JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fenomena diaspora atau penyebaran penduduk Indonesia di dunia ternyata memiliki nilai ekonomi  yang tidak kecil. Nilai remitansi atau mengalirnya devisa ke dalam negeri dari keberadaan diaspora 4,6 juta WNI di luar negeri ini diperkirakan mencapai US$8 miliar atau setara Rp 109 triliun per tahun.

Jika dikelola, nilai tersebut akan memberikan sumbangsih bagi negara. Hanya saja potensi tersebut belum bisa dikelola dengan baik. Salah satunya karena permasalahan aturan tentang kewarganegaraan ganda (dual citizenship) yang masih menghambat.  

Padahal diaspora merupakan fenomena nyata dari pengaruh globalisasi. Dewasa ini, dunia semakin terintegrasi sehingga intensitas pergerakan manusia antarnegara (migrasi) kian meningkat. Tak terkecuali migrasi kaum intelektual yang terdiri dari akademisi, pebisnis, maupun pengusaha.

Jaringan diaspora (diaspora network) kaum intelektual dinilai positif sebagai katalisator pembangunan dan memberikan sumbangsih bagi kemajuan sebuah negara.

Staf ahli bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Kementerian Luar Negeri Wahid Supriyadi mengatakan, ada sejumlah negara yang sudah mampu memanfaatkan potensi diaspora itu bagi pembangunan domestik. Kontribusi dari jaringan diaspora, kata Wahid, pada umumnya melalui skema insentif berupa pengiriman devisa dari luar ke dalam negeri (remitansi).

Ia menyebut, terdapat dua negara yang sangat intensif membina jaringan diaspora adalah Cina dan India. Sejauh ini hampir 20 tahun, jumlah warga negara Cina yang tersebar di seluruh dunia mencapai 80 juta jiwa.

"Selama 20 tahun, Cina memperoleh remitansi yang mencapai 275 miliar dollar," kata Wahid ditemui gresnews.com, Rabu (5/8).

Selain Cina, India dikabarkan menempati posisi kedua dengan jumlah diaspora sebesar 60 juta jiwa. Sementara, negara baru di Asia Tenggara yang mulai mempraktikkan model kebijakan serupa yaitu Vietnam.

Indonesia, menurut Wahid, juga cukup potensial mengambil keuntungan di balik jaringan diaspora. Sebab, jumlah WNI yang berkiprah di berbagai bidang profesi di luar negeri cukup besar.

STATUS WARGA DIASPORA - Hanya saja kendala yang kini dihadapi para warga Indonesia adalah terkait  status kependudukan. Wacana ini terus mengemuka seiring belum direvisinya sejumlah poin penting dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Dalam syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2006 mengatur bahwa seorang anak keturunan Indonesia yang lahir di luar negeri harus memilih salah satu kewarganegaraan saat dia berusia 18 tahun. Dalam konteks ini, kewarganegaraan ganda yang diakui Indonesia bersifat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi anak di bawah 18 tahun.

Minimnya batas waktu penentuan hak kewarganegaraan (18 tahun) ini mendorong pemerintah perlu mencari cara merevisi aturan tersebut. Sebab, aturan penentuan batas waktu 18 tahun belakangan ini terus memicu penolakan dari sejumlah pihak, terutama para diaspora Indonesia yang berada di luar negeri.

Polemik kewarganegaraan ganda (dual citizenship) kini terus menjadi agenda utama yang didesak oleh kalangan diaspora Indonesia yang berada di luar negeri.

Sebagai perwakilan pemerintah di bawah kordinasi Kemlu, Wahid mengatakan kini sudah ada iktikad baik negara dalam memfasilitasi kemudahan para diaspora seiring dimasukannya UU Kewarganegaraan dalam Program Legislasi Nasional di DPR. Pemerintah juga dikabarkan akan memberikan kemudahan melalui Staf Khusus Budaya dan Masyarakat dalam memfasilitasi sinergi antar diaspora dan pemerintah.

REVISI ATURAN KEWARGANEGARAAN - Dwi Kewarganegaraan (dual citizenship) memang menjadi perhatian serius warga Indonesia di luar negeri terutama Indonesia Diaspora Network (IDN).

Dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-III bertajuk Diaspora Bakti Bangsa yang rencananya digelar di Jakarta pada 12-14 Agustus 2015, IDN dikabarkan akan mengangkat isu kewarganegaraan.

Presiden Indonesia Diaspora Network Mohamad Al-Arief mengatakan, dasar aturan kewarganegaraan menjadi topik yang perlu dibahas secara tuntas. Alasannya, banyak pendapat dari kalangan diaspora yang ingin menghapus batas waktu penentuan hak warga negara khusus bagi WNI di luar negeri.

Dalam aturan yang dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, Arief mengaku kurang sepakat soal konsep dwi kewarganegaraan terbatas yang menyebutkan batas penentuan hak warga negara berumur 18 tahun.

"Kita harapkan dwi kewarganegaraan tidak diberi batas usia. Kami ingin keturunan dari para diaspora menjadi aset bangsa ke depan," kata Arief melalui sambungan Skype dengan pihak Kemlu, Rabu (5/8).

Menurutnya, usulan ini sebagai upaya guna mempertahankan nasionalisme warga negara Indonesia. Ia mencontohkan, pemerintah India menjadi studi kasus yang dapat dicontoh Indonesia dalam memfasilitasi warga negaranya yang berada di luar negeri. Bahkan, pemerintah India, kata Arief, memberikan fasilitas dual citizenship kepada para diaspora dan mengintegrasikan sinergi warganya melalui pembentukan Ministry of Overseas Affairs.

Namun, saat ini Arief mengaku lega karena pembahasan aturan kewarganegaraan telah masuk dalam Prolegnas mendatang. "Ini bisa jadi advokasi dan mewakili aspirasi para diaspora," singkatnya.

Lebih lanjut, Arief mengungkapkan, hingga kini jumlah diaspora Indonesia yang tersebar diseluruh negara mencapai 7 juta jiwa. Ia mengaku optimis, kehadiran kaum-kaum intelektual tersebut dapat menjadi aset negara dalam menghadirkan sumbangsih dan dedikasi bagi pembangunan.

KONTRIBUSI DIASPORA - Hamdan Hamedan dari International Relations dan Security Specialist Northern California yang juga merupakan kalangan WNI diaspora mengatakan, apabila jaringan diaspora dipelihara dengan baik, maka akan membawa remitansi cukup signifikan.

Hamdan menyebut, remitansi per tahun dari setiap 4,6 juta WNI mencapai 8 miliar dollar atau setara Rp 109 triliun.

"Ini menurut data World Bank dan Bank Indonesia. Remitansinya sangat tinggi," kata Hamdan di gedung Palapa Kemlu, Jakarta, Rabu (5/8).

Selain memberikan manfaat ekonomi, diaspora network, kata Hamdan, dapat mengurangi dampak brain drain atau fenomena mengalirnya sumber daya manusia profesional ke luar negeri dan tidak kembali ke negara asal.

"Perlu strategi meng-counter fenomena brain drain," singkatnya.

Hamdan mengharapkan, salah satu cara melawan brain drain adalah dengan menyediakan fasilitas dual citizenship bagi WNI di luar negeri. Hal ini, katanya, dapat berguna mengembalikan pekerja ahli (skilled labor) Indonesia ke dalam negeri.

BACA JUGA: