JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana interpelasi kepada pemerintah terkait kebijakan menaikkan harga bahan bakar minya bersubsidi terus bergulir diantara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi di DPR masih sangat tajam antara yang mendukung dan menolak.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, pertentangan tajam ini terjadi karena ada dua persepsi di DPR soal interpelasi. Kubu yang mendukung pemerintah menganggap interpelasi sebagai hak yang serius. Sementara kubu yang menentang kenaikan harga BBM melihat interpelasi sebagai sesuatu yang biasa.

Refly sendiri menilai interpelasi sebagai sesuatu yang luar biasa. Menurutnya interpelasi bisa digunakan kalau pemerintah tidak mau mendengar dan merespons masukan DPR. Interpelasi juga memiliki tingkatan seperti hak angket dan hak menyatakan pendapat.

Persepsi tersebut yang ia nilai tidak sama antara satu anggota dengan anggota lainnya. "Bisa terjadi desakralisasi interpelasi. Ketika Jokowi ngomong, kalau diundang datang dan jelaskan, dia pandang interpelasi selesai. Kalau begitu kenapa tidak hak bertanya saja?" kata Refly, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/11).

Ia menuturkan impeachment presiden juga tak relevan jika dihubungkan dengan kebijakan kenaikan harga BBM. Selama hanya kebijakan pemerintah yang dianggap salah, hal itu masih bisa diperbaiki. Misalnya dengan mengubah kebijakan menurunkan harga BBM. "Kebijakan masih bisa dikoreksi. Berbeda halnya jika presiden melakukan hal yang tidak bisa dikoreksi seperti korupsi," ujarnya.

Refly menuturkan hak interpelasi merupakan hak bertanya anggota DPR terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak yang harus diinstitusionalisasi. Interpelasi juga ditujukan bukan pada orang yang bersangkutan tapi pada kebijakannya.

Tetapi yang terjadi saat ini menurutnya interpelasi cenderung ditujukan pada orang. "Jadi kalau interpelasi ditujukan ke orang, itu yang salah kaprah," ujar Refly.

Secara teknis inisiatif interpelasi harus diajukan minimal oleh 25 anggota DPR plus jumlah fraksi lebih dari satu. Usulan interpelasi ini harus dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) dulu lalu dilanjutkan ke paripurna. Di dalam paripurna ini akan ditentukan hak interpelasi itu akan diajukan secara institusi atau tidak. Jika tidak tercapai musyawarah mufakat, pilihan akhirnya jadi atau tidaknya interpelasi disepakati melalui voting.

Jika voting yang terjadi dalam paripurna menentukan interpelasi, Refly memprediksi ujung-ujungnya akan terjadi kegaduhan lagi di DPR. Ia menggambarkan akan ada dua kekuatan yang bertarung. Ia meyakini pertarungan tersebut akan berakhir ketika presiden memberikan keterangan. "Padahal jika hanya ingin bertanya pada presiden, cukup digunakan hak bertanya dan tak perlu interpelasi yang melalui mekanisme dewan," ujarnya.

Ia menilai dalam politik seakan tercipta persepsi menang dan kalah merupakan hal yang penting. Sehingga jika terjadi kegaduhan dalam mekanisme di dewan, kegaduhan politik ini akan memunculkan bintang-bintang interpelasi baru di Senayan.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Fraksi Nasdem Johnny G Plate mengatakan, interpelasi merupakan hak yang serius dan berdampak hukum politik luas. Ia berpendapat pemerintah belum menjelaskannya sehingga wajar ada usulan interpelasi karena mereka yang ajukan belum memahami alasannya.

Kalau interpelasi diusulkan setelah ada rapat dengar pendapat dengan pemerintah, maka akan terasa lebih tepat waktunya. "Kebijakan itu ditujukan untuk perlindungan ekonomi makro. Bukan asal dibuat oleh pemerintah. Jadi mari minta penjelasan pemerintah di rapat komisi, setelah itu baru melangkah ke interpelasi," katanya.  

Menanggapi hal ini, Anggota DPR fraksi Golkar Misbakhun menuturkan DPR sejauh ini sulit melakukan rapat dengar pendapat dengan pemerintah lantaran menteri tidak diperbolehkan datang ke DPR oleh presiden. "Kalau pemerintah tidak datang ke DPR maka hak yang bisa digunakan tak lain adalah interpelasi," ujarnya.

Menurut Misbakhun, hal ini lebih praktis ketimbang anggota DPR harus menyurati presiden satu persatu dan presiden harus membalasnya juga perorangan maka sebaiknya hak bertanya itu dibungkus menjadi satu.

"Ini yang kemudian saya katakan sakral dan tidak sakral itu kan persepsi. Saya termasuk pengagum Gus Dur yang mendesakralisasi istana. Kita juga harus gitu. Ini hak kenegaraan biasa. Kita menempatkan konstitusi pada tempatnya," katanya.

BACA JUGA: