JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana moratorium atau penghentian Ujian Nasional (UN) yang sempat diusulkan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy urung dilaksanakan. Diketahui, Presiden Jokowi menolak usulan Moratorium UN itu selepas rapat kabinet pada Rabu malam. Padahal, hampir seluruh anggota Komisi X DPR telah menyetujui rencana moratorium tersebut.  Muhadjir sendiri dituding tidak memiliki koordinasi yang baik dengan pemerintah.

Tudingan itu dilontarkan anggota Komisi X  Lathifah Shohib. Lathifah  mengungkapkan hampir seluruh anggota komisinya menyetujui wacana Moratorium UN tersebut. Sebab, UN sendiri sudah tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa penilaian pendidikan,  bukan hanya ditentukan oleh ujian negara. Para guru yang dianggap paling berhak menentukan kelulusan serta memberikan nilai kepada anak didiknya.

Terkait penolakan dari pemerintah itu, ia menyayangkan hal tersebut. Tetapi, permintaan pemerintah untuk Moratorium UN dikaji lebih mendalam terlebih dahulu merupakan sebuah tindakan yang benar. Karena menurutnya, Moratorium UN tidak bisa dilakukan secara mendadak. "Mangkanya menteri harus dapat memberikan alasan atas gagasan moratorium itu," ujar Lathifah Shohib di gedung DPR, Kamis, (8/12).

Latifah menilai, Menteri Muhadjir Effendy tidak mampu memberikan alasan yang meyakinkan presiden. Padahal, persiapan di lapangan sudah hampir 100 persen. Walau merasa kecewa karena pemerintah menolak moratorium UN, ia berharap tahun depan pemerintah dapat menyetujui atau bisa berubah pikiran dan menerima gagasan tersebut.

"Kita tunggu saja, mungkin tidak tahun ini, tapi bisa saja pemerintah setuju tahun depan," ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fikri Faqih bahkan bersuara lebih keras. ia menilai pemerintah tidak kompak dalam penentuan kebijakan terkait Moratorium UN, membuat keributan serta membingungkan apalagi dalam pelaksanaan birokrasi baik di daerah maupun bagi masyarakat.

"Padahal wacana tersebut diajukan pemerintah, malah dianulir pemerintah sendiri," ujar Fikri Faqih di gedung DPR, Kamis, (8/12).

Lebih lanjut ia menilai, cara Muhadjir merumuskan kebijakan baru sangat tidak baik. Menteri Pendidikan lebih dahulu menggiring wacana ke publik baru kemudian dibahas di internal kabinet maupun bersama dengan DPR. Hal tersebut malah menunjukkan pemerintah seolah tidak konsisten dengan alasan yang dirumuskannya sendiri.

Keputusan yang tidak sesuai dengan proposal pemerintah sendiri menurutnya akan rawan memunculkan kecurigaan adanya kepentingan tertentu. Sebab, UN sendiri memiliki anggaran di APBN yang mencapai 500 miliar. Apabila dimoratorium, maka akan banyak konsekuensi pengalihan anggaran dan hal tersebut yang harus dipikirkan secara matang.

Diketahui, pada Raker 1 Desember bersama dengan DPR, Mendikbud Muhadjir telah  menyampaikan delapan alasan perlunya UN dimoratorium. Di antaranya Moratorium UN sesuai dengan Visi Nawa Cita Presiden Jokowi (Pasal 8), Moratorium UN sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2596/2009 tentang Pemerataan Kualitas Pendidikan, menghindari kecurangan laten dari UN, ketidakmampuan UN dalam meningkatkan mutu pendidikan, dan sebagainya.

Ia menambahkan, setelah melempar wacana ke publik, Mendikbud sempat melakukan komunikasi dengan Komisi X. Karena wacana lebih dahulu di lemparkan ke publik maka terus ramai dibicarakan masyarakat dan mendapat berbagai macam tanggapan dari berbagai kalangan. Maka Komisi X mengundang Mendikbud untuk melaksanakan raker, disitulah Mendikbud menyatakan dengan keras untuk melaksanakan Moratorium UN yang akhirnya proposal tersebut ditolak Wakil Presiden.

"UN ini persoalan sensitif bagi guru dan murid, Mendikbud seharusnya mengkoreksi lebih dahulu kebijakan yang dirumuskan," ujar Fikri.

HAK PEMERINTAH - Anggota Komisi X lainnya, Reni Marlinawati  menyampaikan bahwa walaupun keputusan moratorium memang sudah disepakati oleh seluruh anggota Komisi X tidak serta merta keputusan tersebut dapat langsung diterapkan. Sebagai sebuah keputusan yang besar, moratorium harus lebih dahulu didasari hasil kajian, baik itu kajian Yuridis, Filosofis, maupun Pedagogis. Setelah itu, harus ada pula evaluasi kelebihan serta kekurangan saat UN.

Hal tersebutlah yang harusnya menjadi basis melandasi keputusan Moratorium UN. Sehingga walaupun DPR sendiri setuju akan tetapi pemerintah sebagai eksekutor menganggap belum siap, maka hal tersebut sah saja. Bahkan walaupun DPR sendiri tidak setuju Moratorium UN dan ternyata pemerintah malah setuju, mereka berhak melakukan hal tersebut.

"Bisa aja DPR gak setuju mereka tetap laksanakan," ujar Reni Marlinawati di gedung DPR, Kamis, (8/12).

Ia  menyatakan sangat menghormati keputusan presiden yang menolak rencana Moratorium UN. Menurutnya, Pemerintah dalam hal ini telah sangat seksama dalam mengambil keputusan. Pemerintah melihat bahwa segala sesuatu yang memiliki dasar kajian yang sangat lemah, akan berdampak tidak baik untuk kedepannya.

Sudah menjadi rahasia umum, saat berganti Menteri maka sistem pendidikan pun menjadi berganti. Menanggapi hal ini Reni menyampaikan bahwa hal tersebut adalah sah-sah saja. Sebab setiap Menteri sebagai pelaksana berbagai program di bidang pendidikan pasti memiliki ide serta gagasan yang berbeda dengan pendahulunya. Tetapi dalam konsep berbangsa dan bernegara, seyogyanya hal tersebut tidak terjadi. Sebab setiap pemimpin negara harusnya sudah berada dalam rel pemenuhan jangka panjang selama 25 tahun.

"Sekurangnya dalam 25 tahun itu kesinambungan program harus terus berlanjut," ungkapnya.

BACA JUGA: