JAKARTA, GRESNEWS.COM - Era pemerintahan Jokowi-JK mendatang, masyarakat diminta optimal membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengawasi kinerja lembaga pemerintah baik itu eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Karena, ketiga unsur tersebut merupakan pilar dalam menentukan jalannya pemerintahan mendatang sekaligus mejadi tempat rawan terjadinya tindak pidana korupsi.

Namun masyarakat perlu memberikan perhatian khusus terhadap unsur legislatif. Sebab selama ini legislatif menjadi penentu segala jenis anggaran serta kebijakan yang diambil pemerintah.

"Hakim ada kontrol dari Komisi Yudisial, eksekutif dikontrol DPR. Lalu DPR bertanggungjawab sama siapa? Di DPR ada masalah kebijakan dan anggaran, dua itu besar. Padahal setiap kekuasaan cenderung terjadi penyelewengan," ujar mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi dalam diskusi ´Gerakan Mengawal Anti Korupsi Pemerintahan Jokowi-JK´ di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (12/10).

Hasyim mengatakan, hal itu bisa dilihat ketika DPR mengesahkan Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN). Dalam proses tersebut ia menuding ada tawar menawar antar anggota DPR sendiri, maupun unsur lainnya seperti eksekutif. Untuk itu, kinerja legislatif harus diawasi dan dikawal rakyat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari Universitas Indonesia, dalam lima tahun pemerintahan SBY, sebanyak dua puluh undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak malah dikuasi asing. Padahal, dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1) dengan jelas dikatakan, bumi, air, dan kandungan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat.

Tokoh kelahiran Tuban, Jawa Timur 70 tahun lalu ini mencontohkan ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Menurutnya, secara kasat mata masyarakat pasti menyalahkan pemerintah, padahal embrio yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga tersebut berasal dari DPR.

"Harus ada gerakan kawal wakil rakyat. Polri, kenapa nembak terus kalau sama teroris? Itu karena undang-undangnya nembak aja, enggak ada yang ngatur backing teroris. Harus national security act yang dibuat DPR," cetusnya.

Hal senada diungkapkan mantan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto. Menurut Bibit, pengawasan terhadap DPR perlu dilakukan agar kinerja para wakil rakyat ini lebih optimal dan bersih dari korupsi. Apalagi, lanjut Bibit, KPK pernah merilis jumlah anggota DPR serta DPRD yang terseret kasus korupsi mencapai dua ribu orang, dan hal ini menjadi peringatan bagi anggota DPR saat ini.

Mengenai adanya rencana revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR menurut Bibit hal tersebut cukup asalkan undang-undang yang sudah baik tidak diubah. Jika memang mendukung upaya pemberantasan korupsi, kata Bibit, legislatif seharusnya tidak melemahkan KPK, tetapi justru menguatkan.

"Revisi boleh, yang sudah baik jangan diacak-acak. Jangan kewenangan tidak jalan baru dievaluasi, kemudian jangan mengurangi kewenangan KPK saat ini," imbuhnya.

BACA JUGA: