Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak perumusan hasil pengelolaan dan penggunaan aset hasil rampasan tindak pidana dibagi-bagikan ke aparat penegak hukum. Pasalnya, rumusan bagi-bagi aset yang tercantum dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana berpeluang menciptakan ladang korupsi baru.

"Artinya kan membuka peluang baru untuk korupsi yang lain," kata Ketua Muda Tindak Pidana Khusus MA, Djoko Sarwoko, di Jakarta, Senin (28/11).

Djoko mengkritik rumusan Pasal 69 Bagian Keempat Hasil Pengelolaan Aset dan Penggunaannya dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Dalam ketentuan itu disebutkan, sebagian dana dari penerimaan bukan pajak hasil pengelolaan aset rampasan dapat digunakan untuk pendidikan dan pelatihan terkait penelusuran, penyelidikan, penyidikan, dan pengelolaan aset rampasan.

Menurut Djoko, ketentuan tersebut menimbulkan kesan kepada publik, setelah harta dirampas hasilnya lalu dibagi-bagikan untuk aparat penegak hukum. "Ini kan tidak bagus hasil seperti ini. Alasan saya para penegak hukum ini sudah mendapat remunerasi yang cukup. Artinya sesuai dengan kemampuan negara kita sekarang ini," ujar Djoko.

Djoko melanjutkan, tujuan dilakukan perampasan aset adalah untuk menarik kembali hasil tindak pidana korupsi dan sejenisnya, kepada kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyat. "Jadi saya tidak setuju, saya usulkan supaya itu dihilangkan. Atau kalau tidak mungkin dihilangkan karena sudah terprogram, ya mungkin istilahnya saja yang diganti," jelas Djoko.

Pasalnya, lanjut Djoko, sepengetahuannya, aparat penegak hukum kerap menyelewengkan aset-aset yang disita terkait tindak pidana. Ia khawatir RUU yang digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini melegalkan pembagian hasil aset rampasan kepada aparat. "Menurut pengalaman saya, perampasan itu tidak sampai kepada yang berhak," ujar Djoko.

BACA JUGA: