JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas 2015. Mereka menganggap sejumlah pengaturan dalam undang-undang ini masih mengabaikan prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.

Diantaranya, kata anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, Sulastio adalah ketentuan pasal yang mengistimewakan DPR dengan memberi perlindungan terhadap anggota Dewan ketika menghadapi proses hukum. Dalam Pasal 245 UU MD3 disebutkan, setiap pemeriksaan dalam proses penyidikan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Ketentuan ini mirip dengan Pasal 36 UU Pemda yang sudah dibatalkan MK terkait izin pemeriksaan kepala daerah tidak lagi memerlukan izin presiden. "Akibatnya berdampak pada keraguan publik terhadap kinerja DPR di masa mendatang," kata Sulastio yang juga Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) ini kepada Gresnews.com, Selasa (3/2).

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 yang terdiri dari IPC, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), PATTIRO, TI Indonesia, Indonesian Budget Center (IBC), Indonesian Corruption Watch (ICW), Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), ini juga mempersoalkan masih dimungkinkan ada rapat-rapat DPR secara tertutup.

Kemudian belum ada mekanisme kewajiban untuk memberi pertanggungjawaban anggota DPR ke konstituennya. "Pembahasan RUU MD3 di awal periode DPR, juga mampu menghindari konflik kepentingan antar kubu partai politik yang bertarung dalam Pemilihan Umum Presiden 2014," tutur Sulastio.

Seperti diketahui, Baleg tengah menggelar rapat  membahas usulan Prolegnas 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas 2015 secara marathon. Seluruh komisi telah memberikan daftar Prolegnas yang menjadi prioritasnya.

Mulai dari RUU Penyiaran; RUU Radio Televisi Republik Indonesia; RUU Pilkada; RUU Pertanahan; RUU Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, RUU Pemilu Angota DPR, DPD dan DPRD; RUU Penyelenggara Pemilu; RUU tentang KUHP; RUU KUHAP; dan RUU tentang HAM; RUU Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan; RUU Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan; RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan.

Ada juga RUU Arsitek; RUU Jasa Konstruksi; RUU BUMN; RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Koperasi; RUU Minyak dan Gas Bumi; dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara; RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Umroh; RUU Penyandang Diabilitas; RUU Praktik Pekerjaan Sosial; RUU Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan; dan RUU Perguruan Tinggi Agama, RUU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; RUU Pembinaan, Pengembangan dan Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

Kemudian RUU Kebidanan; RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; RUU Praktek Kefarmasian; dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia; RUU Kebudayaan; RUU Sistem Perbukuan; dan RUU Sistem Pendidikan Nasional; RUU Piutang Negara dan Piutang Daerah; RUU Perbankan; dan RUU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Sementara pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengusulkan 12 RUU, juga tanpa menyertakan RUU Perubahan atas MD3.

BACA JUGA: