JAKARTA, GRESNEWS.COM - Status dwi kewarganegaraan terus menjadi isu menarik yang dibahas dalam Kongres Diaspora Indonesia atau orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak diaspora di luar negeri, menurut data Kementerian Luar Negeri terdapat 8 juta jiwa.

Kebanyakan mereka ada juga yang lahir dan besar di luar negeri karena mengikuti orang tuanya baik karena tugas atau karena melakukan perkawinan campuran. Mereka ini kebanyakan memiliki problem terkait kewarganegaraan ganda.

Sejauh ini pemerintah sendiri belum mengakui adanya status kewarganegaraan ganda dari para diaspora itu. Bahkan, ditengah usulan pemberlakuan status dwi kewarganegaraan oleh kalangan diaspora, pemerintah tampak belum menjadikannya sebagai agenda prioritas walaupun diisukan sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, sempat mengomentari proses pemberlakuan dwi kewarganegaraan. Menurutnya, aturan mengenai status dual citizenship (kewarganegaraan ganda) yang selama ini diinginkan kalangan diaspora, masih perlu melalui tahapan pembahasan sehingga belum dikategorikan masuk sebagai agenda utama pemerintah.

"Soal kewarganegaraan ini belum jadi prioritas. Perlu pembahasan dan tahapan lebih lanjut," kata Yasonna, Rabu (12/8).

Pada Kongres Diaspora III yang diselenggarakan Indonesia Diaspora Network (IDN) tersebut, Yasonna mengatakan, perlu ada tahapan realisasi aturan Undang-Undang terkait status pependudukan para diaspora, misalnya melalui perpanjangan masa transisi pemberian izin tinggal selama lima tahun. Perlu diketahui, selama ini fasilitas izin tinggal yang diberikan pemerintah terlampau pendek yaitu hanya satu tahun.

Chairman Dewan Diaspora Indonesia Dino Patti Djalal justru malah mendesak penyelesaian status diaspora segera diselesaikan dan perlu disediakan payung hukum karena dianggap sebagai potensi dan aset bagi pembangunan bangsa. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu menilai, tidak perlu ada kekhawatiran dan pertentangan menyangkut hal substansi di level aturan.

"Tidak ada masalah terkait aturan dwi kewarganegaraan ini," kata Dino kepada para wartawan, di Jakarta, Rabu (12/8).

Menurutnya, pemerintah perlu secepatnya mengkaji dan membahas hal ini agar dapat diterapkan menjadi aturan. Dengan harapan, para diaspora dapat leluasa berkontribusi dan memberdayakan kaum profesional Indonesia di luar negeri. "Saat ini, isu diaspora perlu disikapi dengan pikiran terbuka," katanya.

MASALAH PENDATAAN DIASPORA - Pemerintah dikabarkan dalam waktu dekat akan memberikan fasilitas izin tinggal dan kartu diaspora bagi warga Indonesia di luar negeri. Namun, sebelumnya, pemerintah masih menghadapi sejumlah kendala mengkonversi status para diaspora tersebut.

Staf Ahli bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Kementerian Luar Negeri Wahid Supriyadi mengatakan, masalah pendataan cukup sulit disebabkan banyaknya warga negara Indonesia yang telah lama menetap di luar negeri.

Wahid mengaku hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Misalnya, khusus bagi WNI di Madagaskar, Wahid menjelaskan, sulit menentukan apakah pemberian fasilitas tersebut akan diberikan kepada seluruhnya atau tidak.

Sebab, di Madagaskar, kata Wahid, banyak orang penduduknya yang masih mengaku memiliki keturunan Indonesia. Padahal, mereka sudah ada disana dari abad keenam silam. Dari penelitian linguistik dan DNA, lanjut Wahid, 60 persen penduduk Madagaskar memang merupakan keturunan Indonesia.

"Ini masih jadi masalah pelik menentukan sampai generasi ke berapa status diaspora diberikan?" kata Wahid saat ditemui gresnews.com, di kantor Kementerian Luar Negeri, di Jakarta, Kamis (13/8).

Wahid menerangkan, saat ini diprediksi ada 8 juta diaspora yang tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, Wahid menyebutkan, 4,7 juta jiwa diantaranya berhasil dicatat perwakilan pemerintah di negara masing-masing.

Namun, Wahid menuturkan, persoalan saat ini yaitu sisa di luar 4,7 juta dari total 8 juta penduduk WNI sebagian sudah melepas status kewarganegaraannya. "Kita belum tahu apakah itu semua legal. Bahkan ada kabar, sebagian ilegal. Pemerintah tidak tahu karena mereka tidak tercatat di database perwakilan pemerintah di luar negeri," ucapnya.

Wahid menyebut, sebaran penduduk Indonesia sebesar 8 juta jiwa tersebut meliputi Amerika Serikat, Eropa, Singapura, Australia dan Timur Tengah. Jumlah diaspora tersebut sudah termasuk para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang juga bekerja diluar negeri.

POTENSI EKONOMI DIASPORA - Wahid menambahkan, tidak adanya aturan formal soal diaspora cukup merugikan Indonesia. Sebab, menurutnya, banyak potensi strategis yang dapat diberdayakan dari para diaspora ini.

"Kemarin ada WNI yang memiliki 90 patent rights atau Hak atas Kekayaan Intelektual. Itu kan sayang sekali karena dia belum terdata sehingga itu jadi milik asing," ujarnya.

Belum adanya aturan yang melindungi aset diaspora, tambah Wahid, telah menyebabkan terjadinya banyak klaim perusahan bisnis atas aliran dana dari para diaspora oleh negara dimana mereka tinggal. Misalnya, TKI formal yang memiliki bisnis, banyak dananya yang justru masuk ke negara-negara Timur Tengah.

Menurutnya, hal itu seharusnya tidak terjadi karena seharusnya pendapatan tersebut terhitung masuk sebagai investasi atau remitansi (transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya) Indonesia.

"Artinya, apabila berhasil menjaring remitansi dan investasi dari diaspora, banyak pendapatan yang dapat diterima negara," kata Wahid.

Hamdan Hamedan dari International Relations dan Security Specialist Northern California yang juga merupakan kalangan WNI diaspora mengatakan, apabila jaringan diaspora dipelihara dengan baik, maka akan membawa remitansi cukup signifikan.

Hamdan menyebut, remitansi per tahun dari setiap 4,6 juta WNI di luar negeri mencapai US$8 miliar atau setara Rp109 triliun. "Ini menurut data World Bank dan Bank Indonesia. Remitansinya sangat tinggi," kata Hamdan kepada gresnews.com, Jakarta, Rabu (5/8).

Sayangnya, meski menyadari potensi kaum diaspora bagi perekonomian nasional, pemerintah justru terlihat masih ragu untuk memberikan kepastian hukum kepada mereka. Soal penyelesaian status diaspora, Wahid enggan membeberkan secara gamblang.

Menurutnya, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri hanya bisa menghormati proses hukum soal persoalan revisi aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. "Namanya revisi Undang-Undang belum diketahui kapan waktunya diterbitkan. Bisa cepat atau sebaliknya," ujarnya.

Namun, Wahid tampak optimis dengan proses yang sedang berjalan saat ini. Apalagi sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional di legislatif," kata dia.

Masuknya masalah dwi kewarganegaraan dalam pembahasan legislatif, kata Wahid, perlu disambut positif sebab akan dibahas skema penerapan, model aturan, hingga realisasi soal status kewarganegaraan warga Indonesia khususnya di luar negeri. Namun, Wahid menggarisbawahi, perlindungan terhadap diaspora terus gencar diinisiasi pemerintah.

BACA JUGA: