JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengakuan dwi kewarganegaraan (dual citizenship) terhadap jaringan WNI di luar negeri (diaspora) masih belum menemui titik terang. Dalam syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2006 mengatur bahwa seorang anak keturunan Indonesia yang lahir di luar negeri harus memilih salah satu kewarganegaraan saat dia berusia 18 tahun.

Dalam konteks ini, kewarganegaraan ganda yang diakui Indonesia bersifat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi anak di bawah 18 tahun. Batas waktu penentuan status hak kewarganegaraan (18 tahun) dalam aturan tersebut ditentang kalangan diaspora dan memunculkan adanya desakan agar segera direvisi.

Isu tersebut kembali mengemuka saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Amerika Serikat. Seorang ibu yang tinggal di Philadelpia bercerita soal anaknya yang berkewarganegaraan AS karena dirinya menikah dengan warga AS. Dia khawatir bahwa anaknya tidak bisa berkunjung ke Indonesia. Selain itu dia berharap pemerintah mendorong revisi UU Kewarganegaraan untuk mengatur soal kewarganegaraan ganda.

"Kalau saya akan dorong itu agar segera diselesaikan," ujar Presiden Joko Widodo dalam dialog WNI di AS dengan Presiden Jokowi di Wisma Tilden di KBRI di Washington, Minggu (25/10). Hadir dalam acara ini sekitar 1.250 WNI.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir menyebut, sesuai jadwal, presiden rencananya akan berada di negara Paman Sam tersebut selama beberapa hari dari 25-28 Oktober perihal agenda bertemu Presiden Barack Obama.

"Kunjungan ini meningkatkan hubungan bilateral di bidang politik dan ekonomi," kata pria yang akrab di sapa Tata itu.

Namun, ada hal lain yang turut dibahas di luar agenda tersebut. Disela-sela kunjungan pertamanya itu, presiden kembali menggaungkan komitmen mendorong lahirnya Undang-Undang dwi kewarganegaraan untuk kalangan diaspora Indonesia di luar negeri.

Walaupun sudah ada pernyataan terbuka, tampaknya masih banyak proses yang mesti dilalui pemerintah sebelum diundangkan.

Staf Ahli bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Kementerian Luar Negeri Wahid Supriyadi menilai, pembahasan UU kewarganegaraan ganda diaspora masih melewati proses panjang. Meski sudah berhasil masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional di DPR, Ia menyebut ada serangkaian prosedur yang masih menahan terbitnya aturan tersebut.

"Diaspora mengharapkan adanya aturan Dwi kewarganegaraan. Tetapi aturannya masih diproses dan diuji secara akademis oleh pemerintah. Sejumlah pembahasan dan Focus Group Disscusion telah dilaksanakan dengan berbagai stakeholder dari imigrasi, pemerintah, Kemlu dan DPR," kata Wahid kepada gresnews.com, Senin (26/10).

Menurut Wahid, diaspora atau tenaga terampil yang terdiri dari kaum intelektual akademisi, pebisnis, maupun pengusaha patut diperhatikan dan difasilitasi dari sisi pengakuan status oleh negara.

Terkait dukungan terhadap diaspora, Ia menjelaskan, selama ini, Kementerian Luar Negeri telah mengambil bagian dalam proses penyusunan aturan kewarganegaraan bagi para diaspora di luar negeri. Sebab, alasan mendasarnya, jaringan diaspora (diaspora network) dinilai dapat memberi kontribusi positif sebagai katalisator pembangunan dan memberikan sumbangsih bagi kemajuan sebuah negara.

Seperti keterangan yang dihimpun gresnews.com, hingga kini jumlah diaspora Indonesia yang tersebar diseluruh negara sekitar 7 juta jiwa. Sebagian atau 4,6 juta dari total diaspora dapat mendatangkan remitansi per tahun mencapai 8 miliar dollar atau setara Rp 109 triliun.

TANTANGAN PARA DIASPORA - Segala tantangan yang berhubungan dengan regulasi selama ini menjadi faktor yang cukup menyulitkan para diaspora yang hendak kembali atau berkunjung ke Indonesia.

Wahid menuturkan, dengan aturan pembatasan waktu penentuan status warga negara pada usia 18 tahun sebagaimana diundangkan, telah mendatangkan kendala.

"Ketika ingin berkunjung ke dalam negeri, mereka harus apply visa dan memenuhi syarat penerbitan Kartu Izin Tinggal Terbatas. Ini sama saja mereka diposisikan sebagai orang asing," tuturnya.

Masalah lain yang lahir akibat belum adanya aturan dwi kewarganegaraan, kata Wahid, antara lain para diaspora tidak mendapat kebebasan melakukan bisnis dan investasi di dalam negeri karena terhitung sebagai warga asing. Dimana, para diaspora selama ini hanya diberikan durasi izin tinggal terbatas yaitu dua tahun

"Perlu diperhatikan, karena kebanyakan negara di dunia, memberikan dwi kewarganegaraan karena alasan ekonomi," lanjutnya.

Seiring terwujudnya aturan, Wahid menyakini nantinya para diaspora dari luar negeri dapat membantu pengembangan ekonomi nasional tanpa ada hambatan izin dan regulasi bisnis. Selain itu, aliran investasi dari diaspora dan remitansi yang masuk dapat terus meningkat.

Adapun beberapa sisi manfaat ketika negara menjamin pengakuan dwi kewarganegaraan. Ia menambahkan, status diaspora sama seperti warga negara Indonesia lainnya yaitu memiliki Kartu Tanda Penduduk dan terlebih dalam hal pembebasan kunjungan ke dalam maupun luar negeri.

KONSEKUENSI DIBALIK DWI KEWARGANEGARAAN - Dari sisi positifnya, pengakuan kewarganegaraan ganda dapat mendatangkan banyak manfaat terutama pembangunan ekonomi melalui aliran remitansi dari luar negeri.

Guru Besar Hukum Internasional Univeritas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, dibalik itu, ada pula tantangan yang bakal dihadapi negara. "Pengakuan sah-sah saja diberikan, namun pertanyaannya apakah pemerintah sudah siap dengan segala konsekuensinya atau belum," sebut Hikmahanto kepada gresnews.com, Senin (26/10).

Menurutnya, konteks pemberlakuan dwi kewarganegaraan jangan dilihat dalam ruang sempit atau khusus pada tataran fasilitas bagi WNI luar negeri saja. Namun, lebih dari itu dampak lainnya adalah para warga asing yang ada di dalam negeri pun bisa saja mengajukan kondisi atau permintaan yang sama.

Dalam konteks ini, Hikmahanto menilai jangan sampai pengajuan status secara terbuka malah justru memuat motif kepentingan tertentu. "Meminta dwi kewarganegaraan terhadap tujuan tertentu misalnya penghindaran pajak dan perkembangan kejahatan lainnya," kata dia.

Sementara, dalam konteks lainnya, tantangan pemberlakuan status kewarganegaraan pun dianggap berpengaruh terhadap nilai nasionalisme.

Terkait nasionalisme, Hikmahanto mencontohkan, negara semisal Singapura yang mewajibkan warganya wajib masuk program militer. Sementara, diaspora Indonesia yang telah lama tinggal dan ada di negara tersebut berpeluang dilibatkan dalam program wajib militer.

"Mereka memiliki status juga sebagai WNI. Hal itu justru menguji loyalitas dan nasionalisme para diaspora ketika benar-benar aturan dua citizenship berlaku," jelasnya.

Terkait pemberlakuannya, Ia menilai, aturan pengakuan kewarganegaraa bagi kaum diaspora bukan merupakan sesuatu faktor yang mendesak atau urgen untuk dilakukan.

Ia menilai, sebenarnya tidak masalah WNI menyandang status sebagai diaspora, pasalnya kontribusi lewat remitansi dari luar negeri masih tetap bisa dilakukan. Terkait itu, kata dia, warga Cina diluar negeri dapat dijadikan model penerapan diaspora dengan tetap memberikan kontribusi walau berstatus asing dan tinggal di luar negeri.

"Kalau sudah ada pernyataan dari presiden silahkan saja namun harus diperhatikan konsekuensinya. Mengenai status kewarganegaraan, ini tidak terlalu menjadi sesuatu yang mendesak," ucapnya.

BACA JUGA: