JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya mengambil alih pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah Akhir Terpadu (TPST) Bantar Gebang dari tangan PT Gedong Tua Jaya (GTJ). Sayangnya, pengambilalihan itu justru membuat pengelolaan sampah di DKI malah semakin kusut. Antrean truk pengangkut sampah semakin memanjang karena alat berat untuk mengelola sampah milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta kurang memadai.

Akibatnya, warga sekitar Bantar Gebang melancarkan protes karena merasa terganggu akibat sampah yang tidak kunjung diolah. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama pun mengaku tidak habis pikir kenapa alat berat sampai kurang. Pria yang akrab disapa Ahok itu menduga, Dinas Kebersihan DKI Jakarta tidak berniat untuk mengelola secara swadaya TPST Bantar Gebang.

Menurut Ahok, kalau persoalannya hanya kekurangan alat berat, DKI sanggup menambah alat berat dua kali lipat dari yang dibutuhkan Pemprov DKI. "Mereka butuh 50, kita siapkan 100 juga sanggup, harganya paling 1 miliar rupiah per buah," ujar Ahok di Balai Kota, Jumat (29/7).

Menurut perhitungannya, jika membeli alat berat sebanyak 100 unit, dana yang dibutuhkan hanya sebesar Rp100 miliar. Harga tersebut diklaim jauh lebih murah dibandingkan harus membayar Rp400 miliar per tahun kepada PT GTJ untuk mengelola Bantar Gebang.

Apalagi, kata Ahok, dia sudah menyampaikan kepada dinas kebersihan akan mengambil Bantar Gebang sejak tahun 2013, sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersiap-siap sejak jauh hari. Pada tahun 2013, Ahok mengaku telah berniat untuk memberi kesempatan terlebih dahulu kepada PT GTJ untuk berbenah serta mengelola TPST Bantar Gebang secara benar.

Akan tetapi sampai tahun 2014 kinerja PT GTJ ternyata tak kunjung membaik sehingga pada tahun 2015 dia memulai untuk mengambil alih. "Eh malah kita digugat sama PT GTJ pas mau ambil alih, padahal saya udah baik hati kasih mereka kesempatan," ujar Ahok.

Merasa dirinya sudah memberitahukan rencana pengambilalihan Bantar Gebang dari tahun 2013, Ahok menilai dinas kebersihan-lah yang "ngeyel" dalam mempersiapkan diri sehingga pengelolaan TPST Bantar Gebang menjadi kacau. Padahal, kata Ahok, dia sudah beberapa kali memperingatkan dinas kebersihan untuk mempersiapkan diri.

Misalnya, untuk membeli truk sampah.  Tapi kenyataannya tidak dilakukan akibatnya anggaran pun menghilang. Tahun 2014 kejadian serupa kembali terulang, ia memerintahkan membeli sepertiga perlengkapan alat dan hasilnya sama. Sedangkan pada tahun 2015 dan 2016 dinas kebersihan malah marah-marah saat diperingatkan kembali. "Ah udahlah disini emang saya mesti sabar-sabar," ujarnya.

Akibat kacaunya pengelolaan sampah di DKI Jakarta, DPRD Jakarta pun mengkritik kinerja Pemprov DKI. Anggota DPRD DKI Prabowo Soenirman mengatakan, truk pengangkut sampah yang terhambat di Bantar Gebang telah mengganggu proses pengangkutan sampah di lima wilayah DKI.

Akibatnya penumpukan sampah pun terjadi di lima wilayah kota DKI. "Tumpukan sampah sampai terlihat di jalan-jalan, TPST Bantar Gebang malah jadi kacau," ujar Soenirman.

Memang pasca pemutusan kerjasama dengan Pemprov DKI, PT GTJ selaku pengelola sebelumnya telah menarik 56 alat berat yang dimilikinya. Dinas kebersihan pun merasa keteteran mengelola sampah buangan warga DKI yang otomatis hal tersebut membuat truk pembuang sampah tertahan yang berakibat pada penumpukan sampah di sekitaran wilayah Bantar Gebang.

Masalah pun bertambah saat para supir pengangkut sampah akhirnya nekat membuang muatan sampah yang diangkutnya di pinggir jalan karena sampah yang dibawanya tak kunjung diproses akibat tidak adanya alat berat. Para supir yang merasa bahwa jam kerjanya sudah selesai akhirnya membuang sampah yang dibawanya di pinggir jalan zona 1 TPST Bantar Gebang.

Prabowo meminta agar Dinas Kebersihan DKI memperhatikan seluruh aspek untuk mengelola TPST Bantar Gebang sehingga permasalahan terlantarnya sampah yang menunggu untuk diolah tidak kembali terjadi. "Pekerja Harian Lepas (PHL) yang melonjak sampai 50 persen pun harus diperhatikan," ungkapnya

Dinas Kebersihan DKI rencananya akan mengerjakan 400 orang PHL yang dahulunya adalah pekerja PT GTJ akan tetapi saat ini jumlah pendaftar mencapai 600 orang lebih. Jumlah PHL meningkat karena iming-iming gaji UMR Jakarta yang mencapai Rp3,1 juta per bulan dan juga mendapatkan BPJS, sedangkan rata-rata pemasukan mereka sebelumnya hanyalah sebesar Rp1,5 juta per bulan.

DANA KOMPENSASI - Sebelumnya, terkait pemutusan kontrak ini, Pemprov DKI memang berjanji akan menambah jumlah dana kompensasi warga sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan memberikan BPJS Kesehatan pada pemulung. "Penambahan besaran dana kompensasi bagi masyarakat terdampak kurang lebih Rp300.000 per tiga bulan menjadi Rp500.000 per tiga bulan," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji dalam siaran pers, Rabu (20/7).

Jumlah kepala keluarga sekitar TPST yang menerima dana kompensasi juga ditambah dari 15 ribu kepala keluarga (KK) menjadi 18 ribu KK. Selain itu, pekerja yang sudah bekerja di TPST Bantargebang akan direkrut menjadi Pegawai Harian Lepas (PHL) Dinkes DKI. Pemulungnya pun akan diberi BPJS Kesehatan.

"Pemberian BPJS bagi pemulung sekitar 6.000 orang dan pengalihan pekerja eksisting TPST Bantargebang menjadi PHL Dinas Kebersihan DKI Jakarta dengan standar Gaji Provinsi DKI Jakarta, gaji ke-13 dan BPJS," sambungnya.

Keputusan Pemprov DKI Jakarta mengelola TPST Bantar Gebang secara mandiri memang sempat membuat pengelolaan Bantar Gebang makin rumit. Akibat kekurangan alat berat yang berujung pada antrean truk sampah, warga pun keberatan dan mengadang truk-truk sampah DKI pada Rabu (22/6) kemarin.

Karena itulah, Dinas Kebersihan DKI menjanjikan kompensasi bagi warga sekitar Bantar Gebang. Selain soal dana kompensasi, setiap kepala keluarga juga dijanjikan akan dapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp200 ribu per tiga bulan. Kemudian ada juga bantuan sosial sebesar Rp200 ribu, dan bantuan pembangunan fisik sebesar Rp100 ribu.

Sementara itu, Pemprov DKI akan memberi waktu 60 hari untuk PT Godang Tua Jaya dan PT NOEI untuk mengosongkan TPST dan menyerahkan aset pada Pemprov DKI. Selain aset-aset yang dipersyaratkan harus terbangun dan/atau disediakan sesuai kontrak, pihak PT GTJ jo PT NOEI diberikan waktu untuk mengosongkan dan memindahkan peralatan dan perlengkapan kerja miliknya dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal pengakhiran kerjasama.

Kontrak kerja sama ini berakhir karena kedua perusahaan tidak bisa memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan. Surat Peringatan pertama sudah dilayangkan Pemprov DKI pada September 2015 lalu dan pada 21 Juni Surat Peringatan ketiga dikeluarkan. Masa tenggat 15 hari setelah SP3 dikeluarkan pun jatuh pada 19 Juli kemarin.

Ada tiga poin soal wanprestasi PT Godang Tua Jaya dari kacamata Pemprov DKI Jakarta. Pertama, perusahaan itu dinilai tidak memenuhi kewajibannya dalam mencapai Financial Closing sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Surat Perjanjian Kontrak tentang Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengelolaan dan TPST Bantar Gebang sesuai perjanjian 5 Desember 2008

Kedua, perusahaan itu tidak memenuhi keseluruhan kewajiban untuk menyerahkan laporan atas rekening khusus sebagaimana diwajibkan dalam perjanjian 5 Desember 2008.

Ketiga, perusahaan dinyatakan tak melaksanakan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana baru sebagaimana diwajibkan dalam perjanjian. Ada Surat Perjanjian/Kontrak antara Pemprov DKI dengan PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) tertanggal 1 Juni 2009 tentang Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengelolaan dan Pengoperasian TPST Bantargebang.

Dalam hasil audit yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap pengelolaan Bantar Gebang, auditor independen Price Waterhouse Cooper yang ditunjuk pihak pemprov mengungkapkan, Godang Tua Jaya tidak melakukan investasi sampai dengan Rp700 miliar. Perusahaan itu dinyatakan tak membangun sarana GALFAD (gasifikasi, landfill, anaerobic digester), khususnya gasifikasi sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian 5 Desember 2008.

Audit independen ini sendiri dilakukan untuk melengkapi audit BPK RI yang menegaskan hasil yang sama. (dtc)

BACA JUGA: