SALAH tafsir dan pemaknaan terhadap Pancasila memicu praktik koruptif oleh kalangan birokrat. Kurangnya pemahanan akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila ditengarai menjadi pemicunya.

Seniman kondang Putu Wijaya mengungkapkan, praktik korupsi yang dipertontonkan para elite negeri ini merupakan refleksi ketidakpahaman dalam memaknai nilai-nilai adiluhung dalam Pancasila.

"Saya kira iya, akan tetapi saya tidak mau mendakwa seserorang karena kesalahan itu ada alasan. Orang terdorong menjadi salah, tapi karena orang lain yang juga salah," ucap Putu Wijaya kepada gresnews.com, di Jakarta, Sabtu (2/6).

Seniman senior ini menilai, apabila pemaknaan setiap sila yang ada dalam Pancasila dilakukan satu persatu atau dipreteli, itu akan sangat berbahaya. Pancasila akan lebih bermakna dan bernilai luhur apabila dibaca dan dipahami  secara satu kesatuan tak terpisahkan.

"Tetapi yang paling penting bagi saya bahwa pancasila itu kalau dipreteli banyak sekali, sila-sila berbahaya, tetapi kalau dirangkum menjadi ekasila yakni gotong royong itu luar biasa sekali," ujar dia.

Karena gotong royong, lanjut dia, itu mencakup segala-galanya. Kita harus bersama-sama,susah maupun senang dirasakan bersama, semua dilakukan bersama-sama.

"Tetapi kalau ada acara menggotong kursi satu jangan 220 orang menggotong satu kursi karena itu nanti hanya akan menimbulkan perkelahian. Cukup satu orang saja, yang lainnya ikut bergotong royong ketika dibutuhkan," ucapnya.

Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa saat ini perilaku apakah itu melibatkan pejabat negara atau kalangan manapun yang dinilai merugikan negara karena minimnya penghayatan inti dari makna Pancasila. "Saya kira perilaku yang muncul saat ini karena tidak menghayati inti dari makna Pancasila. Saling menyalahkan, egonya cukup tinggi," ucap Tjahjo.

Apakah dalam memperingati kelahiran Pancasila, terkesan semua menuju dan mengacu kembali pada Pancasila?

Itu hanyalah sebuah seremoni, kata Putu, dimana dalam impementasinya mereka sudah diwarnai oleh nuansa-nuansa sendiri-sendiri. "Dalam memperingati kelahirannya, semua mengacu kepada mendukung, mencintai Pancasila. Tapi kita lihat praktiknya bagaimana? Dalam praktiknya mereka sudah diwarnai oleh nuansanya sendiri. Itu kan karena kita hidup di dunia heterogen dan masing-masing berbeda tetapi bagaimana kita merangkumnya," kata Putu.

BACA JUGA: