JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lontaran wacana Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk mengembalikan TNI agar memiliki hak politik memantik polemik. Sejumlah pihak bereaksi menolak wacana tersebut, dengan alasan akan merusak demokrasi yang telah dibangun selama ini.   

Kendati diakui pada dasarnya, hak politik merupakan hak dasar yang melekat pada setiap warga. Namun memberikan hak politik kepada TNI perlu dikaji mendalam agar tidak kembali ke masa otoritarianisme, semasa dwifungsi ABRI diberlakukan.

Wacana mengembalikan TNI dalam politik itu disampaikan panglima TNI, Selasa (4/10). Menurut Gatot, TNI saat ini seperti warga negara asing, karena tidak memiliki hak politik. Kendati ada keinginan itu, panglima mengaku ide tersebut tidak untuk diterapkan saat ini. "Dikatakan harapan boleh, tapi yang jelas sekarang saya sebagai Panglima, TNI belum siap. Entah 5 atau 10 tahun lagi, yang akan datang," ujarnya.

Meski belum jelas  maksud persis ide Panglima TNI tersebut. Namun sebagian kalangan menolak wacana tersebut.

Pengamat politik dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti  menilai, pernyataan Gatot Nurmantyo itu masih debateble. Tetapi TNI sendiri mengaku belum siap dengan kondisi itu karena khawatir akan membuat perpecahan di kalangan militer atau perpecahan nasional.

"Anda bisa bayangin enggak di sini ada barak militer AD, Kopassus, terus hasil pemilu menunjukkan hasil yang berbeda. Kalau buat orang sipil dari tahun 1955 sudah biasa. Tapi untuk orang militer siapa tuh jangan-jangan komandan anda dekat sama orang partai A partai B. Jangan-jangan  komandan anda punya keinginan jadi jenderal. Itu yang dimaksud dengan ketidaksiapan itu," ujar Ikrar dalam  diskusi bertajuk " Barak TNI : Tentara Profesional vs Pusaran Politik dan Bisnis " di Jakarta Selatan, Jumat, (7/10).

Namun Ikrar dapat memastikan, bahwa hak pilih yang dimaksud dalam pernyataan  Gatot adalah hak TNI untuk memilih. Sebab hak untuk dipilih, menurut Ikrar, sudah sangat jelas diatur melalui undang-undang. "Hak untuk dipilih itu sudah ada aturannya. Apakah dia tentara, PNS, BIN kalau mau menjadi anggota legislatif atau kepala daerah harus mundur," ujarnya.

Menurut dia Kalau TNI ingin diberikan haknya, maka perlu memperbaiki kedewasaan politik TNI, agar bisa menerima perbedaan. Dalam konteks ini, sipil lebih dewasa menghadapi perbedaan itu dibanding kalangan militer.

"Mereka memang harus siap menerima perbedaan. Serta tidak boleh dipaksa komandannya untuk memilih A atau B," ujar Ikrar.

Kultur under the command yang melekat pada TNI akan menyulitkan TNI  lepas dari komando komandannya. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa TNI akan bergerak yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang komandannya. Akibatnya kemandirian TNI dalam politik praktis masih sepenuhnya belum  dapat dipulihkan.

MENGEMBALIKAN HAK POLITIK ADALAH KEMESTIAN - Sementara itu pengamat politik dan militer Kusnanto Anggoro justru berpendapat memulihkan hak politik TNI diperlukan  agar mereka dapat menentukan pilihannya dalam kontestasi pemilihan umum. Akan tetapi, pemberian hak itu juga mesti mempertimbangkan waktu yang tepat agar tidak memberi pengaruh negatif bagi politik TNI sendiri.

"Hak untuk memilih itu kan hak fundamental dan harus diberikan. Tapi sekarang belum bisa karena persoalan antara TNI dan sipil," kata Kusnanto.

Namun sekarang, memang aturan internal TNI belum mengizinkan agar TNI diberikan hak politiknya. Kalau serius untuk mewacanakan pengembalian hak politik TNI, maka pertama yang penting ditentukan kapan akan dilakukan. Dengan begitu akan memudahkan untuk merealisasikan dan menentukan langkah apa yang harus dilakukan.

"Kalau hak untuk memilih bisa saja dilakukan meskipun peraturan internal TNI masih belum mengizinkan," tutur Kusnanto. "Sekarang belum siap ya. Tapi kalau ingin barangkali 2019 makanya segala sesuatunya dipersiapkan," ujarnya.

Selain alasan konstitusional, Kusnanto juga mengemukakan alasan sejarah antara sipil dengan militer beberapa waktu lalu. Menurutnya, hubungan TNI dengan sipil belum terlalu pulih, sehingga akan memberikan akibat buruk terhadap proses demokrasi di Indonesia.

"Ada banyak alasan sebenarnya, sejarah masa lalu dan masih ada gab antara sipil dan militer," tutur Kusnanto.

MENYUSUP LEWAT REVISI UU - Wacana memulihkan hak politik praktis TNI tak hanya datang dari pernyataan Panglima TNI. Gagasan tersebut juga sempat menyusup dalam usulan revisi  UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelum akhirnya kandas.

Dalam proses pembahasan di DPR sempat muncul usulan untuk mengubah syarat calon yang berasal dari anggota TNI/ PoIri tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri dari keanggotaannya di TNI maupun Polri, ketika mereka maju menjadi kandidat dalam Pilkada.

Usulan ini pun ditentang oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menilai selain bertentangan dengan UU TNI No. 34 tahun 2004 dan UU Polri No. 2 Tahun 2002, usulan tersebut juga dinilai langkah mundur demokrasi dan reformasi sektor keamanan.

Dalam UU TNI No 34/2004 Pasal 39 ayat 2 menyebutkan "Prajurit di larang terlibat dalam kegiatan politik praktis" dan di dalam pasal 47 ayat 1 disebutkan, "Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan"

Sementara dalam UU Polri no 2/2002, Pasal 28 ayat 1 menyebutkan "Kepolisian negara republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 28 Ayat 3, anggota kepolisian negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Usulan tentang anggota TNI /Polri tidak harus pensiun ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam revisi UU Pilkada juga membuka ruang bagi TNI /Polri untuk kembali berpolitik.

Padahal TNI/Polri memiliki karakter dan jiwa esprit de corps, sehingga berpotensi  terjadi pengerahan kekuatan anggota TNI dan Polri untuk pemilihan kepala daerah untuk jago mereka. Disamping itu TNI/Polri adalah institusi yang memiliki kewenangan koersif  dan kewenangan menggunakan senjata, sehingga menjadi berbahaya bagi kondisi keamanan,  jika diantara mereka terlibat dalam kontestasi Pilkada.   

BACA JUGA: