JAKARTA - Vaksinasi Corona Virus (Covid-19) di Indonesia mulai dilaksanakan pada 13 Januari 2021 mendatang. Sejumlah kelompok penerima vaksin Corona pun telah diberitahu melalui SMS blast lewat ID Peduli COVID. Bagaimana dengan mereka yang menolak untuk divaksin?

Aturan tentang mereka yang menolak ini ada dikategorikan masuk ketentuan Pidana Pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2020 termuat larangan orang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19 dengan ganjaran pidana denda paling besar Rp5.000.000.

Aturan ini juga terus dinyatakan oleh pimpinan daerah DKI Jakarta sebagai ancaman yang diberikan kepada setiap orang di DKI Jakarta yang berani untuk menolak vaksinasi.

Sebelumnya, pada 24 Desember 2020 lalu Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menyatakan bahwa pada prinsipnya pemberian sanksi pada orang yang menolak vaksin adalah kewenangan pemerintah daerah untuk merumuskan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform ICJR) Maidina Rahmawati mempertanyakan pernyataan ini dan urgensi pengaturan peraturan daerah yang memuat ancaman pidana bagi perbuatan menolak vaksin.

Menurutnya ketentuan pemidanaan mengenai suatu perbuatan, khususnya yang berskala nasional, idealnya ditentukan dari pemerintah pusat yang bertugas menentukan arah politik pidana. "Dengan kondisi ini maka kurang tepat penentuan sebuah perbuatan dipidana atau tidak di pemerintah daerah," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (8/1/2021)

Ia melanjutkan memang dimungkinkan bahwa pemerintah daerah dapat membuat perda yang berisi muatan ketentuan pidana. Namun hanya dapat menyertakan hukuman maksimal pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.

Ketentuan pidana yang dapat diatur dalam Perda hanya lebih cenderung merupakan tindak pidana ringan dan hanya dapat memuat tindak pidana yang pada dasarnya berkaitkan dengan administrasi ataupun tata kelola yang khas suatu pemerintah daerah.

Sedangkan perihal pemberian vaksin, lanjut Maidina seperti yang dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo adalah bagian dari respon nasional untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Pengaturan tentang ancaman pidana apabila menolak vaksin tidak dapat begitu saja bergantung pada kewenangan pemerintah daerah, karena respon ini diberikan pada seluruh rakyat Indonesia tidak hanya dalam wilayah tertentu saja.

Menurutnya mengenai perbuatan melarang orang untuk menolak vaksin sebagai respon dari pandemi dalam hukum pidana diklasifikasikan sebagai pidana yang memiliki corak administrasi, adalah sebuah tindak pidana yang membutuhkan syarat lain untuk dapat dikenakan, singkatnya menolak vaksin tidak dapat begitu saja dipidana kecuali ada syarat tertentu misalnya dalam hal ini adalah situasi pandemi yang darurat mensyarakatkan semua orang divaksin untuk mencapai tujuan herd immunity.

Pada perbuatan ini, maka pemerintah pusat yang harus menentukan dengan ajeg terlebih dahulu apakah perbuatan menolak vaksin dan sampai batas mana dapat benar-benar berdampak buruk yang mengakibatkan situasi darurat kesehatan.

Hal ini sejalan dengan Pasal 93 UU Kekerantinaan Kesehatan Masyarakat yang menjelaskan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Ia menjelaskan pemerintah pusat harus terlebih dahulu memperbarui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Covid-19 dengan memuat penjelasan yang komprehensif tentang perbuatan apa aja yang masuk ke dalam mengakibatkan darurat kesehatan masyarakat dan pada batas apa menolak vaksin dapat mengakibatkan darurat kesehatan masyarakat.

"Bisa saja dimungkinkan orang yang menolak vaksin tidak kan memberikan dampak besar, misalnya alasan menolak karena sudah pernah terinfeksi virus ataupun orang-orang yang telah sebelumnya divaksin misalnya di negara lain," ujarnya.

Maidina menegaskan menyerahkan kewenangan pemberian sanksi pada pemerintah daerah justru akan membuat kerancuan, padahal vaksin adalah respon nasional.

Selanjutnya, sekalipun perbuatan ini akan dilarang dengan instrumen hukum pidana, maka harus dipastikan mekanisme adminitrasi sebelum masuk pada hukum pidana jelas.

Misalnya langkah-langkah apa saja dalam tataran administrasi yang harus dipenuhi sebelum dapat menggunakan instrumen hukuman pidana. Harus dipastikan yang pertama kali digunakan adalah mekanisme adminitrasi misalnya pengecekan dokumen riwayat kesehatan dan lainnya bukan serta merta mempidana orang yang menyatakan menolak vaksin.

Begitu juga hal ini dapat diterapkan hanya apabila pemerintah pusat telah menjelaskan secara komprehensif tentang kandungan yang terdapat dalam vaksin, bagaimana vaksin tersebut bekerja, proses uji klinis dan apa dampak yang mungkin ditimbulkan setelah penggunaan vaksin tersebut.

Lebih dari itu, ICJR mengamini bahwa dimungkinkan adanya respon darurat ini, namun yang terus menjadi catatan adalah apakah perlu pemerintah dan pemerintah daerah mengedapankan pendekatan pidana untuk menjamin pelaksanaan pemberian vaksin. Yang diperlukan adalah membangun sistem yang efektif bukan ancaman hukuman.

ICJR mengingatkan bahwa penting untuk membangun sistem dan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Pendekatan pidana selama ini terlihat masih belum konsisten karena kurangnya SDM penegakan hukum, hal ini dapat mengakibatkan ketidakpatuhan dari masyarakat itu sendiri karena penegakan hukum yang tidak konsisten tersebut.

"Jangan sampai narasi ancaman penghukuman ini justru membelokkan fokus awal respon pandemi ini, bahwa negara harus menjamin semaksimal mungkin kesehatan masyarakat warga negara," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: