JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang mengamanatkan mekanisme penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), melalui pengadilan tinggi di empat wilayah yang ditunjuk MA. Hanya saja MA dalam sejumlah kesempatan secara terbuka menolak untuk menangani sengketa pilkada tersebut.

MA beralasan lembaga peradilan ini telah cukup banyak menangani perkara. Selain alasan MA tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal UU Pilkada, juga berpandangan akan banyak problem yang muncul jika penyelesaian sengketa dipaksakan oleh MA.

"Penyelesaian sengketa oleh pengadilan tinggi atau pengadilan tinggi tata usaha negara justru akan menimbulkan potensi konflik yang sangat besar," kata Fadli Ramadhanil dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal UU Pilkada kepada Gresnews.com, Jumat (13/2).

Selain itu, menurut dia,  perlunya penyiapan dan penataan kelembagaan dalam penyelesaian sengketa baik hakim, hukum acara, dan kelembagaan lainnya yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat.  Atas dasar itu, pihaknya telah beraudiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan diterima Wakil Ketua MK dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, menyampaikan suara publik yang menginginkan perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah diselesaikan di MK.

"Kami menilai lembaga yang paling siap untuk menyelesaikan sengketa pilkada adalah MK," jelasnya.

Alasannya, pertama, MK sudah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara 600-an perkara sengketa hasil pilkada sepanjang tahun 2008-2012. Dalam batas penalaran yang wajar, MK sudah melaksanakan tugas dan wewenang ini dengan sangat baik.
 
Kedua, salah satu hal yang paling penting dalam lembaga yang akan menyelesaikan sengkata pilkada adalah perihal supporting kelembagaan yang akan menyelesaikan sengketa pilkada. Sejauh ini, menurutnya, tidak ada lembaga yang sebaik dan sesiap MK.
 
Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal UU Pilkada yang terdiri dari Perludem, ICW, JPPR, Puskapol UI, LP3ES, PPUA Penca mendorong MK untuk bersedia mengemban tugas menangani sengketa pilkada. Hal ini merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Putusan ini diantaranya menyebutkan: "Mahkamah Konstitusi  berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur hal tersebut".

Menurut Fadlil, putusan tersebut masih memberi ruang bagi MK bisa mengadili sengketa pilkada, sepanjang legal policy para pembentuk undang-undang memberikan pengaturan terkait hal ini. "Di tengah pemerintah dan DPR menyiapkan badan tersebut, MK adalah lembaga yang paling ideal untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu," jelasnya.
 
Berikutnya, mereka juga mendorong pemerintah dan DPR segera memberikan kepastian terkait lembaga yang akan menyelesaikan sengketa pilkada melalui revisi UU Pilkada. Hal ini dianggap sangat penting lantaran sengketa hasil pilkada adalah salah satu tahapan penting dalam pelaksanaan pilkada. "Penolakan Mahkamah Agung harus dilihat secara jernih oleh DPR dan pemerintah," jelasnya.

Wacana ini mengemuka setelah MA menyampaikan berkeberatannya menangani sengketa pemilu sesuai yang diamanahkan UU Pilkada, dari sebelumnya dilakukan di MK. Alasan utama yang disampaikan oleh MA adalah beban perkara yang masih sangat banyak. "Jika nanti ditambah dengan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pilkada, tentu saja tumpukan perkara di MA akan semakin menjadi-jadi," kata Hakim Agung Suhadi.

BACA JUGA: