JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga pemantau penegakan hukum dan hak asasi manusia internasional, Amnesty International kecewa dengan kegagalan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk memasukan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) untuk 2015. Padahal bersamaan dengan warga Indonesia yang merayakan peringatan Hari PRT Nasional  pada 15 Februari, Amnesty International menyerukan kepada pemerintahan yang baru untuk bekerja sama dengan DPR RI agar memperkuat upaya-upaya untuk memperbaiki perlindungan hukum bagi para PRT dan menghentikan eksploitasi ekonomi, diskriminasi, dan kekerasan yang terus berlangsung.

Pekampanye Amnesty International untuk Indonesia dan Timor Leste Josef Roy Benedict mengatakan, para PRT di Indonesia, yang mayoritas besarnya adalah perempuan dan anak perempuan , tidak dilindungi secara penuh oleh aturan hukum perlindungan hak-hak pekerja saat ini. Aturan hukum yang ada – khususnya UU Ketenagakerjaan 2003- mendiskriminasi para PRT karena ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak memberikan mereka perlindungan yang sama yang diterima oleh para pekerja lainnya.  

"Para PRT seringkali dieksploitasi secara ekonomi dan diabaikan hak-haknya atas kondisi kerja yang layak, jaminan kesehatan, pendidikan, standar penghidupan yang layak, dan kebebasan bergerak," kata Josef dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Banyak PRT hidup dan bekerja dalam kondisi yang eksploitatif dan menjadi korban kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang rutin terjadi. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), yang telah bertahun-tahun mengkampanyekan sebuah undang-undang untuk melindungi PRT, mendokumentasikan paling tidak 408 kasus kekerasan terhadap para PRT di 2014.

Sebuah RUU Perlindungan PRT telah menjadi agenda legislasi sejak 2010 tetapi telah menghadapi penundaan yang terus terjadi. Sekarang, kegagalan untuk memasukannya pada daftar 37 RUU prioritas pada Program Prolegnas untuk 2015 menyoroti terus minimnya komitmen DPR RI yang baru untuk memperbaiki perlindungan hukum bagi para PRT di Indonesia.

Amnesty International prihatin bahwa peraturan baru Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No.2 Tahun 2015 yang dikeluarkan pada 18 Januari 2015 terlihat sebagai pengganti untuk mengimplementasikan sebuah undang-undang.

"Meskipun peraturan ini menyinggung hak-hak para PRT atas informasi, upah, istirahat yang cukup, hari cuti, dan mendapatkan perlakuan yang baik, peraturan ini masih jauh di bawah standard-standard perburuhan internasional," ujar Josef.

Peraturan tersebut minim pembatasan yang memadai bagi jam kerja, jaminan penghasilan bagi standar penghidupan yang layak dan upah lembur. Juga tak ada jaminan sosial, standard kesehatan kerja, hari istirahat yang didefinisikan secara jelas dan cuti-cuti periodik termasuk cuti tahunan, hari libur nasional, cuti sakit, dan cuti melahirkan.

Terlebih aturan itu tak memuat regulasi terkait standard pemutusan hubungan kerja, akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan, termasuk pengadilan dan sanksi terhadap majikan yang gagal mematuhi peraturan tersebut. Peraturan ini juga minim ketentuan-ketentuan yang mengatur kebutuhan khusus perempuan, khususnya selama dan setelah kehamilan. Lebih lanjut, Peraturan ini tidak mengacu pada UU Ketenagakerjaan 2003 dan pengakuan PRT sebagai buruh.

"Juga ada ketidakpastian secara hukum apakah peraturan ini bisa ditegakan," tegas Josef.

Amnesty International menyerukan kepada DPR RI untuk memprioritaskan pengesahan RUU Perlindungan PRT tersebut dan memastikan bahwa RUU ini sesuai dengan hukum dan standar-standar internasional.

Amnesty International juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvesi Pekerja Rumah Tangga ILO (International Labour Organization) No.189 pada kesempatan sesegara mungkin, memasukan ketentuan-ketentuannya ke dalam hukum domestik dan mengimplementasikannya sebagai kebijakan dan praktik. Konvensi ini juga didukung oleh pihak berwenang Indonesia ketika Konvensi ini diadopsi pada Juni  2011 dan sekarang telah diratifikasi oleh 17 negara.

"Ratifikasi Konvensi ini oleh pemerintah akan menegaskan komitmennya untuk perlindungan para PRT di Indonesia dan memperkuat upaya-upaya pemerintah untuk memastikan perlindungan hukum bagi para PRT Indonesia di luar negeri yang terus menghadapi eksploitasi dan kekerasan," tutup Josef.

BACA JUGA: