JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup terus meningkat. Kondisi ini justru bertolak belakang dengan kehadiran Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 lalu tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam pasal tersebut disebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Jumlah angka kriminalisasi para pejuang lingkungan hidup itu mencapai 227 kasus di tahun 2013, dari yang sebelumnya hanya 147 kasus. Semestinya undang-undang ini sudah menjadi alat untuk mencegah berbagai macam bencana ekologi dan konflik lingkungan hidup dan sumber daya alam serta agraria.

Namun, data yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dari 28 wilayah kantor daerah, pada tahun 2013 kasus tindakan kekerasan dan kriminalisasi terkait persoalan lingkungan hidup, sumber daya alam dan agraria naik cukup signifikan menjadi satu setengah kali lipatnya.
Sedikitnya 40 kasus yang kemudian ditangani dalam proses hukum dan tersebar di 28 provinsi di Indonesia. Secara strategis, penanganan kasus tersebut diangkat sampai ketingkat nasional karena menyangkut beberapa sektor seperti kehutanan, perkebunan skala besar, pertambangan, kelautan dan pesisir serta yang berkaitan dengan isu-isu urban seperti pencemaran, tata ruang dan reklamasi.

Korporasi tambang, perkebunan skala besar dan kehutanan di tuding sebagai predator. Puncaknya munculnya persoalan yang disebabkan oleh tiga faktor yaitu penegakan hukum yang masih jauh dari harapan dan keinginan rakyat, kebijakan negara yang lebih membela kepentingan korporasi dan yang terakhir adalah tingginya biaya politik untuk dapat memenangkan tahta pemerintahan provinsi dan kab/kota sehingga menggadaikan sumber daya alam untuk mendapatkan modal politik dianggap menjadi jalan yang terbaik.

“Paling sering para pejuang lingkungan yang terdiri dari tokoh sentral masyarakat dan aktivis ini dijerat dengan pasal penghasutan, pengerusakan, perbuatan tidak menyenangkan. Tujuannya untuk menghentikan gerakan yang bisa mengancam usaha korporasi,” ungkap Edo Rakhman, Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI kepada Gresnews.com, Minggu, (31/8).

Untuk menghadapi kasus pengkriminalisasian ini, Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) beberapa waktu lalu mendorong pemerintahan yang baru untuk membentuk Komite Nasional Sengketa Agraria. Tujuannya menyelesaikan berbagai sengketa agraria, membebaskan aktivis-aktivis lingkungan dan agraria yang dikriminalkan karena kerja advokasi mereka. Serta menyusun rekomendasi distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan yang memiliki dimensi jangka panjang dan kelestarian lingkungan.

Menurut Koordinator KontraS Haris Azhar, hal ini diusulkan mengingat makin maraknya kriminalisasi pejuang lingkungan yang merampas hak-hak asasi para pejuang lingkungan.

Selain itu WALHI, juga mendorong adanya hakim-hakim yang memiliki pendidikan khusus dan sertifikasi lingkungan hidup guna mendorong penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup baik itu pidana maupun perdata. Peradilan khusus lingkungan hidup sudah menjadi kebutuhan yang penting saat ini dengan membandingkan laju peningkatan konflik lingkungan hidup di Indonesia. Pemerintahan yang baru diharapkan mampu mengarusutamakan isu-isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara konsisten, professional, partisipatif dan transparan.

BACA JUGA: