WARGA Nambangan-Cumpat dan sekitarnya kaget mendengar diadakannya acara sosialisasi dari pihak PT Gora Gahana, PT Pelindo III, dan Dinas Potensi Maritim (Dispotmar) Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) V. Sosialisasi mengundang perwakilan warga. Inti sosialisasi: PT Gora Gahana berniat mengerjakan proyek pengerukan pasir di sekitar Selat Madura. Pasir itu akan digunakan sebagai material urugan untuk mereklamasi wilayah Teluk Lamong yang merupakan bagian dari rencana proyek pembangunan pelabuhan peti kemas PT Pelindo III.

Bagi ribuan Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar pesisir Selat Madura dan mayoritas berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya dari laut, proyek pengerukan pasir yang rencananya akan meliputi area seluas 540 hektare itu merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup sebagai nelayan tradisional. "Laut adalah sumber keberlangsungan hidup dan masa depan bagi para nelayan tradisional," kata Koordinator Humas Forum Masyarakat Pesisir Suramadu (FMPS) Munir, Jumat (25/5).

Merespons rencana itu, FMPS yang didukung oleh jaringan pergerakan rakyat dalam Solidaritas Darurat Nasional Jawa Timur (Walhi Jatim, IKOHI Jatim, KSN Jatim-Bali, LAMRI Surabaya, SBK Jatim, PRP Surabaya, KPPD, Kontras Surabaya, Lembaga Bhinneka, PPRM, LPBP) akan mengadakan aksi penolakan hari ini. Longmarch Kampung Nambangan-Pantai Kenjeran akan digelar untuk menentang proyek pengerukan pasir tersebut.

Menurut Munir, dampak dan kerugian dari rencana proyek pengerukan pasir itu, antara lain, berkurangnya populasi ikan dan kerang karena rusaknya ekosistem akibat penambangan/pengerukan pasir laut.

"Kedua, berkurangnya pendapatan nelayan, karena menurunnya hasil tangkapan. Ketiga, hilangnya mata pencaharian para buruh nelayan. Keempat, hilangnya areal bermain dan berenang bagi anak-anak. Kelima, berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat pesisir. Serta masih banyak lagi dampak buruk dan kerugian yang lain yang tidak mungkin bisa disebut satu-persatu," kata Munir.

FMPS berpendapat, pemerintah selaku aparatur Negara yang semestinya mentaati, menjunjung tinggi, dan menjalankan amanat Konstitusi malah berlaku sebaliknya, mereka melanggarnya dengan brutal dan terang-terangan. "Kebijakan-kebijakan yang pemerintah buat seringkali diabdikan hanya untuk kepentingan-kepentingan para investor dan demi akumulasi modal."

Dikutip dari data WALHI Jawa Timur, PT Gora Gahana beroperasi pada 1991 diawali dengan mempekerjakan beberapa warga untuk membuat bagan sebagai alat mengukur ketebalan pasir yang akan ditambang pada dua tahun sebelumnya. Warga tidak pernah dimintai persetujuan aktivitas ini. Padahal wilayah operasi perusahaan meliputi area petorosan
milik warga.

Dan untuk meminimalisir keresahan warga, perusahaan memberikan kompensasi kepada sekitar 30 nelayan petorosan. Namun, inilah yang kemudian semakin memicu kemarahan warga. Kapal perusahaan yang beraktivitas didatangi dan dihentikan aktivitasnya. Jumlah nelayan petorosan yang sejumlah 100 orang dan dengan tidak diberi penggantiansecara merata membuat kecemburuan satu dengan lainnya.

Pada tahun 2002 warga kembali mendengar adanya rencana penambangan pasir oleh perusahaan yang sama, namun tanpa sebab yang jelas rencana ini tidak terealisasi.

Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi kembali rencana penambangan. Sosialisasi yang dilakukan, hanya pada tingkat kelurahan dan tidak diteruskan kepada warga. Trauma akan dampak penambangan pada puluhan tahun sebelumnya menjadi dasar warga untuk menolak rencana ini. Namun, adanya peluang mendapatkan sejumlah kompensasi dari perusahaan menjadikan sekelompok nelayan mendukung rencana ini.

BACA JUGA: