JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi XI DPR RI pertanyakan peran otoritas moneter Bank Indonesia dalam mengawal pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebab pekan-pekan terakhir posisi kurs rupiah justru anjlok  ke kisaran  Rp  11.600-11.800 per USD. Posisi nilai tukar ini dinilai terlemah setelah reformasi.  

"Ini fiskal yang paling sakit. Imbasnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 harus direvisi," kata anggota Komisi XI DPR Dolfie O.F. Palit saat melakukan uji kelaikan terhadap calon tunggal Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di DPR, Senin (9/6).

Pada kesempatan itu, Mirza yang harus melalui tahap uji kelaikan dan kepatutan untuk menduduki kembali posisinya sebagai Deputi Gubernur Senior menyusul per 12 Juli habis masa jabatannya, menjawab,  pelemahan kurs tidak hanya terkait kebijakan bank sentral. Salah satu faktor utama adalah pengetatan stimulus Bank Sentral Amerika Serikat, atau The Fed, yang semakin jelas akan dikurangi.

Kedua, kata dia, pelemahan kurs tidak otomatis berdampak pada pemburukan kinerja perekonomian nasional. "Anggapan ini harus diubah, karena negara-negara berkembang justru ingin mata uangnya melemah sehingga ekspornya itu meningkat dan mengurangi impor," ujarnya.

Faktor ketiga, Bank Indonesia tidak menganggap pelemahan rupiah beberapa pekan ini sebagai tanda fundamental ekonomi memburuk. Malah, kata dia, dengan defisit transaksi berjalan masih tinggi, pada triwulan II 2014 diperkirakan 4,4 persen dari Produk Domestik Bruto, maka penguatan rupiah akan semakin memperbesar keran impor. Alhasil, penguatan kurs secara drastis wajib dihindari.

"Kalau kita memiliki yang besar rupiah menguat pun tidak baik. Kalau kita mempertahankan kurs kuat saat defisit, yang terjadi impornya lebih besar dan ekspornya menurun dan tidak sembuh-sembuh defisitnya," kata Mirza.

Oleh karena itu, lanjut Mirza, saat ini dibutuhkan kebijakan untuk menjaga fundamental ekonomi seperti neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). BI sendiri menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ketat, terlihat dari suku bunga acuan yang dinaikkan mulai pertengahan tahun lalu dan sekarang mencapai 7,5%. "Tahun 2009-2011 itu current account surplus. Makanya rupiah bisa di sekitar Rp 9.700 per dolar AS. Kalau rupiah menguat, maka defisit tidak akan sembuh-sembuh" kata Mirza.

Selain itu, bila ingin dollar berada kisaran Rp 9.700, maka akan menguras cadangan devisa. "Kalau kita pertahankan sementara ada defisit di neraca perdagangan dan current account, maka cadangan devisa akan turun. Tahun lalu turun dari USD 120 miliar ke USD 92 miliar. Saat kita perbolehkan melemah sesuai fundamental, maka arus modal masuk dan cadangan devisa bisa mencapai USD107 miliar," jelasnya.

BACA JUGA: