornografi, child pornografi, radikalisme, terorisme, akun palsu, fraud, berita hoax hingga ujaran kebencian. Namun dari laporan tersebut baru 50,7% yang direspon oleh pihak Facebook. Hal ini salah satunya disebabkan adanya perbedaan pemahaman antara Facebook dan pemerintah terkait konten negatif.
Untuk itu Kementerian Kominfo mendesak Facebook agar lebih berperan aktif dalam mengurangi konten negatif dan berharap memiliki tim pengawas agar lebih cepat mengenali temuan konten negatif di Indonesia. Selain itu diperlukan kerja sama intens antara pemerintah Indonesia dan Facebook dalam penanganan hoax.
"Penanganan hoax ini kontekstual, karena membutuhkan pihak yang bisa menentukan ini hoax atau tidak secara cepat. Yang bisa kita lakukan adalah dengan adanya tim terpadu untuk memantau sekaligus memberi masukan dalam menentukan konten negatif di Indonesia," pungkas Sammy. (mag)
Akademisi UGM Minta Blokir Telegram Segera Dicabut
Kamis, 03/08/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritisi langkah pemerintah Indonesia yang melakukan pemblokiran terhadap platform Telegram. Pemblokiran dinilai bakal membawa peradaban teknologi Indonesia kembali ke zaman penggunaan short message service (SMS).
"Pemerintah sebaiknya pikirkan dulu solusi yang lebih baik sebelum melakukan pemblokiran. Jangan memblokir tanpa ada solusi yang jelas," ujar Peneliti Kesehatan berbasis IT dari UGM Khoirul Rista Abidin dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (3/8).
Kritik itu dilontarkan Khoirul menyikapi pertemuan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dengan Chief Executive Officer (CEO) Telegram Pavel Durov, Selasa (1/8). Pertemuan ini membahas penanganan isu terorisme dan konten radikal yang berkembang dalam platform Telegram.
Pertemuan itu sebagai tindak lanjut dari kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menonaktifkan 11 Domain Name System (DNS) layanan Telegram berbasis web. Keputusan yang dilakukan pada 14 Juli 2017 tersebut sempat menuai kecaman pengguna Telegram di Indonesia.
Khoirul menuturkan, tidak semua platform yang diblokir telah memberikan efek negatif baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Meski demikian, kata dia, konten yang jelas-jelas merusak seperti yang berbau pornografi dan tindakan terorisme serta aktivitas Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), harus diwaspadai, dihentikan, bahkan diblokir secara tegas.
Khoirul menjelaskan, pihaknya membutuhkan fungsi telegram sebagai sarana dalam merespons perkembangan bisnis di bidang teknologi kesehatan. Sebab, telegram mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, telegram mempunyai cloud data base tanpa batas yang aman untuk menyimpan data.
"Jadi kami banyak menyimpan data-data penting dan hasil penelitian yang banyak secara gratis di dalam cloud telegram. Kedua, telegram juga mempunyai system sekuriti yang menjamin keamanan data penggunanya," terang dia.
Menurut dia, pihaknya mengkhawatirkan langkah pemerintah memblokir telegram sebab keamanan data-datanya terancam hilang. Apalagi, upaya untuk mem-back up semua data dan memindahkannya ke cloud lain, tidak memungkinkan.
Khoirul mengusulkan, agar pemerintah Indonesia mampu bersikap proaktif dan tidak selalu berpikir negatif yang dapat merugikan pemerintah dan masyarakat Indonesia, dengan langkah pemblokirannya. Ia mengingatkan, agar pemerintah tidak segera menilai perkembangan teknologi dari sisi negatifnya dulu dan melakukan pemblokiran.
Pemerintah harus memikirkan solusi kreatif sebagai antisipasi terhadap teknologi yang diusung telegram. "Kalau memang pemerintah sanggup membuat penggantinya ya monggo. Seperti di China, dimana pemerintah melarang rakyatnya menggunakan Whatsapp atau medsos lain, tetapi pemerintah China bisa menyediakan penggantinya berupa Weibo. Kalau pemerintah Indonesia blokir medsos dari negara lain. Gantinya apa? Masa Indonesia mau kembali ke zaman SMS. Kan ya pada protes rakyatnya," tandas Khoirul.
Secara terpisah, Peneliti Bahasa Inggris berbasis IT dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Arif Bulan menilai, dalam perspektif sosial penggunaan telegram telah membangun dunia komunikasi sosial dalam mode teknologi daring atau online. Dengan demikian, katanya, telegram sangat dibutuhkan demi keberlanjutan komunikasi dunia maya bagi para pengguna setianya.
Selain itu, tambah Arif, pihaknya kerap menggunakan link-link media pembelajaran online yang disebar lewat telegram. Hal itu memudahkan pembelajar menyimpan materi pembelajaran online berbentuk video untuk disimpan di layanan cloud telegram.
"Artinya, walaupun pembelajaran telah usai, mahasiswa masih bisa mengakses video atau materi pembelajaran yang telah mereka simpan di cloud telegram. Keuntungannya tidak membebani memori Smartphone pengguna. Jadi, pemerintah jangan berpikiran negatif untuk hal-hal positif yang bisa dinikmati masyarakat, seperti telegram. Kreatif dong, jangan cepat blokir tanpa solusi," imbuh Arif. (mag)
Durov Bertemu Rudiantara, Blokir Telegram Segera Dicabut
Rabu, 02/08/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara melakukan pertemuan dengan CEO Telegram Pavel Durov, di Kantor Kementerian Kominfo, Selasa (1/8). Pertemuan ini membahas penanganan isu terorisme dan konten radikal yang berkembang dalam platform Telegram.
Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menonaktifkan 11 Domain Name System (DNS) layanan Telegram berbasis web. Keputusan yang dilakukan pada 14 Juli 2017 tersebut sempat menuai kecaman pengguna Telegram di Indonesia.
"Saya mengapresiasi Telegram yang sangat responsif dalam menyikapi isu ini," ujar Rudiantara, seperti dikutip setkab.go.id.
Terkait dengan penanganan isu-isu terorisme, CEO Telegram, Pavel Durov juga mempunyai komitmen yang sama. "Telegram sangat peduli terhadap ancaman terorisme global, terutama untuk negara seperti Indonesia. Penting buat Pemerintah Indonesia dan Telegram untuk membuat Joint Statement terkait hal ini," jelas Durov.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen ini, Kemenkominfo dan Telegram sepakat untuk mengatur dan mengelola prosesnya. Hal itu dilakukan karena untuk menghadapi ancaman terorisme dan radikalisasi dibutuhkan kecepatan bertindak. Untuk itu, baik Rudiantara dan Pavel Durov sepakat prosesnya akan dibahas dalam pertemuan yang melibatkan tim teknis.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Samuel A Pangerapan menambahkan karena sudah ada itikad baik dan komitmen dari Telegram untuk mengelola dan menangani isu-isu yang mengancam negara, melalui penyebaran isu-isu terorisme dan konten radikalisasi, maka sesuai dengan prosedur yang diterapkan, 11 DNS Telegram berbasis web segera dipulihkan. "Minggu ini akan segera dipulihkan," tegas Semmy.
Keputusan pemblokiran terhadap 11 DNS Telegram berbasis web dilakukan setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika mengirimkan permintaan melalui email. Permintaan untuk menutup ribuan content terorisme dan radikalisasi yang tersebar dalam 11 DNS itu dikirim mulai 29 Maret 2016 sampai 11 Juli 2017. Namun semua permintaan tersebut tidak mendapatkan tanggapan.
Mengenai hal itu, sebelumnya, CEO Telegram Pavel Durov menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan tersebut dan mengakui telah menerima email komunikasi dari Kemkominfo, pada 16 Juli 2017. Untuk menuntaskan isu tersebut, Kemkominfo mengundang Pavel Durov ke Indonesia. (mag)
Pemerintah tak Punya Aturan Spesifik Pemblokiran Situs dan Aplikasi
Selasa, 18/07/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai belum membuat aturan berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang spesifik mengenai pemblokiran atas sebuah situs atau aplikasi berbasis elektronik. Ketiadaan aturan ini, menurut anggota Komisi I DPR RI Sukamta, kerap menyebabkan pemblokiran dan memunculkan kegaduhan dari pada penyelesaian tuntas.
"Pemerintah katanya akan bertindak tegas kepada Google, Facebook dan Twitter yang mangkir bayar pajak, tapi hingga saat ini belum ada perangkat untuk memaksa. Termasuk dalam hal ini isu pemblokiran terhadap Telegram yang dianggap tidak membuat filter terhadap konten berbau radikalisme," jelas Sukamta dalam rilisnya Senin (17/7).
Sukamta menjelaskan, menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 ayat (2a), (2b) dan (6), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) tersebut diamanatkan pemerintah agar membuat peraturan pemerintah (PP)."Saya kira, tanpa aturan yang jelas, secara teknis, pasti akan timbul masalah," tegas Politisi PKS tersebut.
Dengan belum adanya cara kerja pemblokiran yang jelas dan baku menurut Sukamta perlu adanya pembinaan terlebih dahulu. Pemblokiran bisa menjadi jalan terakhir setelah pembinaan dan peringatan sudah dilakukan tapi tidak mbawa hasil.
"Sebaiknya pemerintah menghindari asal main blokir sedangkan fiksasi belakangan, ini bisa mengancam kehidupan berdemokrasi di negeri kita," tegas politisi asal dapil DI Yogyakarta itu.
Selain itu menurut Sukamta, isu pemblokiran situs jejaring asing ini mestinya menjadi momentum untuk mengembangkan industri IT nasional. "Ini penting dilakukan supaya kita tidak bergantung kepada aplikasi asing, seperti China yang punya aturan ketat tetapi di sisi yang lain mendorong industri TI maju pesat," tutup Sukamta. (mag)Blokir Telegram, Pakar Sebut Pemerintah Gagal Paham
Senin, 17/07/2017 15:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah memblokir situs web Telegram yang beralamat di web.telegram.org. Pemblokiran ini mengundang reaksi pengguna. Menanggapi hal tersebut, Pakar Komunikasi Digital Anthony Leong menyatakan bahwa langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merupakan sebuah langkah kemunduran.
"Gagal paham jika langsung diblokir, ini kemunduran teknologi di tengah kemajuan zaman. Jika memang ada keluhan soal konten bisa langsung disurati ke Telegram, tapi nyatanya sampai sekarang menurut CEO Telegram belum menerima permintaan resmi dari Indonesia," kata Anthony dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (17/7).
Pengusaha muda itu menyebut banyak kerugian yang dialami masyarakat jika telegram dan aplikasi media sosial ditutup dari segi pertumbuhan ekonomi. "Bagaimana kita bisa terus berkembang dalam ekonomi jika media sosial nantinya ditutup. Ini telegram ditutup saja berapa banyak UMKM yang merugi, berapa banyak pedagang online yang omsetnya turun signifikan. Ini harus jadi konsen pemerintah," tegas Anthony.
Anthony menyebut ancaman Kemenkominfo dalam mentup media sosial asing jika tidak membuka kantor di Indonesia merupakan ancaman yang kurang relevan. "Sekarang kita di zaman serba digital, perusahaan media sosial itu platformnya yang dijual. Sama seperti Uber, apa dia harus sediakan taksi, Airbnb juga tidak perlu miliki hotel sendiri untuk penyewaan. Ini hanya soal teknis. Cukup koordinasi dengan PIC yang ditunjuk untuk wilayah-wilayah tertentu," tuturnya.
Pemerintah Indonesia terhitung mulai Jumat (14/7) resmi memblokir layanan percakapan instan Telegram dengan alasan Telegram "dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme", langkah yang diprotes pengguna internet.
Dalam keterangan resminya, Kemenkominfo mengatakan pihaknya telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram.
"Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia," jelas Kemenkominfo.
Menurut CEO Telegram, Pavel Durov, melalui akun Twitternya @durov mengatakan pemblokiran tersebut aneh karena pihaknya belum menerima pemberitahuan dari pemerintah Indonesia.
"Itu aneh. Kami belum pernah menerima permintaan atau keluhan dari pemerintah Indonesia. Kami akan menyelidikinya dan mengumumkan hasilnya," kata Durov menjawab pertanyaan pemilik akun @auliafauziahr. (mag)
Tak Ada Aturan Spesifik Pemblokiran Telegram Timbulkan Kegaduhan
Senin, 17/07/2017 14:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah baru saja menutup Situs Telegram karena dinilai menjadi sarana berkembangnya faham radikalisme. Namun langkah tegas pemerintah itu menuai pendapat pro dan kontra.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai munculnya kegaduhan itu akibat tidak adanya aturan berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang spesifik mengenai pemblokiran atas sebuah situs atau aplikasi berbasis elektronik. Sejauh ini pemerintah memang belum membuat aturan tentang itu.
"Pemerintah katanya akan bertindak tegas kepada Google, Facebook dan Twitter yang mangkir bayar pajak, tapi hingga saat ini belum ada perangkat untuk memaksa. Termasuk dalam hal ini isu pemblokiran terhadap Telegram yang dianggap tidak membuat filter terhadap konten berbau radikalisme," ujar Sukamta seperti dikutip dpr.go.id, Senin (17/7/2017).
Politisi F-PKS ini menjelaskan, menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 ayat (2a), (2b) dan (6), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Namun untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) tersebut pemerintah diamanatkan agar membuat peraturan pemerintah (PP). "Saya kira, tanpa aturan yang jelas, secara teknis, pasti akan timbul masalah," tegas Sukamta.
Menurutnya dengan belum adanya cara kerja pemblokiran yang jelas dan baku. Ia menyarankan sebelum dilakukan pemblokiran, pemerintah melakukan pembinaan terlebih dahulu. Pemblokiran bisa menjadi jalan terakhir setelah pembinaan dan peringatan sudah dilakukan tapi tidak membawa hasil.
"Pemerintah sebaiknya menghindari asal main blokir sedangkan fiksasi belakangan, ini bisa mengancam kehidupan berdemokrasi di negeri kita," tandas politisi dari dapil DI Yogyakarta itu.
Diluar persoalan itu, Sukamta menilai, isu pemblokiran situs jejaring asing ini seharunya menjadi momentum untuk mengembangkan industri IT nasional. "Ini penting dilakukan supaya kita tidak bergantung kepada aplikasi asing, seperti China yang punya aturan ketat tetapi di sisi yang lain mendorong industri TI maju pesat," usul Sukamta. (rm)Pendiri Telegram Minta Maaf
Senin, 17/07/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pavel Durov, pendiri layanan messaging Telegram meminta maaf dan mengakui kesalahannya, terkait layanan Telegram yang berisi konten membahayakan, salah satunya terkait terorisme, sehingga akhirnya pemerintah bertindak tegas memblokir program itu.
Durov sendiri baru saja mengeluarkan pernyataan yang isinya untuk mengklarifikasi, bahwa telah terjadi miskomunikasi selama ini. Dia pun mengakui bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika memang telah menghubungi mereka, namun lambat direspons oleh tim Telegram.
Pria asal Rusia itu pun menyesalkan, permintaan dari pemerintah Indonesia untuk menutup channel terorisme yang ada di Telegram tak cepat-cepat diproses. Ia juga mengklaim tak langsung mendapatkan laporan dari timnya begitu ada permintaan dari Kominfo.
"Sayangnya, saya tidak sadar akan permintaan itu, yang menyebabkan miskomunikasi dengan kementerian," ujarnya lewat channel resmi Durov di Telegram, Minggu (16/7).
Durov mengakui, memang ada banyak sekali saluran terkait terorisme di channel Telegram. Namun setiap bulan, Durov mengklaim telah memblokir ribuan saluran publik ISIS dan mempublikasikan daftarnya di @isiswatch. "Kami terus berusaha untuk lebih efisien dalam mencegah propaganda teroris, dan selalu terbuka terhadap gagasan tentang bagaimana menjadi lebih baik dalam hal ini," kata pria berusia 32 tahun itu.
Untuk memperbaiki masalah ini, khususnya agar Telegram tidak terus diblokir, Durov pun menawarkan tiga solusi kepada pemerintah Indonesia. Pertama, memblokir semua saluran publik terkait teroris yang sebelumnya telah dilaporkan oleh Kominfo.
Kedua, mengirim email ke Kominfo untuk membentuk saluran komunikasi langsung, yang memungkinkan Telegram bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris di masa depan.
Ketiga, membentuk tim moderator yang berdedikasi dengan pengetahuan bahasa dan budaya Indonesia untuk dapat memproses laporan konten yang berhubungan dengan teroris lebih cepat dan akurat.
"Saya mengirim email ke Kementerian Kominfo tiga solusi itu untuk mendengar tanggapan dari mereka. Saya yakin kita dapat secara efisien membasmi propaganda teroris tanpa mengganggu jutaan pengguna Telegram di Indonesia," kata Durov.
"Saya akan terus memperbarui saluran ini tentang bagaimana Telegram akan berkembang di Indonesia dan secara global," ujarnya di akhir pernyataan tertulisnya itu.
Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara mengatakan, pihaknya telah coba menghubungi Telegram berkali-kali. Namun karena tak kunjung mendapatkan respons, diblokirlah Telegram demi alasan keamanan negara.
Untuk mengeksekusi pemblokiran ini, Rudiantara mengaku telah berkoordinasi dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Kominfo juga telah berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Kalau Google ada kantor perwakilan di Singapura, Twitter ada di Indonesia. Sementara kalau Telegram ini komunikasinya harus lewat web service mereka. Mereka protes kok kita tidak diajak bicara tahu-tahu diblokir. Padahal, Kominfo sudah hubungi Telegram berkali-kali," sesal menteri yang akrab disapa Chief RA ini.
Permintaan dari pemerintah Indonesia jelas sangat beralasan. Pasalnya, di dalam Telegram, menurut menteri, ditemukan ada 17 ribu halaman yang terkait terorisme dan aksi radikalisme lainnya.
"Ada ajakan membuat bom, bergabung dengan organisasi teroris," kata Rudiantara seraya menyebut bahwa yang ditutup oleh pemerintah Indonesia barulah layanan Telegram yang ada di website saja, belum sampai ke aplikasinya. (dtc/mag)
Jokowi Tegaskan Hanya Blokir Telegram
Minggu, 16/07/2017 16:41 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan hanya memblokir Telegram dan tidak melakukan pemblokiran pada media yang lain. Penegasan itu disampaikan Jokowi menyusul rumor akan adanya beberapa media sosial yang menjadi target pemblokiran.
Menyusul keputusan pemerintah yang memblokir aplikasi percakapan Telegram, karena diduga banyak digunakan kelompok teroris dan radikal untuk berkomunikasi dan menyebarkan paham mereka.
"Tidak (pemblokiran media sosial yang lain-red). Tidak," tegas Jokowi kepada wartawan usai meresmikan Akademi Bela Negara di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (16/7).
Jokowi mengungkapkan, keputusan pemerintah untuk memblokir Telegram di Indonesia, dilakukan setelah melalui pengamatan. Ternyata disinyalir, banyak yang menggunakan media sosial itu sebagai wadah komunikasi kelompok maupun orang yang diduga bisa mengganggu keamanan negara, seperti teroris.
"Kita sudah mengamati lama. Dan ini demi kepentingan keamanan negara, masyarakat, oleh sebab itu, keputusan itu dilakukan. Karena memang tidak hanya satu, dua, tiga, empat, lima. Ini ada ribuan yang ada di situ (Telegram-red) yang dikategorikan akan mengganggu keamanan negara ini, mengganggu keamanan masyarakat," ujarnya.
Presiden mengatakan selain Telegram, masih banyak aplikasi media sosial lain yang bisa digunakan masyarakat untuk berkomunikasi. "Kita lihat kan masih banyak aplikasi yang lain, yang bisa digunakan," katanya. (dtc/rm)Kemkominfo Blokir Situs Telegram karena Muatan Radikalisme
Jum'at, 14/07/2017 21:54 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir layanan pesan instan Telegram. Pemblokiran dilakukan Kemkominfo dengan meminta penyedia Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram, terhitung mulai hari ini.
Sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram itu meliputi t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, luto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.
Dengan pemblokiran ini layanan Telegram versi web tidak bisa diaksesnya (tidak bisa diakses melalui komputer).
Menurut Kominfo langkah pemblokiran ini harus diambil karena banyak sekali kanal di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
"Di Telegram, kami cek ada 17 ribu halaman mengandung terorisme, radikalisme, membuat bom, dan lainnya, semua ada. Jadi harus diblok, karena kita anti radikalisme," papar Rudiantara yang akrab disapa Chief RA, Jumat (14/7).
Atas temuan mengerikan itu, Rudiantara mengaku telah menyampaikan kepada Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, untuk segera mengeksekusi pemblokiran Telegram.
"Setelah berkomunikasi dengan mas Gatot (Panglima TNI), Pak Kapolri, mas Teten, ya sudah besok diblokir saja," lanjut Rudiantara di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Dirjen Aplikasi Informatika Semuel A. Pangerapan mengaku sedang menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia apabila Telegram tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten-konten yang melanggar hukum dalam aplikasi mereka.
Ia menegaskan, langkah ini dilakukan sebagai upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI. Lebih jauh Semuel menjelaskan, bahwa aplikasi Telegram ini dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme.
Ditegaskanya bahwa dalam menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kemkominfo selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga Negara dan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani pemblokiran konten-konten yang melanggar peraturan perundangan-undangan Indonesia.
Atas pemblokiran situs Telegram ini, Pencipta Telegram Pavel Durov mempertanyakan pemblokiran. Ia mengklaim pemblokiran itu tanpa pemberitahuan dan koordinasi.
"Kalau Google ada kantor perwakilan di Singapura, Twitter ada di Indonesia, kalau Telegram ini komunikasi harus lewat web service mereka. Mereka protes kok kita tidak diajak bicara tahu-tahu diblokir," ujar Chief RA.(dtc/rm)