JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaaan Ujian Nasional (UN) akan dimulai.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan UN 2015 bukan lagi penentu kelulusan siswa. Kendati demikian, UN 2015, baik manual maupun berbasis komputer, yang digelar 13-15 April 2015, tetaplah penting.

Momen ini, menurut sosiolog Musni umar, tetap harus disikapi secara serius, bersungguh-sungguh, jujur, tanpa beban was-was dan ketakutan berlebihan dari siswa. Sebab, UN tetap penting bagi penentu "ranking pendidikan" atau sebagai dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya atau langsung masuk ke dunia kerja.

Apalagi tahun ini akan berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Persaingan bukan lagi sesama anak bangsa melainkan sudah mencakup antarnegara dengan tingkat kualitas pendidikan dan keahlian yang lebih tinggi. Siswa dituntut untuk memiliki ilmu, prestasi dan keahlian agar bisa bersaing dengan orang lain.

Sadar akan hal itu, lanjut Musni, para siswa cenderung masih memiliki ketakutan dan rasa waswas menghadapi UN. Padahal, kata dia, ujian adalah hal yang sangat lumrah bagi setiap manusia karena pasti mengalaminya, baik ujian kenaikan pangkat, ujian kehidupan hingga  ujian nasional apapun model jenisnya.

"Rasa waswas dan ketakutan itu sangat dipengaruhi kesiapan siswa, yang tidak lepas dari dukungan orang tua dan keluarganya," kata Musni kepada Gresnews.com, Minggu (12/4).

Karena itu, Musni mendorong siswa agar momen UN tidak dianggap sebagai peristiwa menyeramkan ibarat penentu hidup dan mati bagi siswa kelas akhir di jenjang sekolah menengah. Ia juga mendorong para siswa agar tetap bersikap tenang menghadapi UN. Hal ini, menurut Musni, bisa dilewati siswa apabila mereka mengikuti ujian atas dasar keinginan mendapatkan ilmu, bukan sekadar mendapat ijazah. Sementara ujian hanya sebagai pendorong agar siswa belajar lebih giat dan bersungguh-sungguh.

"Kalau tidak ada ujian maka tidak ada dorongan untuk belajar," tegasnya. Meski demikian, kata Musni, peran orang tua, keluarga dan orang sekitar siswa sangat berpengaruh terhadap kesiapan mental siswa menghadapi UN. Orang-orang sekitar siswa harus memberi dukungan, semangat, motivasi untuk berprestasi di dalam UN.
"Bisa jadi siswa keliru memberi jawaban bukan karena ketidaktahuannya tapi minimnya kesiapan mental saat menghadapi ujian," tegasnya.

Menyikapi kesiapan UN tersebut, Nita Kamelinda, siswi SMK PGRI 109, Tangerang, mengaku siap secara mental. Hanya saja ada kekhawatiran soal teknis, misalnya proses melingkari jawaban di kertas jawaban. "Walaupun bukan penentu kelulusan tetap saja ada kekhawatiran salah saat melingkari jawaban," kata Nita kepada Gresnews.com, Minggu (12/4).

Berbeda dengan Sena Dipayana, siswa SMA Negeri 2 Majalengka, Jawa Barat, yang mengaku siap menghadapi ujian baik secara materi maupun teknis. Sebab secara materi ia telah belajar dan sekolahnya memfasilitasi try out. Termasuk uji coba melingkari jawaban menggunakan pensil.

"Dari uji coba, hampir tidak ada kesalahan yang ditemukan guru, jadi kami siap mengikuti ujian besok," kata Sena kepada Gresnews.com, Minggu (12/4). Meski bukan penentu kelulusan, lanjutnya, UN tetap harus diseriusi karena akan menentukan bisa tidaknya diterima di perguruan tinggi.

Baik Nita maupun Sena mengaku sekolahnya masih mengikuti ujian manual, bukan berbasis komputer.

Seperti diketahui, Kemendikbud telah mengubah aturan penyelenggaraan UN. Mulai penyelenggaraan UN 2015 ini, nilai UN tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan untuk semua jenjang pendidikan. Berbeda dengan 2014 lalu, hasil UN digunakan sebagai dasar bagi empat hal, yakni pemetaan mutu program atau satuan pendidikan; sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; serta sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Sedangkan berdasarkan Prosedur Operasional Standar (POS) UN 2015, peruntukan yang ketiga, yakni sebagai penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dihapus. Sementara kelulusan peserta didik dari satuan atau program pendidikan ditetapkan oleh satuan/program pendidikan yang bersangkutan, kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang UN 2015 yang menyatakan, masing-masing sekolah yang memutuskan siswa tersebut lulus atau tidak.

Meski sekolah memiliki wewenang meluluskan atau tidak meluluskan siswanya, setiap siswa tetap wajib mengikuti UN minimal satu kali. Artinya, siswa yang sama sekali tidak ikut UN dipastikan tidak akan lulus.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan pelaksanaan UN 2015 yang bukan penentu kelulusan tetap harus diwarnai kejujuran. Sebab Kemendikbud akan menilai integritas setiap sekolah. Menurut Anies, integritas sekolah akan dilaporkan ke perguruan tinggi.

"Jika indeks integritasnya tinggi maka anak akan diuntungkan ketika mendaftar perguruan tinggi, sebaliknya kalau indeks integritasnya rendah anak akan dirugikan," kata Anies beberapa waktu lalu.

Angka integritas, lanjut Anies, akan diketahui bersamaan dengan hasil UN. Karena itu, Anies menegaskan agar para siswa mengandalkan kemampuannya sendiri dan tidak perlu menggunakan bocoran karena itu justru akan merugikan bagi sekolah.


BACA JUGA: