JAKARTA - Penanganan pandemi COVID-19 telah berjalan hampir enam bulan sejak kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada 2 Maret 2020. Tak sedikit anggaran yang digelontorkan untuk penanganan pandemi ini, besar juga potensi penyelewengannya.

Pada 9 April 2020, pandemi telah menyebar ke 34 provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah sebagai provinsi paling terpapar. Bahkan hingga saat ini DKI Jakarta masih menduduki posisibpertama dalam penambahan kasus positif dan sembuh terbanyak secara nasional.

Koordinator Resource Center Indonesia Budget Center (IBC) Hatma Nova Kartikasara mengatakan realokasi anggaran untuk penanganan COVID-19 sudah digelontorkan pemerintah, tak terkecuali oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Anggaran yang dialokasikan DKI Jakarta untuk penanganan COVID-19 mencapai Rp10,64 triliun, yang difokuskan untuk belanja sektor kesehatan dan pemberian Jaring Pengaman Sosial (JPS) kepada warga yang rentan terkena risiko sosial dan dampak COVID-19," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (26/8/2020).

Melihat besarnya anggaran dan potensi penyalahgunaan belanja alat kesehatan dan distribusi JPS, Indonesia Budget Center (IBC) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama telah membuka posko pengaduan warga sejak 1 Juni 2020.

Menurutnya langkah ini juga dimaksudkan untuk menghimpun dan mengidentifikasi lebih dalam mengenai implementasi kebijakan pemerintah untuk menangani COVID-19 dan mendorong transparansi serta akuntabilitasnya.

"Untuk melihat seperti apa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menangani pandemi COVID-19 ini, hasil pemantauan kami sejak 1 Juni 2020 hingga 21 Agustus 2020 bahwa Bantuan Sosial (Bansos) DKI Jakarta datanya kacau dan Pengadaan Barang dan Jasa tak transparan," ungkapnya.

Ia menjelaskan adapun informasi yang dijadikan sumber pemantauan antara lain dari laman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu https://corona.jakarta.go.id/id, Badan Pelayanan Pengadaan Barang/Jasa (BPPBJ) DKI Jakarta, informasi dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Provinsi DKI Jakarta, Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP), Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) DKI Jakarta beserta temuan yang bersumber dari pemberitaan media, serta pengaduan masyarakat yang masuk melalui posko pengaduan penanganan COVID-19 DKI Jakarta.

Sejak April 2020 sampai Juli 2020 Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp1.221.556.660.500 yang dibelanjakan untuk pengadaan bansos tahap 1 sampai dengan tahap 4 termasuk biaya pengiriman, kardus, dan ongkos kerja.

Rincian tahap 1 sebesar Rp173.925.160.500 dengan nilai paket bansos yang dibagikan sebesar Rp149.500/paket. Tahap 2 sebesar Rp325.881.600.000 dengan nilai paket bansos yang dibagikan sebesar Rp275.000/paket.

Tahap 3 sebesar Rp376.301.100.000 yang dibelanjakan untuk bansos berupa beras 25 kg dan tahap 4 sebesar Rp345.448.800.000 dengan nilai paket bansos yang dibelanjakan sebesar Rp275.000/Paket.

Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 356 Tahun 2020 warga penerima bansos sebanyak 1,1 juta KK yang kemudian sisanya 1,3 juta KK di-cover oleh Kementerian Sosial. Sehingga jika digabung maka total penerima bansos COVID-19 di DKI Jakarta sebanyak 2,4 juta KK.

Selama bulan Juni-Juli 2020 (bansos tahap 3 dan 4) pemantau ICW dan IBC telah menerima laporan warga berupa keluhan distribusi bansos. Adapun jenis keluhan yang masuk yaitu pengurangan isi paket bansos oleh pihak RT sebanyak; Warga dapat bansos double (bansos pemprov dan presiden) dan terdaftar sebagai penerima bansos tetapi tidak dapat bansos karena pindah domisili.

Dewi dari ICW menambahkan setelah melakukan konfirmasi kepada pihak RT/RW pelapor, pengurangan isi paket bansos dilakukan dengan agar warga yang tidak mendapatkan bansos juga bisa dapat bansos. Selain itu menurut pihak RT data penerima bansos Pemprov DKI Jakarta dan bansos Presiden sama sehingga menyebabkan tumpang tindih data penerima bansos presiden dan Pemprov DKI Jakarta.

Sementara itu dalam aspek pengadaan barang dan jasa, langkah-langkah antisipasi itu bisa dilihat dari penerbitan Nota Dinas Sekretaris
88/-073-3 Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Nomer tentang Percepatan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Tanggap Darurat Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) tentang Percepatan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Tanggap Darurat Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19).

Kemudian terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2020 Tentang Jaringan Kolaborasi Pembangunan Jakarta (Jakarta Development Collaboration Network), aturan ini bukan regulasi khusus terkait penanganaan COVID-19, tetapi dipakai rujukan untuk melakukan kolaborasi dalam pemberian bantuan penanganan COVID-19 seperti bantuan alat kesehatan dari pihak di luar pemprov.

Terakhir penerbitan Surat Keputusan Dinas Kesehatan Nomor 333 Tahun 2020 tentang Tata Cara Perencanaan Belanja Tidak terduga (BTT) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

"Namun demikian langkah cepat antisipasi dalam pengadan barang dan jasa tersebut tidak dibarengi dengan transparansi dan diseminasi informasi prosesnya ke publik secara memadai. Transparansi dalam pengadaan barang dan jasa oleh Provinsi DKI Jakarta sangat rendah, dikarenakan minimnya informasi yang disediakan untuk publik.

Hingga bulan Juni 2020 (kurang lebih 4 bulan pasca diumumkannya kasus pertama COVID-19 di Indonesia), informasi pengadaan barang dan jasa terkait COVID-19 hanya ditemukan di laman Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) https://sirup.lkpp.go.id/ saja. Sementara di laman LPSE Provinsi DKI Jakarta https://lpse.jakarta.go.id tidak ada informasinya.

Informasi baru didapatkan setelah melakukan permintaan informasi ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan informasi yang didapat dari PPID Provinsi DKI Jakarta tersebut, dapat dilihat bahwa metode pemilihan dan pengadaan barang dan jasa di Provinsi DKI Jakarta terkait penanganan COVID-19 sebagian besar mengacu dan berpedoman pada Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 dan SE Ka LKPP Nomor 3 Tahun 2020 (Kajian Cepat).

Di poin b3 huruf a disebutkan bahwa PPK bisa melakukan penunjukkan penyedia yang antara lain pernah menyediakan barang/jasa sejenis di instansi pemerintah atau sebagai penyedia dalam katalog elektronik. Bahkan di poin 4 pengadaan juga bisa dilakukan secara swakelola.

Dengan aturan ini maka pengadaan barang dan jasa dalam rangka penanggulangan COVID-19 diperbolehkan dengan cara pengadaan langsung, e-purchasing, karena alasan darurat (kajian cepat). Meskipun tidak melanggar aturan, namun hal ini berpotensi besar terhadap munculnya penyimpangan.

Paket proyek pengadaan barang dan jasa untuk penanganan COVID-19 sebagian besar dikerjakan oleh pihak swasta. Kebijakan ini meski cukup memberi peluang berjalannya perekonomian di masa pandemi, namun pada kenyataannya belum memberi ruang yang cukup kepada UMKM, karena pihak swastanya merupakan perusahaan besar.

Dari hasil pemantauan ada temuan dilakukan oleh swasta (59,86%), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 5,7%, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar 5,7%. BUMD yang mengerjakan proyek pengadaan barang dan jasa ini hanya satu, yaitu Perumda Pasar Jaya.

BUMN yang mengerjakan proyek pengadaan barang dan jasa ada 4, yaitu Kimia Farma, PT Indofarma Global Medika, PT Indofarma Global Medika Cabang Jakarta I, dan PT. Pertamina Bina Medika IHC.

Ada 3 proyek pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara swakelola, yaitu proyek pengadaan di RS Sulianti Saroso, RS Dharmais, dan RS Tarakan, dengan nilai proyek sebesar Rp1.235.520.000.

Tiga perusahaan swasta yang mengerjakan proyek pengadaan barang dan jasa terkait COVID-19 di DKI Jakarta adalah PT Naura Permata Nusantara dengan nilai proyek sebesar Rp10.862.500.000.000, kemudian PT Food Station Tjiptaning Jaya dengan proyek yang dikerjakan senilai Rp370.837.500.000, serta PT Trilogi Karya Medika yang mengerjakan proyek senilai Rp65.107.500.000. (G-2)

BACA JUGA: