JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aksi bersih-bersih perguruan tinggi tak berizin alias bodong dan universitas penerbit ijazah bodong yang dilakukan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir terus berlanjut. Yang terbaru, Nasir melakukan penutupan terhadap 12 perguruan tinggi swasta yang tak memiliki izin operasional dan terbukti melakukan pemalsuan ijazah.

"Perguruan tinggi swasta (PTS) yang dianggap ilegal itu terpaksa harus ditutup karena merugikan masyarakat dan pendidikan tinggi," kata Nasir, Kamis (1/10) lalu.

Sebelum melakukan penutupan, Nasir mengaku sudah memberikan beberapa kali peringatan kepada universitas-universitas tersebut. Namun teguran itu tak pernah ditanggapi dan mereka tetap terus beroperasi. "Mereka masih terus menerima mahasiswa baru, menerbitkan ijazah ilegal, serta melaksanakan wisuda sarjana yang tidak diakui pemerintah," ujar Nasir.

Beberapa waktu lalu, Menristek Dikti juga melakukan penggerebekan terhadap wisuda sarjana dari kampus yang sudah nonaktif. Wisuda bodong yang berlangsung di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, itu diikuti oleh lebih dari 1.000 orang. Penggerebekan itu dilakukan pada Sabtu (19/9) kemarin di Universitas Terbuka Convention Center, Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Meski dilangsungkan di Universitas Terbuka (UT), wisuda itu sendiri bukan dilaksanakan oleh UT. "Itu tempatnya saja yang di UT, bukan wisudanya UT," ucap Nasir.

Kasus-kasus universitas bodong dan penerbitan ijazah bodong memang sudah mengkhawatirkan. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Suryo Bambang Sulisto mengatakan, kasus peredaran ijazah palsu sudah sangat memprihatinkan.

"Ini sudah sangat memprihatinkan, harus ada upaya penertiban. Ini akan mencederai persepsi ijazah di Indonesia. Kita sedih, yang dikejar ijazah daripada kemampuan seseorang. Mungkin ada hikmahnya bisa meningkatkan pengawasan dan kualitas universitas di Indonesia," kata Suryo beberapa waktu lalu saat menandatangani nota kesepahaman dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI).

Sementara itu, Ketua Umum APTISI Edy Suandi, mengatakan, praktik pemberian ijazah bodong ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Orang awam bisa dengan mudah memperoleh ijazah aspal alias asli tapi palsu karena para penerbit ijazah berani beriklan. "Iklan internet gampang. Sudah banyak yang beredar. Itu sudah puluhan tahun," sebutnya.

Edy mengapresiasi langkah pemerintah sekarang untuk menertibkan praktik ijazah palsu. Alasannya praktik tersebut sangat menampar wajah perguruan tinggi tanah air. "Itu sesuatu nggak pantas. Itu terjadi di perguruan tinggi. Kami nggak akan bela. Itu praktik menjijikan. Nggak pantas muncul," jelasnya.

Edy mengaku telah mengeluarkan surat edaran kepada 4.000an kampus swasta di tanah air. Ia menginstruksikan audit kepada tenaga pengajar hingga pengelola kampus. "Kita baru keluarkan surat edaran supaya Perguruan Tinggi melakukan audit ijazah dari tenaga pendidikan dan dosen, kalau terbukti melanggar. Beri sanksi tegas yang pakai ijazah aspal. Itu seruan kami," ujarnya

Sejauh ini, Kemenristek Dikti telah melakukan penutupan terhadap 243 perguruan tinggi swasta tak berizin. Pihak Dikti pun ikut melibatkan pihak kepolisian untuk menertibkan pelaku pemberian ijazah bodong dan juga pengelola kampus bodong.

LAKUKAN PEMBINAAN - Langkah penertiban yang dilakukan Muhammad Nasir ini mendapat dukungan dari para anggota DPR. Anggota Komisi X DPR RI, Jefri Riwu Kore menilai, langkah ini merupakan upaya penanggulangan untuk melindungi para mahasiswa dari tipuan pendidikan palsu. "Langkah pemerintah ini membuat pendidikan bangsa menjadi lebih baik," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (4/10).

"Pendidikan kita rendah mutunya, universitas itu izinnya, dosennya abal-abal. Maka pendidikan kita rendah mutunya dibandingkan orang lain," katanya menambahkan.

Hanya saja menurut Jefri, agar kebijakan ini tak berjalan timpang, harus dibarngi dengan antisipasi terhadap nasib ribuan mahasiswa yang mendadak tak memiliki almamater lantaran kampusnya ditutup pemerintah. Dia juga meminta pemerintah terlebih dahulu memberikan informasi kepada universitas-universitas tersebut.

"Terkadang memang si universitas yang nakal, lantaran langsung mendirikan universitas tanpa melapor ke Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta)," ujar Jefri.

Jefri menyatakan, pemerintah juga jangan hanya menutup tetapi sebelumnya harus melakukan pembinaan terhadap universitas-universitas tersebut. "Pemerintah juga harus membantu universitas itu untuk menyelesaikan kekurangan administrasi yang belum terpenuhi," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi X lainnya Dadang Rusdiana mengaku akan ikut mengawasi sejauh mana penutupan universitas bodong tersebut sejalan kesesuaiannya dengan perundang-undangan. Karena pengawasan komisi dilakukan pada konsistensi Dikti dalam menjalankan ketentuan perundang-undangan.

"Selama untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi sesuai standar pelayanan minimum PT, saya dukung," katanya kepada gresnews.com.

Terkait masalah ini, Komisi X DPR memang meminta pihak Kemenristek Dikti untuk melakukan koordinasi dengan DPR. Pasalnya, DPR menilai beberapa universitas yang ditutup masih amat layak untuk tetap bisa beroperasi asal dilakukan pembinaan secara benar.

Mantan anggota Komisi X DPR yang juga merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi Didik J Rachbini mengatakan, tanpa ada pembinaan yang baik, pemberangusan universitas yang dinilai bodong ini merupakan kebijakan yang naif. Kata dia, dalam konteks ini, Dikti yang dianalogikan sebagai ibu kandung seolah tak menginginkan anak-anak yang tak sempurna dan membuangnya begitu saja.

"Saya yang bergerak di bidang pendidikan selama 39 tahun saja tidak tahu apa standar yang dipakai Dikti. Padahal kebijakan publik harus disampaikan," ujarnya kepada gresnews.com.

STANDAR DIKTI DIPERTANYAKAN - Didik  yang lama berkecimpung di dunia pendidikan tinggi mengatakan, langkah yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti ini tidak adil. Dia mengatakan, tak bisa pemerintah memvonis begitu saja sebuah universitas sebagai universitas bodong.

Menurut Didik, di awal pembukaan sebuah kampus, universitas swasta pastilah meminta izin kepada Kemendiknas atau saat ini kepada Kemenristekdikti. Namun saat syarat sebagai universitas dianggap kurang, Dikti seperti lepas tangan dan langsung menutup secara tiba-tiba operasional kampus tersebut.

Langkah ini, kata Didik, sangat merugikan bagi para mahasiswa di kampus-kampus yang mendadak ditutup. Jika rata-rata jumlaah mahasiswa dalam satu universitas berkisar 1000 orang, maka dalam kasus ini, kata dia, terdapat 243 ribu mahasiswa yang dirugikan. "Jika universitas melakukan jual beli ijazah maka silahkan dikriminalisasikan, tapi dinonaktivkan ini tak masuk akal," ujarnya.

Didik mengimbau, pihak Dikti meninjau ulang aksi pembersihan alias penutupan 243 universitas yang diduga bodong ini, lalu melakukan screening atau peyaringan ulang. Terhadap universitas yang melakukan jual beli ijazah, kata Didik, memang harus ditindak, namun terhadap universitas yang kurang dosen atau fasilitas justru Dikti harus melakukan pembinaan atau dilakukan merger ketika dirasa kurang memadai fasilitasnya.

Suatu kebijakan penutupan, menurutnya harus melalui proses formulasi, sosialisasi, dan diskusi dengan pihak-pihak lain, termasuk Komisi X DPR RI sebagai mitra. "Inikan tidak, tiba-tiba keluar, kopertisnya saja tak tahu. Sepengalaman saya di Komisi X, saya yakin mereka tak datang ke lapangan untuk pengecekan langsung," katanya.

Dulu, saat menjadi Anggota Komisi X, kata Didik, untuk menutup sebuah universitas haruslah ada pengelaborasian satu per satu. Ketika dilakukan penutupan pun tidak secara serempak, tapi satu per satu. "Tapi memang, standar Dikti selalu berubah-ubah. Jadi kita tak tahu apa standar mereka menutup suatu universitas," katanya.

Penutupan universitas swasta ini juga membuat Didik menyarankan Dikti agar fokus memperhatikan universitas swasta. Pasalnya selama ini diyakini perhatian Dikti tersita untuk universitas besar yang sudah memiliki ratusan doktor. "Kampus besar jika mau membuat jurusan baru maka buat saja sendiri tak perlu ribet administrasi, lalu lapor, selesai. Dikti sebagai badan perizinan saja, urusi yang kampus kecil," katanya.

PENERTIBAN KOPERTIS - Terkait masalah universitas bodong, Menristek Dikti Muhammad Nasir mengaku tak hanya melakukan upaya penertiban terhadap kampusnya saja. Terhadap Kopertis pun, Nasir akan melakukan perbaikan. Kinerja Kopertis dinilai masih kurang oleh Nasir. Itu yang dinilainya menjadi salah satu faktor banyak bermunculan kampus-kampus bermasalah.

"Kopertis pembinaan kurang, baru sampai pengawasan saja. Makanya ini saya minta agar Kopertis melakukan tupoksi dengan jelas. Tapi bukan oknumnya ya, tapi dari kelembagaannya sendiri karena Kopertis memang kekurangan SDM," ujar Nasir beberapa waktu lalu.

Nasir pun berencana akan mengumpulkan Perguruan Tinggi yang teridentifikasi bermasalah, termasuk dengan pihak Kopertis. Ia juga sedang menggodok untuk mengganti lembaga tersebut mulai dari tupoksi hingga sistem kerjanya.

"Nanti akan saya kumpulkan yang bermasalah-bermasalah, baik dari Kopertisnya atau universitas-universitasnya. Kopertis akan saya ubah jadi Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi. Tupoksi akan berubah juga, modelnya akan beda. Ini sedang lagi dibahas di Menpan," ungkapnya.

Kopertis dianggap Nasir masih kurang optimal sehingga perlu disempurnakan lagi. Jika ada orang dalam kemenristekdikti dan jajaran yang terlibat terkait urusan modus pemberian ijazah palsu, Nasir berjanji akan menindak tegas.

"Kopertis problemnya SDM. Idealnya Kopertis besar itu pegawai sampai 100. Terus kedua sistemnya harus diperbaiki. Ada kopertis yang cuma satu seperti di Sulawesi. Makanya perlu pembenahan dari semua lini. Kalau soal pelanggaran ada yang ikut terlibat dalam kementerian, itu urusan disiplin. Saya akan beri hukuman sebera-beratnya," sambungnya.

Penanganan kasus kampus abal-abal pun disebut Nasir masih terus dilakukan. Perkembangan kasus kampus bodong sebelumnya juga masih terus dalam pemantauan Kemenristekdikti. Pembenahan pendidikan tinggi terus diupayakan oleh Nasir dan jajarannya. Namun menurutnya tidak semua langsung dibawa ke jalur hukum dan perlu dilakukan investigasi secara mendalam.

"Kalau terbukti melakukan pelanggaran sudah pasti kami bawa ke hukum. Tapi ada beberapa yang masih perlu pendalaman lagi. Seperti ada di Bekasi itu akan ada wisuda yang tidak lapor ke kopertis. Status non aktif tidak boleh menambah mahasiswa lagi. Di Pangkalan Data Perguruan Tinggi mahasiswa hanya 100, tapi yang wisuda bisa banyak. Dia sekali wisuda bisa 500 mahasiswa, dan dilakukan 3 kali setahun. Itu mahasiswa dari mana?" tutup Nasir. (dtc)

BACA JUGA: