PADA 2006 silam, Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) saat itu, Mayjen TNI Syafnil Armen, menyatakan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai pengancam ideologi Pancasila. LSM yang dimaksud adalah Imparsial, Kontras dan Elsham Papua. Pernyataan itu diucapkan dalam sebuah seminar tertutup bertajuk "Persepsi Ancaman Internal dan Transnasional" pada 29 Agustus 2006 di Departemen Pertahanan.

Imparsial pun menggugat dengan alasan telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh Kabais. Mereka meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyatakan Kabais melawan hukum sehingga wajib membayar ganti rugi sebesar Rp1.061.945 sesuai dengan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1945.

Namun, gugatan itu kandas. Perlawanan hukum pun dilayangkan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (MA). Tapi, lagi-lagi Imparsial harus gigit jari. Gugatannya ditolak hingga ke MA.
"Menolak permohonan kasasi perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Keadilan (Imparsial)," kata ketua majelis hakim kasasi, M Saleh, seperti dikutip dari laman resmi MA, Senin (7/5).

Putusan kasasi dijatuhkan oleh M Saleh, Moegihardjo dan Suwardi pada 9 Maret 2011. Namun, putusannya dipublikasikan baru-baru ini.

Menurut majelis hakim, alasan kasasi pemohon masih sama dengan dalil gugatan yang ditolak oleh PN Jaksel. MA, kata majelis, hanya mengadili perkara yang penerapan hukumnya salah, pelanggaran hukum yang berlaku dan kelalaian dalam memutus perkara. "Putusan judex factie tidak melanggar hukum," demikian putusan MA.

Pada seminar 29 Agustus 2006 itu, Syafnil Armen, menyatakan Imparsial, Kontras dan Elsham Papua merupakan bagian dari kelompok radikal lain yang mengancam eksistensi keberadaan Pancasila dan merupakan LSM yang tidak puas serta kecewa kepada pemerintah.

Forum tertutup
PN Jaksel menyatakan memang Syafnil terbukti telah mengidentifikasi beberapa LSM sebagai pengancam ideologi Pancasila. Sebab, pernyataan itu tercatat dalam makalah yang disajikan dalam seminar.

Namun, menurut hakim, perkataan itu tidak bisa dinyatakan perbuatan melawan hukum karena disampaikan dalam seminar tertutup dan mengacu pada chatam house of rule, yakni organisasi nonpemerintah yang bermarkas di London yang biasa menanggapi isu internasional.

Menanggapi putusan ini, Imparsial menyatakan akan mengkaji terlebih dahulu jika sudah mendapatkan salinan putusannya sebelum menentukan upaya hukum selanjutnya. Namun, Direktur Program Imparsial Al Araf menegaskan, putusan itu berdampak buruk terhadap sistem demokrasi. Sebab, pejabat militer menjadi seenaknya mengidentifikasi LSM dengan hal-hal yang buruk.

"Kehidupan demokrasi negara kita terganggu karena akan memberikan izin terhadap aparat untuk mengidentifikasi mengancam keamanan. Padahal, kelompok masyarakat sipil berkontribusi terhadap demokrasi yang tetap membutuhkan kritik," kata Al Araf.

Al Araf mengingatkan, jika masyarakat sipil dikekang, dampaknya publik bisa semakin apatis terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, hal itu bisa sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Seharusnya gerakan masyarakat sipil diletakkan sebagai bagian dari bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Al Araf.

Dilanjutkan Al Araf, putusan hakim sebenarnya sudah tegas menilai bahwa pejabat tidak boleh seenaknya mengidentifikasi masyarakat sebagai suatu ancaman. Namun, perdebatan yang terjadi hal itu menjadi diperbolehkan ketika dinyatakan di ruang tertutup.

"Masih debatable di ruang tertutup atau terbuka. Kami menilai bahwa tidak pantas dalam rezim demokrasi instansi militer seperti Kabais mengidentifikasi kelompok masyarakat sebagai ancaman," pungkasnya.

BACA JUGA: