JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lebih dari 50 persen fakultas keguruan di Indonesia termasuk golongan "sakit" dan tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dari 50 persen lebih tersebut sekitar 64,88 persennya merupakan fakultas keguruan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

"Rata-rata fakultas keguruan di Indonesia jauh dari kata sehat untuk menyongsong MEA 2015," kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta, Thomas Suyatno, di Jakarta, Selasa (9/12).

Sampel di Jakarta menyatakan baru sekitar 24 persen PTS yang sehat. "Bisa dibayangkan bila gambaran di Jakarta seperti itu, maka bagaimana di wilayah lain?" ujarnya.

Menurut Thomas, ada 9 norma yang harus dilalui PTS untuk dikatakan sehat. Pertama, PTS harus memiliki keabsahan badan penyelenggara. "Yayasan harus terdaftar dalam Kementrian Hukum dan HAM lalu diumumkan tambahan lembaran negara," jelasnya.

Kedua, tidak boleh ada konflik di dalam PTS. Baik konflik internal dan eksternal termasuk konflik lahan dan bangunan. Ketiga tidak boleh membuka cabang dimana-mana. Terlebih tanpa izin direktorat jenderal tinggi.

Keempat harus ada nomor induk dosen nasional yang lengkap dan terorganisir dengan baik. Keelima, jumlah dosen tetap minimal harus 75 persen dari total dosen. Kenyataannya saat ini terdapat kesulitan bahkan hanya untuk memenuhi 50 persen.

"Banyak faktor yang melatarbelakangi, seperti biaya yang cukup mahal, proses mendapatkannya susah, persaingan ketat, banyak output PTN yang tidak suka jadi dosen, senang industri dan dagang," jelasnya.

Keenam jumlah rasio antara dosen dan mahasiswa harus sesuai dengan peraturan Mendikbud tahun 2014. Dengan kuslifikasi rasio IPA 1 : 20, IPS 1: 30, dan Pendidikan Kedokteran 1:10, Profesi Kedokteran 1 : 5. Namun, pada umumnya, PTN PTS kedodoran dengan jumlah dosen terbatas.

"Akhirnya dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi terjadilah bajak membajak. Banyak yang jadi dosen tetap lebih dari 2 universitas," katanya.

Norma ke-7 yakni sarana dan prasaran PTS, seperti laboratorium dan lainnya. Berkaitan unsur saranan dan prasarana ini mekanisme dan metodiknya harus diperbaiki.

Contohnya saja Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sudah berubah menjadi universitas. Sekarang ini justru banyak mengurangi kualitas dalam metodik dan dikdaktik, cara dan proses pengajaran. "Sekarang kurang dapat perhatian khusus setelah jadi universitas," ujarnya

Kedelapan, proses belajar mengajar yang harus sesuai dengan Permendikbud No.49/2014. Terakhir yang krusial yakni hinggga saat ini belum tercapainya Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT). "Mereka tidak up to date untuk data administrasi," katanya.

Dia berharap pemerintah mampu memetakan norma tersebut dan melakukan perbaikan pada PTS. "Semua norma tadi harus dipenuhi, supaya siap, saat ini hanya 10 persen yang siap MEA baik PTN atau PTS," tuntasnya.

Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) di Wilayah Jakarta, Ilza Mayuni, tidak memungkiri ada 64,88 persen PTS belum sehat. Hal ini merupakan rangkuman dari data dan norma dari koordinasi dengan berbagai perguruan tinggi swasta dilapangan. "Memang itu faktanya, tapi bukan berarti kita menyerah. Kita harus berusaha memperbaiki,"katanya.

Ilza juga menyatakan, salah satu cara memperbiki mutu juga dengan peningkatan jumlah jurnal ilmiah. Publikasi ini jadi penting karena akan ada data baik buruknya kualitas juga dari jurnal. Jika jumlah jurnal yang dipublikasikan baik maka, kualitas pendidikan PT tersebut baik.

BACA JUGA: