JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang reaktif menanggapi kritik terhadap program  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dinilai sejumlah kalangan memperlihatkan kecenderungan pemerintah yang lebih responsif terhadap kepentingan modal dan pencitraan politik dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. "Karena kritik dan pencitraan buruk atas mandeknya MP3EI akan berimbas pada ketidakpercayaan investor swasta dan asing terhadap pemerintahan SBY," ujar peneliti Indonesia Economic Development Studies (IEDS), Musyafaur Rahman, Jumat (25/10).

Sinyalemen itu, menurut Musyafaur, juga bentuk dari pertanggungjawaban pemerintah terkait ratusan triliun investasi yang sudah dikucurkan oleh pihak swasta maupun asing untuk program tersebut. "Meski implementasi di lapangannya masih kita pertanyakan," katanya.

Presiden di tengah pidato acara Groundbreaking Proyek-Proyek MP3EI di kantor Gubernur Kalsel, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (23/10), sempat merespons kritik yang berkembang terkait pelaksanaan program MP3I oleh sejumlah kalangan.

Menurut presiden,  MP3EI bukanlah kertas kosong, bukan pula macan ompong melainkan nyata. Hal itu untuk mempersiapkan bangsa Indonesia menghadapi konektivitas ekonomi negara-negara peserta ASEAN, APEC, termasuk G-20, yang diperkirakan akan berlangsung lima tahun mendatang. "Dengan MP3EI kita tidak akan jadi bangsa yang kalah," ungkap Presiden di Kalimantan.

Namun, menurut Musyafaur, program besar SBY yang ditujukan untuk merespons pasar bebas itu justru memperlihatkan persetujuan atas liberalisasi di segala bidang.  Sementara  program MP3EI sendiri, menurut Musyafaur, masih menghadapi banyak hambatan, termasuk dalam tataran peraturan perundangan dan pelaksanaan di lapangan. "Di samping juga masih ada tentangan masyarakat," katanya.

Menurut Musyafaur, publik juga  mencatat berbagai regulasi terkait MP3EI masih mandek di DPR. Salah satunya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah, namun jika tak ada kesepakatan maka pemerintah bisa menitipkan ganti rugi pemilik tanah itu di pengadilan. UU ini, kata dia, dipandang para aktivis menjadi jalan bagi pemerintah untuk merampas tanah rakyat atas nama pembangunan. "Ini mengingatkan sejumlah tragedi di era Orde Baru," katanya.

Tak hanya itu,  juga ada penolakan keras masyarakat terkait sejumlah pembangunan proyek yang berlangsung di berbagai daerah. Musyafaur menunjuk contoh kasus PT DH Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, KPI Sei Mangke, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, PLTU Batang Jawa Tengah, PT Bukit Asam perluasan Bangko Tengah. Termasuk  pertambangan di Sulawesi, dan smelter di Kalimantan Selatan. Juga kasus perluasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo.

Sebagai sebuah rencana besar jangka panjang yang ditargetkan selesai di 2025, menurut Musyafaur, MP3EI mungkin akan menjanjikan banyak hal. Terutama  bagi pemilik modal dan investor yang selama ini terhambat regulasi dan ketiadaan infrastruktur yang memicu ekonomi biaya tinggi. "Namun ketika negara berencana, harusnya rakyat menjadi subjek sekaligus objek utama untuk diperhatikan kepentingannya," ujarnya.

Menurut Musyafaur,  Lewat MP3EI, cetak biru pembangunan di republik ini bisa dipaparkan pada investor atau  pemilik modal baik asing maupun dalam negeri. Sama seperti ketika Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) diterapkan oleh Orde Baru. Lewat cetak biru itu pendanaan dan pinjaman modal bisa mengucur ke kantong para pelaku usaha maupun pemerintah dari bank-bank asing.

Dengan MP3EI pula  investor mendapatkan kemudahan dan kepastian bisnis mereka. Termasuk kemudahan mendapatkan lahan, perizinan maupun kemudahan melakukan eksplorasi, juga kemudahan fasilitas seperti kontrak jangka panjang, pajak dan royalti dengan jaminan negara.

Sehingga menurut Musyafaur, sampai kapanpun evaluasi terhadap MP3EI yang sudah diketok palu sejak 2011, akan menghadapi dinding besar kepentingan negara yang faktanya berseberangan dengan kepentingan rakyat. Pemerintah, kata dia, bisa berkoar bahwa MP3EI sudah melalui berbagai studi dan sudah mewakili seluruh kepentingan yang ada, termasuk hak-hak masyarakat. Mereka juga bisa berdalih Liberalisasi perdagangan tak bisa dibendung karena perkembangan teknologi. Namun ketika harga pangan dalam negeri melambung, impor bahan pangan dilakukan secara jor-joran. Di sisi lain sumber-sumber daya alam kita masih dikuasai perusahaan-perusahaan asing yang memegang kontrak puluhan tahun sehingga  peluang untuk menyeimbangkan neraca perdagangan tak kunjung datang. "Dalil pemerintah soal sasaran tersebut harusnya sudah gugur dan patut dipertanyakan,"ungkapnya.

Diakui Musyafaur, negara ini butuh akselerasi. Namun berkaca dari kepatuhan Orde Baru pada IMF yang berujung pada "obral" sumber daya alam  kepada investor asing dampaknya kesengsaraan bagi rakyat. Maka liberalisasi jilid II yang kali ini dipimpin WTO, AFTA hingga APEC atas nama perdagangan bebas lewat MP3EI sebagai perpanjangan program di dalam negeri harus dikaji ulang.

DPR,  kata dia, harusnya bisa menjadi filter yang kuat bagi berbagai regulasi yang dicurigai mengandung titipan asing dan patuh pada pemodal. RUU Pertanahan, RUU Perdagangan, RUU Investasi Berjangka dan sejumlah RUU lain yang akan menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk menjual program MP3EI harus dikikis dari berbagai kepentingan yang ujung-ujungnya menjual Indonesia kepada asing.

Jangan sampai melalui MP3EI pembangunan di Indonesia hanya sekedar pembangunan, segalanya justru dilakukan oleh pihak asing. "Pembangunan seperti ini hanya mampu menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan," tambahnya.

Sebagai catatan Perpres No. 32 tahun 2011 tentang MP3EI mengamanatkan perbaikan 28 aturan yang dapat menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru untuk mempercepat dan memperluas investasi. Aturan yang harus diperbaiki tersebut terdiri atas tujuh UU, tujuh Peraturan Pemerintah, enam Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan Menteri, dan  ditargetkan selesai pada akhir tahun 2011.

Beberapa aturan lain untuk memperlancar investasi itu adalah: PP No. 52/2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu atau di Daerah Tertentu, Perpres No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Ketiga, Perpres No.28/2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Keempat, penerbitan peraturan perundang-undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur.

Hasilnya adalah diterbitkannya sejumlah aturan seperti,  Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata (Makassar, Sungguminasa, dan Takalar),   Perpres No. 88/2011 tentang RTR Sulawesi,  Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
(GN-02)

BACA JUGA: