JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mengesahkan Daerah Otonomi Baru (DOB) dinilai salah. Pemekaran bukan cara yang tepat untuk membuat masyarakat Papua lebih sejahtera karena kemampuan sumber daya manusia masyarakat Papua sangat terbatas.

Dalam sidang Paripurna DPR pada Kamis (24/10) telah menyetujui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan 65 daerah otonomi daerah. Dari 65 RUU tersebut 19 diantaranya berada di Papua. Untuk menanggapi keputusan DPR itu sebanyak 500 orang mahasiswa Papua yang berada di Jawa dan Bali melakukan aksi damai di depan gedung MPR/DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri, Senin (4/11).

Koordinator Lapangan Aksi Damai Mahasiswa Papua Sony Wanimbo mengatakan keputusan DPR RIĀ  menambah DOB di Papua tidak tepat. Karena dampak pemekaran selama ini tidak banyak dirasakan oleh orang asli Papua. "Persoalannya kan sejak 2001 ada Otsus, kemudian (dampaknya) ada otonomi daerah, yang berujung pada banyaknya daerah yang dimekarkan, sampai kemarin ada UP4B, ada lapangan kerja baru, tapi sumber daya manusianya (dari orang Papua asli) kurang. Jadi yang bekerja adalah orang-orang pendatang," katanya kepada Gresnews.com, Senin (4/11).

Menurut Sony, pemekaran yang terjadi saat ini masih menuai masalah. Karena wilayah-wilayah pemekaran yang sudah ada belum optimal memberikan kesejahteraan bagi orang asli Papua namun sudah ada rencana pemekaran baru.

Rencana pemekaran daerah baru itu tidak mempertimbangkan kesejahteraan orang asli Papua. Apalagi mengingat kualitas Sumber Daya Manusia orang asli Papua masih sedikit untuk memenuhi struktur pemerintahan di wilayah otonomi baru. Akibatnya, posisi-posisi tersebut diisi oleh orang-orang pendatang dari luar Papua.

Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay mengatakan rencana pemekaran di wilayah Papua harus ditinjau dari kesiapan daerah yang akan dimekarkan. Menurutnya, selama ini pemekaran di wilayah Papua tidak direncanakan dan disiapkan dengan baik.

"Yang menjadi persoalan, apakah (pemekaran itu) direncanakan atau tanpa perencanaan? Karena kalau tanpa perencanaan berarti tidak melibatkan (aspirasi) orang banyak, dan akan menjadi persoalan baru," kata Neles kepada Gresnews.com pada Senin (4/11).

Neles Tebay berpendapat, selama ini rencana pemekaran wilayah otonomi baru hanya syahwat politik dari elite politik pusat dan lokal. Kepentingannya bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi secara politik untuk menambah suara partai yang memiliki suara terbanyak di Papua.

Neles menilai selama ini tujuan dari pemekaran tidak berhasil. Bila tujuan pemekaran untuk mendekatkan layanan publik kepada masyarakat yang terjadi di Papua justru sebaliknya. Publik semakin sulit mendapatkan layanan itu karena pejabat pemerintahan seringkali hanya berada di kota dan luar Papua. Sementara tugas dan kewajiban mereka sebagai pelayan masyarakat tidak dijalankan dengan baik.

Mantan Rektor Sekolah Tinggi Teologi Fajar Timur itu juga mengatakan unsur-unsur untuk memekarkan wilayah otonomi baru di Papua selama ini belum memenuhi kriteria. Banyak infrastruktur belum dibangun dengan baik di wilayah pedalaman dan kualitas SDM orang asli Papua pun masih sedikit untuk memenuhi struktur pemerintahan daerah.

Sementara tujuan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus target utamanya adalah orang asli Papua. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, segala kebijakan tidak memberikan ruang besar bagi orang asli Papua.

Neles pun menolak alasan yang digunakan oleh anggota DPR yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pemekaran adalah untuk melindungi suku-suku minoritas yang mendapat perlakuan diskriminasi dari suku mayoritas yang berkuasa. Padahal permasalahan utama adalah pembangunan SDM bagi orang asli Papua tidak diperhatikan. Akibatnya timbul masalah konflik horizontal.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo mengatakan usul pemekaran daerah itu didasarkan atas asas pemerataan dan meminimalisir konflik. Selama ini masalah di wilayah daerah tertinggal adalah konflik horizontal antar suku dan belum ratanya pembangunan di daerah.

"Tapi yang terpenting sepanjang pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta politik perimbangan keuangan antara pusat dan daerah masih seperti ini, maka pemekaran masih menjadi jurus yang ampuh (untuk menyelesaikan masalah)," ujarnya kepada Gresnews.com, Kamis (24/10).

(Mungky Sahid/GN-04)


BACA JUGA: