Runtuhnya pilar kekuasaan Soeharto telah memaksa Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali ke barak dan meninggalkan dunia politik. Namun, perlahan tapi pasti, TNI kembali menjalankan peran sipil setelah dua dasawarsa tertahan. Rentetan serangan teroris dua pekan lalu yang bermula dari rusuh di Rumah Tahanan Salemba Cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, hingga ledakan bom di tiga gereja di Surabaya dan serangan di Mapolresta Riau bisa menjadi pemicunya. Hal itu membuat masa depan demokrasi di Indonesia menggelisahkan.

Penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengatur gelar Komando Operasi Khusus Gabungan tentu tidaklah direkomendasikan karena akan sulit dikontrol sipil. Apalagi saat ini presiden dikelilingi oleh orang-orang kuat mantan petinggi TNI. Mereka setiap saat dapat mempengaruhi presiden dalam mengambil keputusan.

 

Adalah Joko Widodo, presiden dari kalangan sipil yang justru meminta peran militer lebih besar dalam menangani terorisme. Dan sejatinya ini bukan kesalahan Jokowi semata, namun kesalahan masyarakat sipil sendiri. Mereka tidak siap, dibandingkan dengan militer, dalam memahami dan menyikapi perkembangan lingkungan strategis. Militer, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu institusi yang paling solid saat ini, dibandingkan dengan politisi sipil yang terlampau sibuk ribut sendiri-sendiri.

Kelalaian masyarakat sipil ini telah menciptakan risiko kian terbukanya kembali pintu masuk militer untuk urusan sipil, setelah TNI belakangan ini ikut mengurusi sawah, stasiun, bandar udara, dan lain-lain. Sipil lalai untuk menciptakan suasana yang membuat TNI menjadi militer profesional. Dengan belum tuntasnya reformasi di sektor keamanan, masih absennya aturan pelibatan, dan belum dapatnya membawa pelanggaran pidana prajurit TNI ke peradilan sipil, sulit untuk berharap TNI terhindar dari penggunaan kewenangan yang berlebihan.

Seharusnya masyarakat sipil membangun kapabilitas mengorganisasikan politik dan kekuasaan sehingga mereka tidak tergoda melibatkan institusi militer dalam aktivitas kekuasaan. Sipil tidak sepatutnya `mengganggu` militer dengan mengundang mereka ke dalam pertarungan politik di luar urusan keamanan nasional. Sedangkan militer harus mengisi kesadaran mereka bahwa demokrasi akan tumbuh menuju kematangan ketika mereka rela menerima prinsip fundamental demokrasi bahwa militer niscaya ada dalam kontrol sipil.

Bagi Presiden Jokowi sendiri, langkah “mengundang” TNI masuk terlalu jauh dalam habitat sipil, rentan dimanfaatkan oleh lawan politik sebagai senjata pada Pemilu 2019. Bisa jadi, Jokowi akan dipukul dengan isu militerisme berkedok sipil oleh kelompok yang saat ini terus merongrongnya dengan tagar Ganti Presiden 2019. 

Presiden sebaiknya cerdik menentukan langkah pada tahun politik seperti sekarang ini. Proaktif dan fokus terlibat dalam pembahasan revisi UU Terorisme adalah langkah yang tepat. Memperkuat lembaga kepolisian untuk memerangi teroris adalah kebutuhan yang paling mendesak saat ini, ketimbang bermain ombak dengan terburu-buru memberikan panggung bagi TNI di wilayah sipil. 

BACA JUGA: