JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz menilai, membanjirnya puluhan ribu tenaga kerja yang tak memiliki keterampilan pada banyak sektor usaha serta niaga, menunjukkan kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam soal keimigrasian dan pengawasan tenaga kerja asing. "Pemerintah terkesan tidak tegas terhadap masalah masuknya sejumlah pekerja asing yang ilegal asal China," kata Irgan kepada gresnews.com, Kamis (22/12).

Membanjirnya tenaga kerja asing dan warga negara asing secara ilegal dalam jumlah besar ini, seolah tak dapat terdeteksi oleh negara. Irgan menilai, hal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi hingga senilai triliunan rupiah. Selain itu banjir tenaga kerja asal China ini juga memicu masalah besar dalam urusan ketenagakerjaan Indonesia.

"Maraknya tenaga kerja asing ilegal asal China, karena kebijakan pemerintah yang memberikan bebas visa bagi warga negara asing yang berkunjung ke Indonesia, tanpa ada pengawasan yang ketat," kata Irgan kepada gresnews.com, Kamis (22/12).

Politisi PPP ini menyebutkan, selain masuknya tenaga asing ilegal asal China, dampak negatif lainnya dari kelemahan kebiajkan bebas visa ini adalah akan mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia karena banyaknya sektor-sektor strategis mulai dikuasai negara tirai bambu tersebut. "Pemerintah tidak boleh diam, harus ada tindakan secara tegas dari pemerintah untuk menertibkan warga negara asing asal China yang berada di Indonesia, baik secara resmi dan ilegal harus didata secara menyeluruh. Dimana warga negara China yang berkerja dan menjadi wisatawan di dalam negeri," tegasnya.

Selain itu, kata Irgan, pihak imigrasi dan Kementerian Tenaga Kerja harus mendata ulang yang mana saja WNA asal China yang sudah pulang dan belum kembali ke negaranya. "Hal ini penting agar mereka tidak semena-mena menguasai pekerjaan di Indonesia, karena dampaknya akan mempengaruhi tenaga kerja lokal kita yang tidak dapat kerjaan karena adanya tenaga kerja asal China," tegasnya.

Bahkan, kata dia, proyek relakmasi di utara Jakarta juga sengaja dibuat untuk menampung WNA asal China yang bekerja di Indonesia. "Maka jangan sampai ekonomi Indonesia dikuasai oleh mereka, maka pihak Komisi IX DPR RI akan mempertanyakan Kemenakertrans, soal status WNA yang bekerja secara ilegal," ujarnya.

Dia berharap, masuknya TKA ilegal asal China menjadi perhatian oleh pemerintah dan tidak menjadikan masalah ini sebagai isu liar yang sengaja tidak ditanggapi dengan serius. Dia menilai, kebijakan bebas visa untuk memberikan stimulan bagi wisatawan asing bertandang ke Indonesia justru dapat menciptakan dampak negatif bagi keamanan negara.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Tubagus Hasanuddin juga mengatakan, tujuan awal dari kebijakan bebas visa yang pernah disampaikan Menteri Pariwisata memang cukup bagus. Namun, persoalannya kini banyak wisatawan asing yang menyalahgunakan kebijakan itu.

"Tujuan awalnya bagus, karena bisa menjaring 20 juta turis asing ke Indonesia. Tapi kenyataannya, berdasarkan hasil kunker Komisi I DPR RI ke daerah-daerah, kehadiran turis ini kemudian  hanya menjadi alasan untuk menjadi tenaga kerja illegal terutama dari Tiongkok, dan ini membuat gelisah Pemda, Polri, dan TNI," ungkap pria yang akrab disapa Kang Hasan ini di Jakarta, Rabu (21/12).

Fakta penyalahgunaan kebijakan bebas visa, diungkapkan Kang Hasan, di daerah Tanjung Pinang dan Riau  yang banyak ditemukan KTP-KTP palsu. Kemudian Dinas Imigrasi pernah mendeportasi TKA yang menggunakan visa turis. "Situasi ini di daerah juga menimbulkan konflik antara pekerja ilegal dan masyarakat akibat tenaga kerja ilegal tersebut tidak mengerti bahasa Indonesia," tutur Kang Hasan.

Untuk itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menyarankan kepada pemerintah agar segera menseleksi ulang visa bebas untuk negara-negara tertentu. Visa adalah garda terdepan dalam rangka menjaga wilayah teritorial sebuah bangsa .

"Jangan sampai visa bebas itu justru digunakan untuk bekerja secara ilegal, penyelundupan narkoba, kejahatan kartu kredit, dan lain-lain," tegas Kang Hasan.

Apalagi, lanjut Kang Hasan, di KBRI Beijing tercatat hampir 1000 orang per bulan memproses visa kerja atau working visa ke Indonesia. Bahkan, semua aplikasi memenuhi persyaratan. "Ini artinya ada perusahaan di Indonesia yang siap menerima," beber Kang Hasan.

Kang Hasan merujuk pada Thailand yang jumlah turisnya berkali lipat lebih banyak dari Indonesia, hanya memberikan bebas visa ke 49 negara terpilih saja. "Kehadiran turis asing ke sebuah negara tergantung kepada akses, objek yang dikunjungi, keamanan, dan promosi bukan karena tergantung bebas visa. Bebas visa lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya," pungkas Kang Hasan.

Sebagaimana diketahui, Komisi I DPR-RI dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Luar Negeri RI pada awal tahun 2016 pernah mempertanyakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengenai bebas visa untuk 169 negara. Pasalnya, kebijakan itu dapat memberi peluang warga negara asing masuk ke Indonesia dengan mudah, termasuk gembong narkoba serta hal-hal lain yang mengancam keutuhan NKRI.

Peringatan yang pernah disampaikan DPR menjadi kenyataan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, negara yang paling banyak melanggar kebijakan bebas visa sejak Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan  diberlakukan hingga pertengahan tahun ini paling banyak dari Tiongkok, dengan jumlah yang cukup signifikan, yaitu 1.180 pelanggaran pada Januari–Juli 2016. Urutan berikutnya ditempati warga negara Bangladesh (172), Filipina (151), dan Iraq (127).

KESEMPATAN KERJA HILANG - Wakil Ketua Umum Gerindra yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, masuknya tenaga kerja asing asal China menyebabkan kerugian. Diantaranya hilangnya kesempatan masyarakat Indonesia dalam memasuki lapangan kerja diberbagai sektor baik informal dan formal.

"Kemudian ini juga berdampak pada menurunnya pendapatan para pemilik usaha di sektor niaga di pertokoan-pertokoan sebab banyak WNA secara illegal melakukan aktivitas perniagaan di pasar-pasar dan pertokoan," kata Arief kepada gresnews.com, Kamis (22/12).

Sementara itu, kata dia, kerugian yang dialami oleh negara dari sisi ekonomi adalah tidak adanya penerimaan negara berupa pajak. "Sebab mereka saja masuk secara illegal dan mana mungkin akan bayar pajak sebagai TKA dan WNA yang melakukan aktivitas niaga secara illegal?" jelasnya.

Bahkan, kata dia, kerugian lain adalah ancaman epidemik bibit penyakit akibat tidak terkontrolnya WNA dan TKA yang masuk Ke Indonesia jika ternyata membawa bibit penyakit yang epidemik. "Ini bisa saja terjadi karena mereka masuk Ke Indonesia tanpa melalui kontrol karantina karena kedatangan mereka illegal," kata Arief.

Menurutnya, tidak mungkin masuknya TKA illegal dan WNA illegal asal China ini terjadi tanpa melibatkan petinggi-petinggi di keimigrasian dan Kementerian Tenaga Kerja. "Pasti ada praktik mafia besar yang bekerja memasukkan TKA dan WNA illegal di kedua jajaran pemrintahan tersebut," ungkapnya.

Karena itu, kata Arief, Partai Gerindra melihat ini sebuah pembiaran yang sudah menjadi bancakan yang basah dan subur berupa suap dan pungli dengan jumlah ratusan miliar rupiah kepada para petinggi di keimigrasian dan Kemnaker. "Pasti ada mafia besar yang diuntungkan dengan memasukan TKA dan WNA illegal Ke Indonesia secara sengaja," kata dia.

Karena itu, Partai Gerindra meminta Polri, Kejaksaan dan KPK untuk turun memberantas para mafia importir TKA dan WNA illegal yang masuk Ke Indonesia dengan difasilitasi oleh imigrasi dan Kemnaker. Selain itu, kata Arief, Partai Gerindra mendesak Presiden Joko Widodo untuk melakukan sidak ke pasar dan pertokoan di Jakarta dan kota-kota besar dimana banyak WNA illegal melakukan aktivitas niaga serta perusahaan perkebunan dan pertambangan serta kontruksi di daerah yang banyak mengunakan TKA illegal

"Sudah segera copot saja Menteri Tenaga Kerja dan Dirjen Imigrasi jangan sampai akibat ketidakbecusan mereka mengurus dan menjalankan tugas mereka yang meyebabkan masuknya ratusan ribu WNA illegal yang berniaga dan bekerja di Indonesia, hal ini penting karena sudah menjadi sebuah keresahan di masyarakat selama ini," ucapnya.

PEMERINTAH BANTAH - Terkait isu ini, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan klarifikasi soal isu masuknya 10 juta tenaga kerja asing asal China ke Indonesia. Klarifikasi itu dimuat dalam akun Twitter resmi Kemensetneg, @KemensetnegRI.

"Jadi bohong besar jika dikatakan akan ada 10 juta pekerja asing asal Tiongkok yang masuk Indonesia. Kemungkinan angka itu diolah dari target kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman)," demikian isi salah satu poster digital yang diposting @KemensetnegRI, Selasa (20/12).

Selain membantah kabar tersebut, Kemensetneg juga memberikan data dalam bentuk grafik soal jumlah target wisman yang ingin dicapai pemerintah Indonesia. Menurut data tersebut jumlah wisman asal Greater China (China, Hongkong, Macau dan Taiwan) yang ingin dicapai oleh pemerintah pada 2016 ialah 2,1 juta dan hingga 2019 nanti jumlah wisman asal Greater China yang ditargetkan datang ke Indonesia berjumlah 3,3 juta orang.

"Jadi jelas angka 10 juta pekerja Tiongkok itu angka insinuasi atau angka provokasi karena dalam target jumlah kunjungan wisman dari Greater China pun tidak ada angka itu," tulis Kemensetneg.

Lebih lanjut, Kemensetneg menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja asing yang ada di Indonesia pada 2016 ialah 74.183 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 21.271 tenaga kerja asal China yang menempati urutan pertama jumlah tenaga kerja asing di Indonesia. Kemudian disusul Jepang dengan jumlah 12.490 tenaga kerja.

Kemensetneg memberikan perbandingan terhadap jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri. Salah satu negara yang dijadikan perbandingan adalah Malaysia, menurut data tersebut ada dua juta TKI yang bekerja di Malaysia dari total 31 juta penduduk Malaysia. Hongkong juga menjadi contoh berikutnya, dari total tujuh juta penduduk Hong Kong, ada 153 ribu TKI yang bekerja di sana.

"Rerata jumlah pekerja asing di Indonesia berada di kisaran 70 ribuan (dari semua negara). Sekitar 0,027 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta atau sekitar 0,05 persen jika dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia tahun 2016 yang sekitar 128 juta," tulis Kemensetneg. (dtc)

BACA JUGA: